Galeri Menjemput Bola
Di era digital, banyak galeri yang menjemput bola mencari kolektor muda.

Pengunjung menikmati karya-karya yang ditampilkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertajuk Big Picture yang berlangsung di Ashta District 8, Jakarta, Senin (30/1/2023). Puluhan karya yang ditampilkan merupakan kurasi dari 9 galeri yang tergabung dalam Asosiasi Galeri Seni Indonesia (AGSI).
Kolektor baru karya seni rupa di era digital dan setelah pandemi mereda sekarang ini bermunculan dari kalangan generasi muda di bawah usia 40 tahun. Galeri-galeri pun menjemput bola, bukan lagi menunggu di ruang pajang galeri.
Galeri-galeri itu juga mau bersinergi satu sama lain. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, hanya art fair atau bazar seni rupa saja yang mempertemukan galeri-galeri itu ke dalam satu pameran yang serentak sama.
Sinergi terjadi saat embilan galeri yang berhimpun di Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia (AGSI) menggelar pameran ”Big Picture” di Ashta Mall District 8, Jakarta, 26 Januari hingga 26 Februari 2023. Galeri-galeri itu menjemput bola di tempat nongkrong eksekutif muda di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).
”Sekarang terjadi tren baru, yakni regenerasi kolektor. Ini seperti berkah dari masa pandemi. Galeri akhirnya harus mau proaktif menjemput bola,” ujar Ketua AGSI Maya Sudjatmiko dalam perbincangan di sebuah kafe di Ashta, Rabu (1/2/2023).
Selain menjadi berkah, pascapandemi Covid 19 juga menyisakan bayang-bayang resesi global. Ini cukup mengkhawatirkan. Para pelaku ekonomi tidak bisa berpangku tangan. Seperti pengelola Ashta akhirnya mau mengajak pihak AGSI berkolaborasi mmenggelar pameran seni rupa ini.
”Pada akhirnya, disadari bahwa kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Titik satu akan terhubung dengan titik-titik lainnya dan di situlah akhirnya terbentuk Big Picture, Gambar Besar kita,” kata Maya, yang menampilkan sekitar 80 karya dari puluhan seniman oleh sembilan galeri yang meliputi Artsphere, Art:1, Andi’s Gallery, Can’s Gallery, D Gallerie, Edwin’s Gallery, ISA Art Gallery, ArtSociates, dan Puri Art Gallery.
Sebagian besar karya lukisan dengan medium kanvas. Beberapa lainnya berupa karya patung dan gambar bergerak. Karya-karya itu menawarkan keberagaman dan dinamika baru. Harga karya yang ditawarkan pun, disebut Maya, friendly atau cukup bersahabat di bawah Rp 150 juta.

Sejumlah karya patung turut ditampilkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertajuk Big Picture yang berlangsung di Ashta District 8, Jakarta, Senin (30/1/2023). Selain lukisan pameran juga menghadirkan karya video seni, instalasi dan patung. Sembilan galeri yang turut berpartisipasi dalam pameran adalah Artsphere, Art:1, Andis Gallery, ArtSociates, Cans Gallery, D Gallerie, Edwins Galleris, ISA Art Gallery, dan Puri Art Gallery. Pameran yang terbuka untuk publik itu akan berlangsung selama satu bulan hingga 26 Februari 2023.
Tidak hanya menjemput bola bagi kolektor baru. AGSI juga mendorong investor baru agar mau membuka usaha galeri seni rupa. Ini disebabkan persoalan utama yang selalu ada, yakni jumlah seniman kita jauh lebih banyak dari kapasitas yang bisa ditangani galeri selama ini.
”Kita masih butuh lebih banyak galeri. Di daerah seperti Kalimantan, saya pernah menjumpai seniman yang bertalenta, tetapi akhirnya hanya menjadi pedagang kopi keliling,” ujar Maya.
Singapura yang memiliki jumlah seniman relatif sedikit bisa menjadi perbandingan. Asosiasi galeri di negara kota itu sekarang memiliki anggota 33 galeri. Bahkan, ini jauh lebih banyak ketika dibandingkan AGSI yang kini hanya memiliki anggota 16 galeri. Galeri asal Singapura juga banyak yang menggandeng seniman asal Indonesia.
Keterhubungan
Alasan para kolektor muda dalam mengoleksi karya seni rupa disebabkan salah satunya ada ada keterhubungan karya dengan keseharian mereka. Keterhubungan itu kunci.
Isu yang diusung lukisan juga tidak membuat kening berkerut. Sapuan warna-warni baru maupun juga Teknik goresan yang baru ternyata juga menjadi isyarat ketertarikan bagi para kolektor muda tersebut.
Salah satu keterhubungan ketika dalam usia di bawah 40 tahun, misalnya isu keseharian pindah rumah ke daerah yang berbeda setelah perkawinan. Isu sepeprti ini dimainkan perupa muda Rahayu Retnaningsih, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2017.

Lukisan berjudul Eye Scream karya Wedhar Riyadi ditampilkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertajuk Big Picture yang berlangsung di Ashta District 8, Jakarta, Senin (30/1/2023).
”Saya berasal dari Jakarta. Pada 2020 lalu saya menikah, kemudian pindah mengikuti suami dan sekarang sama-sama berkarya seni rupa di Cilacap,” ujar Rahayu.
Rahayu merasakan perubahan keseharian. Awalnya, hidup di tengah kota seperti merasakan kepengapan di antara dinding yang berlapis-lapis. Kemudian berpindah ke lingkungan bernuansa desa dengan alam yang terbuka dan panorama sawah yang memukau.
Rahayu memadukan perubahan tersebut ke dalam metafora lukisannya. Kota dan desa dengan nuansanya masing-masing dibiaskan sebagai dua hal kontradiktif yang menyatu. Rahayu menyusun metafora keduanya sebagai interior dan eksterior.
Interior diwakili oleh suasana di dalam sebuah kamar atau rumah. Eksterior diwakili oleh suasana terang bulan purnama. Penyatuan kedua hal tersebut ibarat perkawinan pula. Rahayu memainkan ke dalam lukisannya yang diberi judul Slow Down dan Full Moon Dinner.
Ia membiaskan interior rumah dengan atap terbuka dan terang bulan menyinari. Bias cahaya bulan berpendar di antara benda-benda interior rumah. Rahayu menggunakan warna-warna neon demi menjangkau pendaran cahaya rembulan tersebut.
”Saya melukis atap, tetapi di situ pula ada pemandangan burung beterbangan. Kemudian suasana seperti di dalam rumah itu ada ranting pepohonan, burung, serta hewan piaraan kucing,” ujar Rahayu.
Baca juga: Pameran Koleksi Sembilan Galeri The Big Picture
Daya tarik kolektor muda juga dipengaruhi muatan pengetahuan di dalam lukisan. Keterhubungan seperti ini terasa dari karya gambar bergerak karya Eldwin Pradipta yang mengambil isu sejarah Bandung, kota asalnya.
Cara menyajikannya menjadi seperti karya lukisan abstrak, tetapi menjadi sebuah gambar yang bergerak. Gambar-gambar itu diperoleh Eldwin dengan mencuplik citra pemetaan sebuah perkebunan teh di Ciwideuy, Bandung.
Lebih tepatnya, citra pemetaan perkebunan teh di Gambung dan Malabar diambil dari Google Maps. Perubahan kontur dalam berbagai skala peta menjadi bahan yang diolah menjadi gambar bergerak dan diberi judul Theeplantage #2.
Eldwin mengisahkan riwayat perkebunan itu. Di akhir Abad 19, ada dua orang asal Belanda yang pertama kali membuka usaha perkebunan teh di wilayah Bandung selatan. Mereka adalah Rudolph Eduard Kerkhoven dan Karel Albert Rudolf Bossca. Dari kesuksesan dua orang inilah hingga akhirnya mengundang penanam modal berikutnya dari Belanda.
Perkebunan mendatangkan pendapatan dan kemakmuran. Pertumbuhan kota Bandung pun terpengaruh oleh keberhasilan para investor asal Belanda dalam menjalankan usaha-usaha perkebunan mereka. Kota Bandung tumbuh menjadi kota modern, bahkan pernah disematkan sebagai ”Paris van Java”, Parisnya Jawa.

Pengunjung menikmati karya-karya yang ditampilkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertajuk Big Picture yang berlangsung di Ashta District 8, Jakarta, Senin (30/1/2023). Puluhan karya yang ditampilkan merupakan kurasi dari 9 galeri yang tergabung dalam Asosiasi Galeri Seni Indonesia (AGSI).
Mengikuti tren
Keterhubungan berikutnya tentang kebiasaan di kalangan generasi muda, yaitu mengikuti tren. Perupa Naufal Abshar mengulik persoalan ini lewat lukisan-lukisannya.
”Lewat lukisan Follow the Trend dari pengalaman di tahun 2021-2022. Waktu itu saya mengikuti tren metaverse, NFT, dan Web 3. Saya memperoleh pengalaman menjadi korban cyber crime atau kejahatan di dunia maya,” ujar Naufal.
Pada waktu itu, Naufal ikut menawar di dalam sebuah lelang digital karya NFT oleh seniman asal Jepang, Takashi Murakami. Naufal mengikuti tren aset karya seni rupa digital yang lebih sederhana.
Berbeda dengan aset lukisan secara fisik. Aset digital berada di dunia maya yang tidak terlihat dan memakan ruang. Namun, asset digital itu bisa kapan pun dan di mana pun dihadirkan.
“Ketika itu saya ikut menawar di dalam lelang karya digital Murakami, hingga akhirnya uang kripto yang ada di wallet atau dompet saya dibajak hingga habis semuanya,” ujar Naufal.
Kejahatan di dunia maya saat itu sampai menguras uang kripto yang dimiliki Naufal sebesar 4,3 ethereum (ETH). Pada waktu itu nilai uang kripto sebesar itu berkisar Rp 170 juta.

Pengunjung menikmati karya-karya yang ditampilkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertajuk Big Picture yang berlangsung di Ashta District 8, Jakarta, Senin (30/1/2023).
Naufal sebelumnya berbekal pengetahuan dan keyakinan bahwa aset digital akan selalu aman di dalam teknologi rantai blok atau blockchain NFT. Pada kenyataannya, kejahatan dunia maya bisa menembusnya.
Realitas dunia maya memiliki keterhubungan sangat erat dengan generasi muda. Persoalan ini pula yang menginspirasi perupa muda asal Yogyakarta, Petek Sutrisno, ketika menyajikan karya-karya di dalam pameran Big Picture ini.
”Konsep karya saya adalah menggambar ulang berbagai karakter yang diakrabi anak muda dari dunia maya. Namun, saya berusaha mengaburkan identitas setiap karakter tersebut,” ujar Petek.
Petek merangsang kemampuan para penikmat karyanya untuk menerka setiap karakter yang dikaburkan. Di balik itu, ia mengajak para penikmat seni untuk menyadari apa yang dilihat di dunia maya belum tentu benar.
Ini permasalahan dunia maya yang tidak akan pernah ada penyelesaiannya. Persoalan ini memiliki keterhubungan dengan generasi muda yang begitu eratnya. Kepalsuan di dunia maya tampak berkilau dan bisa menjebak pemirsanya.