Para peserta pun tak diminta secara khusus merespons tema pameran, tetapi setidaknya bisa menghadirkan karya yang mungkin bisa menjadi penanda awal perjalanan atau proses kreatif berikutnya.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Sekelompok seniman di Bandung memetik penanda awal tahun 2023 ini dengan pameran bersama. Ibarat mau menempuh perjalanan penting dan panjang, mereka menancapkan penanda titik keberangkatan masing-masing untuk menjalani karier dan mempersiapkan masa depan.
Jabbar Muhammad (36), salah satu peserta, menuangkan titik keberangkatannya yang terbilang unik. Selama ini ia melukis sendiri. Di awal 2023, ia coba membuat lukisan secara kolaboratif. Kolaboratornya anaknya sendiri yang masih berusia 4,5 tahun, bernama Air Aksarasatu.
Jabbar memainkan gaya melukis realisme meski tidak sepenuhnya. Seperti dua lukisan yang disertakan di pameran ini, terdapat figur anak yang sedang bermain dilukis secara realis. Akan tetapi, Jabbar memainkan latar gambarnya secara tidak realis. Ia menempatkan kotak-kotak piksel dari dunia digital.
”Kerja kolaborasi dengan anak saya ini terinspirasi sejak masa pandemi Covid-19. Ketika itu saya memikirkan gagasan melukis tentang rumah, tetapi rumah bukan secara fisik, melainkan rumah secara mental,” ujar Jabbar ketika dihubungi, Kamis (26/1/2023).
Rumah secara mental baginya adalah keluarga. Pria kelahiran Bandung yang menetap di sebuah apartemen di Jakarta, ini, akhirnya memutuskan mengajak anak keduanya yang masih polos untuk melukis bersama. Jabbar mengajak Air merespons lukisannya yang sudah ia selesaikan lebih dulu.
”Tidak mudah mengajak anak yang masih polos untuk merespons lukisan. Pada akhirnya, proses kreatif itu bersifat transaksional,” ujar Jabbar.
Kerja kolaborasi transaksional ibarat menjalin kontrak kesepakatan terlebih dahulu. Jabbar mencontohkan, kesepakatan berupa saling membantu. Jabbar meminta Air membantunya dengan merespons lukisannya. Jabbar pun sepakat akan membantu Air dalam membereskan mainan-mainannya yang berserakan di rumah.
Dengan kesepakatan itu, bocah seusia Air dengan kepolosannya akhirnya merespons lukisan ayahnya. Air memainkan garis coreng-moreng. Di lukisan pertama yang diberi judul ”Hubung 1”, ada di antara garis coreng-moreng itu yang membentuk figur binatang berkaki empat.
Menurut Jabbar, Air melukiskan hewan piaraan kesukaannya, yaitu kucing. Di lukisan kedua yang diberi judul, ”Hubung 2”, Air menuangkan karakter huruf. Ia menuliskan namanya, Air. Selebihnya, garis-garis Air membentuk sebuah bus. Tampak roda-roda dan jendela-jendela bus dibuatnya.
Karya Jabbar bersama 16 seniman lain dikemas dalam pameran bersama bertajuk ”Prelude” yang bermakna sebagai titik awal atau awalan. Yogie A Ginanjar, kurator pameran menyitir kitab Bukhari dan Muslim bahwa bobot atau nilai suatu tindakan, dalam hal ini praktik kerja kreatif seniman, dapat dilihat dari titik awalnya.
Pameran Prelude diselenggarakan di Galeri Pusat Kebudayaan (GPK), Bandung, 21-31 Januari 2023. Pameran ini dipersiapkan dalam waktu yang tidak begitu banyak. Para peserta pun tak diminta secara khusus merespons tema pameran, tetapi setidaknya bisa menghadirkan karya yang mungkin bisa menjadi penanda awal perjalanan atau proses kreatif berikutnya.
”Harapan dari penanda awal proses kreatif seniman bisa menjadi kisi-kisi untuk melihat perkembangan seni kontemporer di Bandung,” ujar Yogie A Ginanjar, kurator pameran ini.
Ingatan masa lalu menjadi rangkaian proses perancangan visi masa depan.
Pameran Prelude juga merefleksikan ingatan masa lalu. Di antaranya ada pandemi yang membatasi ruang gerak. Ada tumpuan baru kehidupan berupa teknologi virtual di berbagai bidang, termasuk ketika mempresentasikan karya seni rupa secara virtual. Disrupsi digital bahkan sempat mengubah wajah seni rupa kontemporer ke dalam seni kripto. Ini menantang pola apresiasi seni yang harus adaptif.
”Ingatan masa lalu menjadi rangkaian proses perancangan visi masa depan,” ujar Yogie, yang mencantumkan daftar harga untuk setiap lukisan yang dipamerkan.
Pencantuman daftar harga lukisan di pameran pada masa lalu mungkin membuat para penikmatnya merasa tak nyaman. Sekarang ini berubah. Pencantuman daftar harga turut membantu para penikmat seni dalam usaha mengapresiasi setiap karya seni.
Kritik apresiasi seni
Peserta pameran termuda, Renitta Karuna Dharani (20), menampilkan karya unik yang bermuatan kritik terhadap apresiasi seni yang berlangsung selama ini. Karyanya diberi judul ”This is The Artwork”.
Renitta menuliskan catatan di sebuah kanvas berukuran 300 sentimeter (cm) x 90 cm yang dipajang secara vertikal. Sebagian kanvas di ujung paling atas berada dalam pigura. Selebihnya, keluar dari pigura dan menjuntai ke bawah hingga ke lantai.
Di sebelah kanan kanvas dipajang lukisan bercorak abstrak di lembar kertas berukuran A4. Renitta mengambil sisi kritisisme di dalam rangkaian karya tersebut.
Ia membuatnya berdasarkan pengamatan terhadap apresiator karya seni yang sering terjebak dalam penjelasan-penjelasan. Para apresiator akhirnya tidak cukup lama atau sekilas saja dalam menikmati karya.
”Karya seni tidak sesederhana penjelasan-penjelasan yang diberikan. Bahkan, kadang kala bahasa kita tidak cukup untuk menjelas-jelaskan sebuah karya seni,” ujar Renitta, yang kini masih menempuh studi semester 8 di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Perupa berikutnya, Wildan F Akbar, menyajikan lukisan yang bertolak dari perasaan dan pengalaman diri. Dari judul karyanya, ”Heal Me from Trauma”, Wildan mengekspresikan ragam emosi melalui gambar wajah-wajah yang dibungkam masker.
Di situ ada ekspresi sisi gelap manusia, perasaan kelam, amarah, kesedihan, dan ketakutan. Wajah-wajah itu ditutupi masker. Hanya ekspresi tatapan mata yang tampak secara utuh. ”Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pun tak ada manusia yang bisa terlepas dari luka,” ujar Wildan.
Peserta lainnya di dalam pameran Prelude ini meliputi Angga Wedhaswara, Arman Jamparing, Dewi Aditia, Didit Sudianto, Dzikra Afifah, Erwin Windu Pranata, Irwan A Rahman, Louise Henryette, Muhammad Reggie Aquara, Patriot Mukmin, Teddy Osman, Trio Muharam, dan Willy Himawan.
Sebagian besar di antara mereka para seniman muda yang lahir di Bandung, atau menempuh studi dan menetap di wilayah Bandung. Setidaknya, lewat pameran ini kita diajak mengintip masa depan seni kontemporer di Bandung melalui titik-titik awal yang disuguhkan ke dalam perjalanan proses kreatif mereka.