Mengerek Pamor Indonesia lewat Lelang Lukisan
Lelang di Singapura sekaligus demi memperjuangkan penambahan peminat asing terhadap karya-karya lukisan para maestro Indonesia.
Bursa seni rupa internasional Singapore Art Week di Singapura, 6-15 Januari 2023, terbilang sukses baru-baru ini. Di antara rangkaian acaranya ada art fair Art SG di Marina Bay Sands yang menampilkan ribuan karya dari 164 galeri asal 35 negara dan disebut-sebut penjualannya cukup laris.
Masih ada banyak lagi pameran seni rupa yang dikemas dalam Singapore Art Week (SAW) 2023. Satu di antaranya pameran yang digelar di gedung pergudangan pelabuhan peti kemas Keppel Distripark.
Di situ ada satu galeri asal Indonesia yang menyelenggarakan lelang lukisan. Di ajang SAW 2023, tidak banyak yang menggelar lelang lukisan. Satu di antaranya rumah lelang asal Indonesia ini, yakni 33 Auction yang dikelola Linda Gallery.
Lelang itu diberi tajuk Singapore Art Week Evening Sale Modern & Contemporary Art (SG032). Angka ”032” pada ”SG032” menunjukkan edisi lelang yang ke-32 digelar sejak 2008 di Singapura. Jalan yang cukup panjang dan konsisten.
Menurut Ali Kusno Fusin, pemilik 33 Auction, pihaknya juga pernah menggelar lelang di Jakarta. Akan tetapi, di Singapura penyelenggaraan lelangnya jauh lebih sering. Di Jakarta mungkin hanya separuh dari jumlah lelang di Singapura.
”Lelang di Singapura kali ini menjadi istimewa karena sebagian koleksi saya pilih sendiri dari para kolektor. Di balik itu, lelang kali ini menjadi kesempatan bagus untuk menaikkan pamor lukisan seniman Indonesia di tingkat internasional,” papar Ali Kusno di Jakarta, beberapa waktu menjelang keberangkatannya ke Singapura.
Ali Kusno sudah memprediksi bahwa SAW 2023 bakal menarik perhatian dunia. Salah satu alasannya, saat ini sudah memasuki masa pascapandemi Covid-19. Selain masyarakat penikmat seni rupa dunia merindukan pertemuan besar, mereka juga menanti kejutan-kejutan seni rupa setelah pandemi Covid-19 melanda.
Baca juga: Seni Rupa dan Tantangan Sauvinisme
Ali Kusno tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Akan tetapi, saat ini ia lebih memilih menampilkan koleksi old master untuk mengerek pamor lukisan Indonesia di tengah agenda SAW 2023.
Ada 55 lot lukisan dilelang pada Sabtu (14/1/2023) malam di Hotel Singapore Orchard. Diawali makan malam, lelang sebanyak 55 lukisan itu kemudian dilangsungkan dengan begitu cepat. Dalam waktu hanya sekitar satu setengah jam, lelang sudah usai.
Sampai-sampai di kursi sebelah Kompas, pemilik galeri Srisasanti asal Yogyakarta, Stephanus Eddy Prakoso atau akrab di sapa Oyik, menyampaikan, ”Lelang seperti main-main saja, ya!”
Dari lelang itu, angka perputaran uangnya terbilang tidak sedikit. Di antara 55 lukisan yang dilelang, hanya beberapa karya dari negara lain. Akan tetapi, karya lukisan yang terjual dengan harga tertinggi justru datang dari China.
Sebuah lukisan surealisme karya Fang Lijun (59)asal China, mencapai angka penawaran tertinggi 2.200.000 dollar Singapura. Di layar juga tertera angka rupiahnya sebesar Rp 25.091.000.000.
”Penawarnya juga berasal dari China,” ujar Ali Kusno seusai lelang. Ia tidak menyebutkan nama calon pemilik baru lukisan berukuran 400 sentimeter (cm) x 180 cm tersebut.
Ali Kusno menyebutkan, pemenang lelang di samping harus membayar lukisan sesuai angka penawaran, masih dibebani pembayaran tambahan sesuai kesepakatan 18 persen. ”Jadi, angka lelang tertinggi kali ini hampir menembus Rp 30 miliar,” ujar Ali.
Lukisan Fang Lijun itu memuat sejumlah wajah laki-laki tak berambut dengan mulut ternganga menatap ke atas. Mereka menatap seorang bayi laki-laki telanjang. Bayi itu dipegang dengan jari-jari tangan.
Adegan ini memiliki latar pegunungan putih kebiruan seperti gunung-gunung yang tertutup salju. Lukisan ini menampakkan metafora manusia-manusia yang menghendaki kebebasan dan menantikan manusia pilihan sebagai pemimpin mereka di masa mendatang.
Lukisan lain karya para maestro Indonesia sulit mencapai angka setinggi itu. Contohnya, lukisan karya maestro Affandi (1907-1990) yang berjudul ”Tangkuban Perahu” (1969) dengan ukuran 98 cm x 130 cm berhenti di penawaran tertinggi 120.000 dollar Singapura atau Rp 1,368 miliar.
Ada satu lagi karya Affandi yang berjudul ”Perahu Jukung” (1964) dengan ukuran 100 cm x 130 cm, berhenti di angka penawaran tertinggi 85.000 dollar Singapura atau Rp 969,4 juta.
Lukisan karya Hendra Gunawan berjudul ”Penjual Pepaya” (1975) berukuran 95 cm x 150 cm berhenti di angka tertinggi 160.000 dollar Singapura atau Rp 1,8 miliar. Ada satu lagi karya Hendra, yang berjudul ”Village Life” (1975) di angka penawaran tertinggi 210.000 dollar Singapura atau Rp 2,39 miliar.
Peminat luar negeri
Ali Kusno bersama tim kerjanya sempat membuat analisis pembelian karya lukisan old master Indonesia. Lukisan karya Affandi termasuk paling tinggi diminati orang di luar Indonesia. Angka peminatnya bisa mencapai 50:50. Artinya, ada 50 persen peminat lukisan Affandi datang dari luar negeri.
Angka tersebut merupakan angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan lukisan para maestro Indonesia lainnya. Ketika dibandingkan dengan lukisan karya Hendra Gunawan, 65 persen pembelinya orang Indonesia.
Yang lainnya, seperti lukisan karya Arie Smith, pembeli dari luar negeri di atas angka 20 persen. Berdasarkan angka-angka itulah, Ali Kusno optimistis untuk tidak hanya bermain dan menjadi jago di kandang sendiri.
Baca juga : Foto dan Kekosongan dalam Lukisan
Lelang di Singapura sekaligus demi memperjuangkan penambahan peminat asing terhadap karya-karya lukisan para maestro. Jumlah kolektor asal Indonesia pun masih tergolong kecil sehingga peluang menarik perhatian para kolektor negara lain terbentang lebar.
”Seperti kolektor lukisan di China sekarang ini bisa meledak jumlahnya. Pada awalnya, hampir semua pembeli lukisan dari China itu datangnya dari luar dan orang lokal tidak mau membeli,” kata Ali Kusno.
Ketika perekonomian China sekarang membaik, masyarakat pun mulai banyak yang menjadi kolektor lukisan. Kolektor asal China menjadi sasaran bidik yang penting bagi Indonesia.
”Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa lukisan asal seniman Indonesia memang berkelas dunia,” imbuh Ali Kusno.
Inilah alasan dia memilih sendiri beberapa koleksi dari para kolektor Indonesia untuk dilelang di Singapura. Karya-karya terpilih itu memiliki harapan bisa menggaet para penikmat dari luar negeri, termasuk dari China.
Dari sebanyak 55 lukisan yang dilelang, Ali Fusin memilihnya dari koleksi sekitar 25 kolektor. Koleksi mendiang Royanto Rizal menjadi pilihan yang terbanyak.
”Pewaris koleksi Royanto Rizal tidak bisa sepenuhnya merawat karya sehingga ingin melepas beberapa karya,” ujar Ali, seraya menyebutkan kolektor Royanto Rizal ini penggemar lukisan pointilisme Arie Smith dan memiliki sekitar 200 lukisan Arie Smith.
Jumlah merosot
Di tengah bangkitnya ekonomi China saat ini, jumlah kolektor asal China pun meningkat. Akan tetapi, ada kecenderungan jumlah lot lukisan asal Indonesia dalam lelang internasional itu justru merosot.
”Pada masanya dulu, saya pernah menyaksikan lelang internasional sampai dengan jumlah 200 lot lukisan asal Indonesia. Akan tetapi, sekarang mulai turun drastis,” kata Ali Kusno, yang menyebut angka rata-rata lukisan asal Indonesia sekarang turun menjadi sekitar 20 lot saja.
Ali Kusno dengan balai lelang lokal 33 Auction dihadapkan pada tantangan seperti ini. Mungkin saja situasi seperti ini terdampak beberapa dugaan lukisan palsu yang merebak di Indonesia sejak beberapa tahun silam.
”Sampai sekarang persoalan lukisan palsu di Inodnesia ini tidak pernah terselesaikan. Keadaan ini menjadi bagian dari dinamika seni rupa kita,” kata Ali, yang belum lama ini mencetak buku lukisan Hendra Gunawan yang diyakini sebagai lukisan asli.
Lukisan karya Hendra Gunawan termasuk lukisan yang banyak dipalsukan. Selain itu, masih banyak lagi dipalsukan seperti lukisan Affandi dan S Sudjojono.
Tidak dimungkiri, setiap kali melelang lukisan para maestro akan memunculkan kecurigaan palsu atau asli. Menurut Ali, pada akhirnya semua diserahkan kepada pasar.
Isu lukisan palsu sebenarnya memberi peluang besar bagi eksistensi perupa muda. Di sinilah galeri memiliki peran penting untuk mewacanakan karya perupa muda sebagai kekayaan intelektual.
”Tantangan galeri-galeri sekarang juga ingin karya-karya baru itu bisa dikonsumsi para kolektor dari luar negeri,” ujar Oyik, pemilik galeri Srisasanti asal Yogyakarta ketika dijumpai di Singapura.
Dari pengalamannya saat ini memang dijumpai banyak kolektor muda dari negara mana pun. Akan tetapi, para kolektor itu rata-rata masih dalam taraf belajar dan belum dewasa. Pilihannya masih mempertimbangkan rasa nasionalisme kenegaraan masing-masing.
”Semestinya, persoalan karya seni itu universal, tidak harus menimbang-nimbang persoalan nasionalisme,” ujar Oyik.