”Sakra”, Karya Donnie Yen yang Buru-buru
Dalam Sakra, ada lateks yang digunakan sebagai bahan wajah palsu untuk menyamar. Adegan itu mengandung anakronisme. Selain itu, Donnie Yen kurang sabar menata cerita sehingga terkesan loncat-loncat.
Donnie Yen, yang dikenal sebagai aktor laga, koreografer, sutradara, sekaligus produser, merilis film yang dia bintangi dan sutradarai bertajuk Sakra. Film laga berbalut roman ini menunjukkan kelihaian Donnie dalam menata adegan, terutama dalam hal koreografi. Namun, tampaknya dia terlalu buru-buru dalam menjalin cerita.
Sakra merupakan film yang diadaptasi dari novel laga populer karya Jin Yong bertajuk Demi-Gods and Semi-Devils. Cerita silat ini pernah menjadi cerita bersambung di surat kabar Hong Kong, Ming Pao, pada kurun tahun 1963 hingga 1966. Juga diadaptasi ke beberapa film di Hong Kong, China, dan Taiwan, termasuk ke dalam serial televisi. Dengan kata lain, cerita utama novel ini cukup dikenal.
Jika melihat kerangka besar cerita dalam Demi-Gods and Semi-Devils, cerita dalam film Sakra menjadi semacam carangan (spin off). Sakra berkisah tentang Qiao Feng (Donnie Yen), seorang pemimpin geng pengemis yang mempunyai masa lalu misterius. Bersama kelompoknya, dia membela Dinasti Song Utara dari serangan bangsa Khitan, kelompok nomaden yang berambisi memperluas daerah kekuasaan. Dalam masa-masa konflik teritorial itu, Qiao Feng menjadi salah satu sosok yang dielu-elukan karena kekuatan dan kemahiran silatnya.
Belakangan ada yang iri dengan Qiao dan memfitnahnya sebagai keturunan Khitan sekaligus orang yang bertanggung jawab atas kematian salah satu pemimpin geng pengemis. Qiao yang memang ragu dengan asal-usulnya itu memilih mundur dari kepemimpinan, tetapi dia membantah telah membunuh temannya sendiri. Untuk itu, dia berjanji akan membuktikan omongannya.
Dari sana drama dimulai. Upaya pengungkapan fitnah tersebut tidak semudah yang Qiao bayangkan. Apalagi, kedua orangtua angkatnya yang dia anggap bakal memberi pangkal jawaban, dia temukan tewas. Fitnah yang berbuah keterasingan dan ancaman pembunuhan mewarnai film ini. Di tengah-tengahnya, terselip kisah asmara antara Qiao dan Azhu (Chen Yuqi) yang bisa menjadi semacam jeda.
Dari sisi koreografi, film ini cukup menjanjikan. Adegan silat berikut efek-efek khususnya mampu menjadi pengobat bagi pencinta film laga. Film produksi Wishart ini mulai tayang di Indonesia pada 18 Januari 2023 menyambut Imlek.
Dari total 130 menit durasi film, sebagian besar berisi silat dengan koreografi yang memukau.
Baca juga: "Plan 75" Program Kematian untuk Manula
Anakronisme
Sepanjang film Sakra, setidaknya ada tiga adegan yang menggunakan lateks sebagai bahan wajah palsu untuk menyamar. Pertama ketika Azhu menyusup ke biara shaolin untuk mencuri naskah penting. Kedua, ketika Azhu menyamar untuk mencari informasi terkait fitnah yang merundung Qiao Feng. Ketiga, ketika Azhu menyamar sebagai ayahnya. Penyamaran itu begitu sempurna karena presisi dan identik dengan wajah aslinya.
Jika kita pernah menonton seri film Mission Impossible atau James Bond, lateks yang sama atau mirip kerap digunakan untuk menyamar demi mendapatkan informasi rahasia. Dalam dua seri film terakhir, hal itu wajar saja karena menggunakan setting abad ke-21 ketika teknologi demikian canggih. Bahkan, dalam Mission Impossible, wajah palsu tersebut dicetak menggunakan tiga dimensi sehingga presisi dan identik dengan wajah asli.
Yang menjadi masalah adalah ketika hal serupa dilakukan di zaman Dinasti Song yang Berjaya antara tahun 960 hingga 1279 Masehi. Bahkan pada masa itu lateks belum ditemukan. Lateks digunakan untuk industri pada tahun 1850-an. Lalu, sekitar 80 tahun kemudian baru digunakan pada industri film Hollywood untuk membuat wajah palsu dan membuat efek khusus.
Pada masa Dinasti Song memang banyak temuan penting bagi peradaban manusia. Temuan tersebut, antara lain, teknologi pembuatan kertas, teknologi pembuatan porselen, alat-alat pertanian, teknologi navigasi, serta ilmu pengetahuan dan filsafat. Namun, memasukkan lateks dalam film berlatar sejarah Dinasti Song termasuk kecerobohan dan dengan demikian menjadi anakronistis.
Meski demikian, layak diapresiasi ketekunan Donnie menjadikan geng pengemis sebagai bagian penting dalam cerita. Dalam kenyataannya, geng pengemis ini memang ada di zaman Dinasti Song. Mereka adalah kelompok yang memiliki kemampuan bela diri dan turut menjaga stabilitas kerajaan. Mereka bertugas menjaga jalan atau mengawal kerajaan.
Mereka terbagi dua. Pertama, kelompok yang sengaja dibentuk dan dibiayai istana untuk melindungi jalan-jalan dan menjaga keamanan dari perampok dan penjahat. Kedua, kelompok pengemis yang tidak diakui dan tidak dibayar pemerintah, tetapi tetap melakukan tugas yang sama dengan kelompok pengemis resmi.
Cerita tentang keberadaan kelompok pengemis ini dicatat dengan baik di banyak buku. Misalnya dalam buku The History of the Song Dynasty atau The History of the Liao Dynasty. Buku pertama mengisahkan kelompok pengemis bentukan pemerintah, sementara buku kedua banyak mengupas kelompok pengemis nonpemerintah.
Lompat-lompat
Titik lemah lain dalam film ini terletak pada editing. Beberapa bagian terasa melompat tanpa penjembatanan (bridging). Akhirnya penonton dipaksa menebak-nebak situasi yang sedang terjadi. Cerita film ini memang kompleks sebagaimana diungkapkan di atas. Jika tidak diorkestrasi dengan baik, bisa merusak jalinan cerita. Tampaknya Donnie sebagai sutradara terlalu terburu-buru meloncat ke sambungan cerita lain ketika satu subcerita belum tuntas. Sebenarnya ini bisa diakali setidaknya dengan dialog. Misalnya ketika Azhu menyamar sebagai Kang Min. Adegan ini seolah-olah tiba-tiba muncul tanpa perantara yang jelas. Begitu juga segmen ketika bangsa Khitan dibantai di tepi jurang dan ditolong Qiao Feng.
Tampaknya Donnie Yen kurang sabar untuk menata segmen demi segmen cerita sehingga berdampak kepada adegan yang terasa loncat-loncat. Ada kesan terburu-buru.
Keterburu-buruan ini juga tampak pada kurangnya ruang kontemplasi. Penonton paham bahwa film laga seperti Sakra perlu didominasi oleh adegan-adegan kekerasan, dalam hal ini silat. Akan tetapi, sebenarnya Donnie punya banyak kesempatan untuk memberi jeda yang lebih panjang, terutama dalam adegan-adegan yang melibatkan emosi. Misalnya momen-momen terbangunnya rasa cinta antara Qiao Feng dan Azhu atau perenungan saat Qiao Feng menemukan kedua orangtua angkatnya dibunuh.
Donnie memang lebih dikenal sebagai aktor laga. Namun, dalam dunia penyutradaraan, ini bukan yang pertama. Debut Donnie sebagai sutradara dimulai pada tahun 1997 lewat film berbiaya rendah Legend of the Wolf (1997). Film yang juga dia perani itu diputar terbatas di Hong Kong dan gagal secara industrial. Dia juga pernah menjadi sutradara pendamping dalam film laga-komedi-horor The Twins Effect (2003), lalu film laga komedi Protégé de la Rose Noire (2004) dan Shanghai Affairs (2018). Tampaknya modal pengalaman itu belum cukup bagi Donnie untuk bisa membuat film Sakra yang berbiaya 220 juta dollar Hong Kong ini lebih menarik.
Barangkali di film berikutnya, Donnie perlu lebih sabar, tidak buru-buru memotong adegan.