Putu Wijaya menulis naskah ”Aum” pada tahun 1981 yang mementaskannya dengan beraneka keaktualan. Sastrawan kawakan tersebut terinspirasi People’s Temple di Jonestown, Guyana, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Ketidaksiapan publik menghadapi lompatan teknologi yang demikian pesat diangkat lewat Aum. Drama tersebut diperkaya dengan sentilan mengenai kesenjangan otoritas dan rakyatnya. Naskah lawas, tetapi tetap aktual dengan disisipi pengingat untuk memandu insan menegaskan batas-batas kewarasannya.
Ingar bingar berlangsung di depan rumah bupati. Sepasang pria garang berseragam bak tentara kolonial yang bersiap menyambut atasannya itu dibuat pontang-panting dengan kehadiran warga kampung. Mereka hendak beranjangsana, tetapi bersitegang dengan petugas-petugas yang ternyata hanya petugas satpam.
Warga sungguh jemu karena sudah beberapa hari menanti, malah dihadang dua penjaga yang terus saja mengelu-elukan bupati. Habis kesabarannya, mereka menggebuk dan menembak hingga kerumunan yang hendak menyampaikan aspirasi lari kocar-kacir.
Ulah aparat-aparat tersebut tak ayal mencuatkan kewibawaan sampai keangkeran bupati. Tak dinyana, junjungan yang datang hanya sosok kerempeng, tetapi kontradiktif dengan kostum ngejreng. Ia mengenakan singlet kuning, ikat kepala hijau, celana pendek merah jambu, dan sepatu bermerek palsu.
Spontan, warga melongo seiring runtuhnya karisma sang pejabat. Demi mendapati rakyatnya yang berasal nun jauh dari hutan, ia ternyata berbelas kasih juga. ”Kamu biarkan orang-orang ini menunggu saya? Gila kamu! Keterlaluan,” ujar bupati kepada pengawal-pengawalnya yang salah tingkah.
Ia memohon maaf lalu berbicara lemah lembut dan orang-orang kembali. Keraguan tak bisa dimungkiri masih menyelimuti mereka. ”Kalau Pak Tua itu betul-betul bupati harusnya berbaju dinas. Kenapa hanya pakai celana kolor?” kata perempuan tua yang memancing tawa penonton.
Lantaran tak juga mendapatkan jawaban, warga berdoa hingga kalap, tersedu sedan, menengadahkan wajah sambil merentangkan tangan, dan tertelungkup. Bupati akhirnya naik pitam sampai meminta diambilkan pistol yang dihalang-halangi anak buahnya.
Kawanan yang histeris itu tak lagi peduli. Seraya mengungkapkan gugatan kepada bupati, mereka memekik dan menandak-nandak. Siluet wayang kulit, keris, penari, topeng, hingga kepala tanpa tubuh berputar-putar dengan latar layar berlabur hitam, kuning, putih, hijau, dan biru.
Bagai rapalan mantra, pemuka kelompok tersebut dengan suara parau menitahkan pengikut-pengikutnya menghunus keris. Gong bergema, musik terlantun magis, dan sirene polisi meraung-raung. Dipungkasi penafsiran pengunjung dengan bebas, mereka menuju ketidakpastian, pengabstrakan, atau keabadian.
Lakon selama lebih kurang 1,5 jam itu mengusung kekritisan ringan hingga interpretatif. Sindiran kepada bikrokrat, umpamanya dilontarkan dengan olok-olok warga yang membeo ujaran bupati. Alur melaju, mereka pun kian blak-blakan.
”Aku tak percaya. Masa, bupati kurus kayak cicak. Teriak-teriak seperti orang gila,” ujar warga yang kontan dihardik satpam-satpam, namun diredakan majikannya. Pakaian khalayak juga sangat kontras karena lebih rapi ketimbang kepala daerahnya.
Lain waktu, warga menyelipkan falsafah tat twam asi yang sudah diamalkan turun-temurun sejak nenek moyang. Siapa pun harus menolong sesamanya. ”Palingkan muka ke wajah orang-orang di sekitarmu. Mereka dirimu sendiri. Bukan orang lain. Mereka berdarah, kamu juga,” ucap seorang nenek.
Berputar-putar
Pesan-pesan moderat termuat pula dalam pementasan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/1/2023) tersebut. Warga pelosok yang tak memahami uraian bupati sejatinya menarasikan modernisasi dengan intensitas begitu dahsyat.
”Sejak TV, koran, dan mahasiswa masuk desa, kami maju. Bapak lihat bagaimana anak cucu saya teriak-teriak seperti Michael Jackson,” ujar pemandu warga. Kemajuan yang dangkal berbarengan dengan berjogetnya sejumlah pemuda beriramakan lagu serupa karya megabintang tersebut, ”Black or White”.
Konteks lebih absurd diketengahkan dengan beberapa lelaki berbadan dua, warga sesekali berbalik menyanjung-nyanjung bupati, dan mereka yang terus berkutat menuntut jawaban. Dialog kerap berputar-putar sebab pertanyaan sebenarnya tak pernah terlontar.
Bagaimanapun, plot dengan humor dan kejutannya bisa meluncur mulus hingga fokus kembali teralihkan dengan wajar untuk menyimak kedongkolan warga. Mereka malah menggunjing bupati yang senang menghindar, berkeluh kesah, menghardik, sampai mutung, dan beranjak pulang.
Tontonan yang disutradarai Putu Wijaya itu membentangkan paradoksal beraneka perangkat mutakhir hingga masyarakat, khususnya di pedalaman, terseok-seok, bahkan tertinggal. Disrupsi digital tak lantas disikapi bupati dengan arif dan bahkan mengambil senjatanya.
Gap lebar pun menganga dengan bipolarisasi proletar dan pemimpinnya. Hoaks bertubi-tubi menggiring khalayak memegang pandangan yang keliru. Tudingan edan saling dilontarkan dalam sejumlah adegan. Ketidakakuran yang memuncak berujung kegilaan massal antara kawula dan bupatinya.
Di pengujung pertunjukan, atmosfer okultisme juga teramat pekat hingga menyesaki panggung. Barisan tua sampai muda menyelenggarakan ritual yang mengingatkan audiens akan sekte-sekte dengan paham tak lazim. Tak jarang, dogma mereka bikin geleng-geleng kepala, bahkan memicu kegegeran.
Putu yang menulis naskah Aum pada tahun 1981 mengaku terinspirasi People’s Temple di Jonestown, Guyana, yang menggemparkan dunia. ”Orang baik-baik mau diajak bunuh diri karena dunia dianggap dunia tak menjanjikan. Pendukungnya yang menolak, dibunuh. Sebagian melarikan diri,” ucapnya.
Berdasarkan Encyclopedia Americana dengan editor yang dikepalai Alan H Smith dan diterbitkan Grolier Incorporated pada tahun 1985, korban tewas tragedi tersebut mencapai 909 orang. Pada tahun 1978, Jim Jones memimpin pemuja-pemujanya untuk menenggak minuman bersoda yang dicampur sianida.
Mencari Ikranagara
”Waktu itu, Orde Baru. Sensornya keras. Saya kemukakan, misalnya, dengan laki-laki bunting. Berhasil karena bukan dianggap kritik,” ujar Putu. Kini, Aum diadaptasikan dengan perkembangan zaman. Ia menampilkan ancaman terhadap publik yang tersesat dengan begitu lebatnya belantara informasi.
Putu mempersembahkan karya sekaligus mengulurkan tangannya untuk beberapa seniman kawakan. Ia, umpamanya, sedang mencari Ikranagara. ”Saya pernah ke Yogyakarta, sudah pindah entah ke mana. Dengar-dengar dirawat di Gianyar, tapi tidak ketemu. Remy Silado juga, buat keluarganya,” ujarnya.
Pergelaran yang melibatkan hampir 15 pemain tersebut sempat ditampilkan saat Festival Seni Bali Jani IV pada Oktober 2022 dengan latihan sekitar lima kali. ”Persiapannya sejak Juni lalu,” ucap Gandung Bondowoso yang memerankan bupati.