Sineas kawakan Garin Nugroho membuat film horor pertamanya berjudul ”Puisi Cinta yang Membunuh”, yang sarat rayuan gombal. Kata manis dan trauma adalah sumber teror. Garin keluar dari kebiasaannya bermetafora.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Rayuan gombal bisa bikin lutut gemetaran sampai perasaan tak karuan. Dalam film Puisi Cinta yang Membunuh karya sutradara dan penulis naskah Garin Nugroho, kata-kata manis itu bahkan membawa petaka. Sayangnya, rayuan yang mencelakakan itu hanya digambarkan berasal dari tuturan kekasih, tidak dari politisi yang sebenarnya sama gombalnya.
Ranum adalah tokoh utama film garapan Starvision Plus ini. Ranum, diperankan (Mawar Eva de Jongh), adalah mahasiswi perancangan busana. Hingga setengah film, penonton tak tahu-menahu asal-usul Ranum. Yang jelas, dia tinggal sendirian di apartemen dan bolak-balik ke kampus pakai mobil merah. Dari mana fasilitas hidupnya berasal, hanya penulis naskahnya yang tahu.
Ranum selalu terlihat menarik. Rambutnya yang panjang kriwil-kriwil itu sering disorot kamera dekat-dekat. Meski begitu, emosi Ranum tak banyak diumbar. Dia seperti mahasiswi yang selalu tertekan, dihantui kecemasan. Sepertinya tak ada adegan yang menunjukkan dia sedang bahagia. Pun demikian, Ranum banyak yang suka, baik laki-laki, maupun perempuan.
Kecemasan Ranum itulah yang jadi warna utama film ini; kelam dengan semburat merah yang begitu kontras. Sejak awal film, penonton sudah merasa terteror. Bukan teror yang berasal dari ketakutan akan hantu, tapi polah tingkah manusia dan kata-kata yang keluar dari mulutnya; meski kata itu cenderung indah.
Adalah seorang ahli masak bernama Rendy (Morgan Oey) yang menunjukkan ketertarikannya kepada Ranum ketika Rendy menggelar acara masak-memasak di kebun. Perserta masaknya semua perempuan, termasuk Ranum. Wajah Rendy mendekati Ranum menuju ke telinganya. Dengan berbisik, dia mendaraskan kata-kata manis dan menutupnya dengan, ”Aku akan masak di rumahmu.” Seram sekali.
Tak jelas seakrab apa hubungan Ranum dan Rendy ini. Layaknya seorang penguntit, Rendy berhasil sampai ke pintu unit apartemen Ranum. Lagi-lagi Rendy merayu. Ranum berhasil kabur dari si buaya darat itu. Rendy rupanya memang punya kekasih yang di adegan berikutnya digambarkan sedang merayakan ulang tahun dengan tema Haloween.
Di pesta inilah teror makin menjadi. Pengunjung pesta berdandan seram. Band yang tampil memainkan musik seram—lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan gaya death metal. Di dapur, Rendy sedang menyiapkan kejutan untuk kekasihnya. Alih-alih bermesraan singkat di dapur, Rendy justru dibunuh. Cara membunuhnya eksplisit: pisau terhunus berkali-kali, darah mengalir, telapak kaki mengejang. Belum selesai di situ, kue tar ulang tahun tak mengundang hasrat.
Itu baru bagian awal film. Masih banyak lagi peristiwa janggal. Salah satunya berkaitan dengan dosen Ranum, Deren (Kelly Tandiono). Deren mengundang Ranum ke acara peragaan karyanya dengan kata-kata penuh rayuan. ”Aku tidak menjahit kain. Aku menjahit perasaan di lekuk tubuh,” ucap Deren ketika Ranum dibaluti kain satin merah dengan bahasa tubuh menggoda.
Acara peragaan busana itu juga berujung dengan darah. Ranum tak hadir di dua acara tersebut. Meski begitu, dia merasa terlibat dalam kejadian itu. Kegelisahan merongrongnya. Mentalnya tergerus. Semua gara-gara rayuan gombal.
Sumber trauma
Film Puisi Cinta yang Membunuh ini bukan film horor kebanyakan yang menjadikan hantu atau setan sebagai antagonisnya. Di film thriller ini, Garin Nugroho hendak menyampaikan bahwa manusia dan kata-katanya adalah sumber kengerian. Kengerian, menurut Garin, bermuasal dari beberapa hal. ”Ada trauma kekerasan, proses healing, dan juga fenomena yang terjadi di masyarakat,” kata dia dalam pemutaran perdana film ini di Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Sebagai sineas kawakan, film ini adalah debut pertamanya menyutradarai film bergenre horor/misteri. Chand Parvez Servia dari Starvision Plus yang mengajaknya ”bikin film yang diminati penonton”, seperti kata Chand dalam sambutannya di acara itu. Sebelumnya, Chand dan Garin pernah bekerja sama menggarap film A Perfect Fit (2021) yang ditayangkan di Netflix.
Ajakan Chand disambut Garin dengan menyodorkan sinopsis yang dia kembangkan dari salah satu bagian di buku puisinya yang berjudul Adam, Hawa, dan Durian. Chand tertarik. ”Horor tidak harus berjorok-jorok, tapi bisa juga indah. Horor bisa jadi karena trauma yang dituturkan dengan baik,” kata Chand.
Begitulah adanya film horor perdana Garin ini; sarat dengan kata-kata puitik, serta kisah traumatis. Kekerasan demi kekerasan, baik yang meneror mental hingga melukai fisik bertebaran sepanjang film. Lewat film ini, Garin seolah-olah memasuki ranah baru yang berbeda dari kebiasaannya.
Dari pemilihan judul, film ini terasa kurang metaforik. Frasa ”puisi cinta” benar-benar bisa membunuh. Bandingkan dengan judul-judul film Garin sebelumnya yang terdengar romantik sekaligus metaforik, seperti Bulan Tertusuk Ilalang, Daun di Atas Bantal, Puisi Tak Terkuburkan, hingga Kucumbu Tubuh Indahku. Film-film tadi juga punya ”kekerasan” dan ”trauma”, tapi tak segamblang di film ini.
Dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, misalnya, Garin juga menyajikan kekerasan yang bisa dibilang keji. Kekerasan itu muncul berkali-kali di film terbarunya sehingga film ini bisa disebut juga bercorak slasher. Namun, kekerasan itu seperti kehilangan alasannya.
Trauma yang disebut-sebut sebagai penyebab kekerasan tak digali lebih dalam. Asal-muasal trauma Ranum di film ini ”cuma” dijelaskan lewat dialog antara dosen psikologi bernama Anna (Raihannun) dan Laksmi (Ayu Laksmi) yang menekuni spiritualisme. Bisa jadi Garin sengaja menyimpan bangunan trauma itu sebagai pelintiran plot. Namun, genealogi trauma yang dialami Juno di film Kucumbu Tubuh Indahku (2019) jauh lebih meyakinkan.
Film ini mulai tayang di bioskop pada 5 Januari 2023 bareng dengan penayangan film horor lainnya, Alena Anak Ratu Iblis. Kejayaan film horor sepertinya masih terus berlanjut di tahun 2023 yang memasuki tahun politik ini, ketika rayuan gombal politisi menjadi-jadi. Ah, sama seramnya. (HEI)