The Big 4: Laga Komedi Bertabur Cacian
Cerita laga komedi membuat sebuah film menjadi sangat menghibur dan mengocok perut penontonnya seperti kali ini coba disajikan dalam The Big 4 garapan sutradara Timo Tjahjanto.
Film-film bergenre paduan laga dan komedi tak pernah gagal menghibur sekaligus mengocok perut penontonnya. Formula perpaduan macam itu sempat populer dan booming sejak era 1980-an dan 1990-an, terutama di industri perfilman Hong Kong.
Banyak nama aktor di Hong Kong bermunculan saat itu, seperti Jackie Chen dan Stephen Chow. Formulasi gerakan kungfu, koreografi perkelahian yang menawan, ditambah alur cerita dan akting konyol cukup membekas dalam benak para penonton.
Baru-baru ini sutradara spesialis laga berdarah-darah Tanah Air, Timo Tjahjanto, mencoba bereksperimen dengan menggunakan formulasi serupa dalam film terbarunya, The Big 4. Film laga komedi ini berkisah tentang empat anak yatim piatu yang diangkat anak dan dilatih menjadi pembunuh bayaran.
Oleh sang ayah angkat, yang juga mantan pembunuh, keempatnya dilibatkan dalam sejumlah operasi rahasia. Operasi yang hanya menyasar para penjahat kelas kakap. Menurut sang Bapak, Petrus (Budi Ros), tak ada salahnya mencari sedikit keuntungan finansial dari pekerjaan membunuh sampah masyarakat. Begitu kurang lebih argumennya.
Keempat anak angkatnya digambarkan punya kemampuan dan kelebihan masing-masing. Mereka adalah Topan (Abimana Aryasatya), Jenggo (Arie Kriting), Alpha (Lutesha), dan Pelor (Kristo Immanuel).
Topan, anak tertua, jago berkelahi. Sementara Jenggo, anak kedua, adalah penembak jitu. Ia menamai senapannya Siska yang ia perlakukan mesra layaknya pacar. Anak ketiga, Alpha, adalah tokoh yang meledak-ledak dengan sindrom tourette-nya. Ia juga ahli bahan peledak. Si bungsu, Pelor, masih mencari jati diirinya sehingga kerap dimajukan sebagai umpan.
Sosok bapak digambarkan punya anak kandung, Dina (Putri Marino), seorang perempuan detektif. Kekacauan terjadi setelah terbunuhnya sang bapak sehingga anak-anaknya bertekad mengungkap sekaligus membalas dendam atas kematiannya. Lagi-lagi formula cerita klasik film laga gaya Hong Kong, di mana balas dendam adalah suatu kewajiban yang diturunkan.
Nuansa komedi dan laga pertarungan ala film-film Hong Kong tampak tak terelakkan muncul di beberapa adegan. Gaya bertarung Topan dengan melibatkan gerakan-gerakan slapstick sangat mengingatkan penonton pada koreografi perkelahian ala Jackie Chan yang menggunakan benda-benda keseharian sebagai senjata melumpuhkan musuh saat bertarung.
Tak hanya itu, penampilan dan gaya tengil bos penjahat, Antonio (Marthino Lio), di film ini mengingatkan orang pada salah satu karakter dan adegan di film Stephen Chow, Kungfu Hustle, baik cara berbicara, mimik muka, nada suara, maupun kesenangannya meliuk-liuk dan berjoget.
Terlepas dari semua itu, Timo tampak serius menggarap filmnya yang tayang di salah satu platform pemutar film streaming berbayar, Netflix, ini. Dalam catatan produksinya dipaparkan Timo menggunakan banyak efek spesial terutama ledakan dan tembakan, yang menjadikan sejumlah adegan terlihat seperti nyata.
Timo juga menghadirkan adegan orang terbakar seperti kerap juga ada di film-film dia sebelumnya. Tentunya, tambah Timo, adegan seperti itu dilakukan tetap dengan memperhatikan unsur keselamatan para pemain dan kru.
”Tak tahu kenapa, tapi selalu ada karakter yang terbakar di film saya. Menurut saya, keren, tapi saya juga tidak ingin terjadi situasi berbahaya. Kami punya tim keselamatan yang selalu siaga. Kami menggunakan alat khusus yang aman ketika dibakar dan kami tidak lupa memeriksa dua hingga tiga kali untuk memastikan semuanya bekerja sesuai dengan standar keselamatan,” papar Timo.
Adegan tembak dan meledak macam itu juga diakui menjadi tantangan tersendiri oleh para pemain, termasuk Abimana. Dia bercerita di salah satu adegan bahkan harus memberanikan diri ketika sebuah squib (semacam kembang api kecil) meledak di depan wajahnya untuk kebutuhan efek khusus.
”Api dan ledakan yang nanti penonton lihat di film benar-benar terjadi alias bukan efek buatan,” ujar Abimana.
Selain penuh dengan ledakan, Timo juga melibatkan 50 orang pemeran pengganti (stuntman) profesional dan total 100 pucuk replika senjata. Selama dua bulan persiapan, para pemain juga diharuskan berlatih tujuh jam, enam hari per minggu, terutama melatih koreografi perkelahian. Menurut Timo, hal itu menjadi tantangan tersendiri lantaran kebanyakan pemain utama tak berlatar belakang kemampuan bela diri.
Timo mengaku cenderung skeptis pada efek khusus yang digerakkan secara digital oleh program komputer (CGI). Dia lebih memilih menerapkan adegan laga secara riil di film-filmnya termasuk kali ini. Apalagi, perkembangan dan penerapan CGI di Indonesia, menurutnya, relatif masih baru dan berbiaya mahal.
Cacian
Salah satu unsur menarik di film ini terletak pada dialog. Timo juga banyak memasukkan ungkapan dan cacian yang sudah akrab di telinga dalam kehidupan keseharian.
Dalam wawancara seusai peluncuran film ini pertengahan Desember 2022 , Timo mengaku memasukkan sumpah serapah macam itu dalam dialog bukan lantaran ”gunting” sensor Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia belum sampai menjangkau OTT.
”Saya sih enggak ingin denial, ya, karena toh dalam kehidupan sehari-hari yang namanya swear words itu biasa kita dengar, termasuk dalam bahasa daerah. Buat saya, dalam melihat keindahan lokal itu kacamatanya bukan hanya dari beauty-nya saja, tapi juga dari yang kasarnya. It’s a part of our culture juga, kan, ya,” ujar Timo.
Dalam kesempatan sama, baik Arie maupun Lutesha sama-sama mengakui hal itu sebagai suatu pengalaman baru. Biasanya, menurut Lutesha, di film-film lain yang pernah ia ikuti kadang ada pembatasan tentang kata-kata atau kalimat tertentu yang tak boleh diucapkan.
Sementara itu, menurut Arie, kata-kata cacian tidak masalah untuk dimasukkan ke dalam dialog sepanjang masih sesuai konteks adegannya dan juga jadi bagian dari ekspresi. Terkadang dalam adegan emosional atau karakter tertentu akan lebih pas menggunakan kata-kata cacian dan makian yang sesuai.
”Jadi enggak semua karakter atau dalam semua adegan ada kata-kata macam begitu. Yang penting sesuai konteksnya,” tambah Arie.