Menarikan Pesan Kehati-hatian
Pesan kehati-hatian menjadi gamblang ketika ditautkan dengan tahun politik 2024 nanti. Di masa itulah pesta demokrasi berlangsung. Kita memilih wakil rakyat dan pemimpin bangsa seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Terasa juga pesan politik di balik keindahan gerak seni pertunjukan tari bertajuk Jarum dalam Jerami karya Hartati. Koreografer berdarah Minang ini memberi pesan perlunya sikap hati-hati supaya jari kita tidak tertusuk jarum ketika harus mencari batang logam dan runcing itu di tumpukan jerami.
Pesan kehati-hatian menjadi gamblang ketika ditautkan merambatnya waktu memasuki tahun politik 2024 nanti. Di masa itulah pesta demokrasi berlangsung. Kita memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin bangsa ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Jarum yang terselip di antara batang jerami bisa melukai tangan si pencarinya. Mungkin pula jarum itu tersembunyi dan terlewatkan alias tidak bisa ditemukan. Jarum berukuran sangat kecil dan runcing menjadi perlengkapan sangat penting ketika hendak menjahit kain. Sama seperti halnya menemukan pemimpin yang tepat untuk menjahit baju peradaban bangsa, tentu tidaklah mudah.
Seni pertunjukan tari Jarum dalam Jemari dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (16/12/2022) dan Sabtu (17/12/2022). Pesan politiknya terbaca lewat perbincangan bersama Hartati dua hari menjelang pementasan. Karya koreografi Jarum dalam Jerami itu, katanya, sebagai penghormatan sekaligus bagian lanjut dari karya koreografi Gusmiati Zuid (1942-2001) berjudul Api dalam Sekam yang dibuat pada 1998.
”Gusmiati melalui karya itu ingin mengingatkan situasi sosial dan politik pada masa-masa itu yang diibaratkan sebagai api dalam sekam,” ujar Hartati, yang lahir di Jakarta, 27 Februari 1966, dan dibesarkan di kampung halaman orangtuanya di Muaralaboh, Solok Selatan, Sumatera Barat.
Hartati menjadi salah satu dosen tari di Institut Kesenian Jakarta. Ia bergabung ke sanggar tari bernama Gumarang Sakti yang didirikan Gusmiati Zuid pada 1982 di Jakarta.
Gusmiati merupakan maestro seni tari kontemporer Indonesia yang bertolak dari seni tradisi matrilineal Minang. Akan tetapi, setiap karya seni tari kontemporer yang diciptakan Gusmiati selalu berusaha keluar dari pakem seni tari tradisi Minang. Setidaknya ada 30 karya seni tari kontemporer yang selalu dikenang sebagai karya Gusmiati.
Gusmiati pernah mementaskan karya-karyanya di beberapa negara, seperti di Lausanne, Swiss (1980), dan Asia Festival of Theatre, Dance and Martial Art, di Calcutta, India (1987). Penghargaan Bessies Award dari New York Dance and Performance, Amerika Serikat, pernah diterima pada 1991.
Sanggar tari Gumarang Sakti juga pernah menjadi satu-satunya wakil Asia untuk peringatan 100 tahun lahirnya tari modern di Internationalis Tanz Festival ke-6 di Jerman, 1994. Gusmiati, menurut Hartati, seorang pencipta tari yang selalu bertolak dari persoalan-persoalan sosial politik yang sedang berkembang.
Panen padi
Pada masa kecil, Hartati yang tumbuh di Solok memperoleh pengalaman berada di tengah masyarakat agraris penanam padi. Masa-masa panen padi menjadi sentuhan tema karya tari Jarum dalam Jerami.
Adegan awal di gelapnya panggung, suara empasan batang jerami untuk merontokkan bulir-bulir padi pun mengalun. Lampu perlahan menyala dan menerangi seorang penari yang sedang merontokkan bulir-bulir padi dari batangnya.
Sejenak muncul penari-penari lain yang membawa karung dipenuhi jerami. Mereka menumpahkan jerami di tengah panggung dengan lingkaran sorotan lampu itu. Tidak sedikit jerami yang dibawa. Di panggung kemudian seperti menjelma gunung jerami.
Penari berjumlah 15 orang. Sebagian besar mahasiswa tari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat. Mereka satu per satu memasuki panggung mengitari gunung jerami tadi. Lalu, satu penari menggandeng tangan satu penari lain untuk melangkah ke puncak gunung jerami. Seirama musik mengalun, gerak kaki para penari mulai meratakan jerami ke atas lantai.
Di atas jerami itu mereka menari. Rangkaian gerak tari Minang yang juga di antaranya berbasis silat itu memukau para penonton. Mereka menari dan memainkan metafora mencari jarum di atas jerami yang tak kunjung didapati.
Sikap kehati-hatian dalam mencari jarum itu menjadi metafora kekinian. Meski banyak pencapaian dan kemajuan dalam berbangsa, kita semestinya selalu dihadapkan pada sikap kehati-hatian dalam melanjutkan tongkat estafet berbangsa.
”Sikap kehati-hatian juga diperlukan dengan berhitung, apakah panenan padi kita cukup untuk mencapai masa panenan berikutnya?” ujar Hartati.
Di kehidupan nyata, panen padi sering tidak mencukupi kebutuhan. Pemerintah lalu mengimpor beras. Hartati menyiratkan, impor beras terjadi karena kita tidak memiliki sikap kehati-hatian dalam memperhitungkan panenan padi untuk mencukupi kebutuhan.
Matrilineal
Karya koreografi Jarum dalam Jerami sebelumnya menjadi pementasan puncak Festival Budaya Matrilineal ”Alek Mandeh” di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, akhir Oktober 2022. Masyarakat Minang atau Minangkabau memiliki budaya matrilineal dengan sistem kekerabatan dari garis keturunan ibu. Hal ini memengaruhi kuatnya peran perempuan di dalam tradisi Minang.
Festival Budaya Matrilineal ”Alek Mandeh” mengangkat tema ”Dialektika Perempuan Minangkabau dalam Khasanah Budaya Matrilineal Masa Kini”. Kegiatan dipusatkan di Jorong Koto Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato Nagari Sijunjuang, yang masih pekat dengan tradisi matrilineal.
Di situ ada enam komunitas nagari yang, antara lain, meliputi Pariangan (Tanah Datar), Sijunjung (Sijunjung), Siguntua Lingkuang Aua (Pasaman Barat), Ulakan (Padang Pariaman), dan Nagari Inderapura (Pesisir Selatan). Mereka masih memiliki perkampungan-perkampungan adat matrilineal.
Festival Budaya Matrilineal didukung Direktorat Perfilman, Musik, dan Media pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ahmad Mahendra sebagai direktur mengungkapkan, tradisi kekerabatan matrilineal di Minangkabau menjadi salah satu komunitas matrilineal terbesar di dunia.
Menurut Hartati, festival itu juga turut memperbincangkan keberadaan perempuan Minang di perantauan. Gusmiati Zuid menjadi salah satu tokoh perempuan Minang perantauan.
”Saya diminta melakukan pembacaan terhadap Gusmiati Zuid. Kemudian saya memilih untuk merespons karya koreografi Gusmiati, yaitu Api dalam Sekam,” ujar Hartati, yang bergabung di sanggar tari Gumarang Sakti selama 20 tahun. Hartati juga menjadi menantu Gusmiati sehingga pembacaan terhadap Gusmiati dilengkapi kedekatan cukup erat.
Karya koreografi Api dalam Sekam pada 1998 memiliki alur kesinambungan dari karya sebelumnya, yaitu Kabar Burung. Ini rangkaian pementasan koreografi yang tidak hanya diciptakan Gusmiati pada 1997. Hartati menjadi asisten Gusmiati yang turut mencipta karya koreografi Kabar Burung 1 dan karya lainnya yang diberi judul Suap.
”Pada saat itu mulai terdengar suara-suara sumbang terhadap pemerintahan Orde Baru. Inilah yang kemudian dirangkai menjadi karya koreografi dalam pementasan Kabar Burung di Gedung Kesenian Jakarta,” kata Hartati seraya menjelaskan waktu pementasannya berdekatan dengan peristiwa kerusuhan Juli 1997. Ia lupa kapan persisnya.
Hartati membaca konteks dan pesan menjadi dua agenda penting dari setiap karya koreografi Gusmiati. Sekarang pun Hartati mengikutinya dengan menyodorkan kedua hal itu.
Konteks Jarum dalam Jerami bertautan dengan masa menuju tahun politik 2024. Pesannya, kehati-hatian. Hati-hati dalam banyak hal, mungkin termasuk dalam memilih pemimpin bangsa ini nanti, supaya di kemudian hari tidak tersakiti, tidak tertusuk jarum di dalam jerami.