Selebrasi Talenta Asia di Head in the Clouds Festival
Festival Head in the Clouds Jakarta 2022 menjadi tempat kita merayakan para talenta berbakat Asia.
Akhirnya tiba pada masa ketika talenta musik Asia mendapat apresiasi secara global. Keberhasilan itu menerbitkan rasa bangga di hati penggemar dari negara asal. Identitas sebagai orang Asia rupanya berperan penting dalam perjalanan karier mereka.
“Ini gara-gara nonton sambil jingkrak-jingkrak, ngayun lightstick, dan pakai mantel hujan. Bajuku jadinya basah kuyup,” kata David Fransisco Purba (25), pemuda asal Medan, usai menonton penampilan grup (G)I-DLE dari Korea Selatan.
David adalah satu dari sekian ribu penonton yang antusias memadati Festival Head in the Clouds (HITC) Jakarta 2022 yang digelar 88rising. Berlokasi di Community Park, Pantai Indah Kapuk 2, Banten, festival musik ini berlangsung selama 3-4 Desember 2022.
Pertama kali digelar di Indonesia, HITC menghadirkan sejumlah talenta muda Asia yang mulai mendapat pengakuan dunia, seperti Stephanie Poetri, Zico, (G)I-DLE, Joji, Atarashii Gakko!, dan NIKI. Penampil lain yang ikut meramaikan acara, antara lain BIBI, Eaj, Jackson Wang, dan Rich Brian.
Sedikit kilas balik, Sean Miyashiro mendirikan 88rising pada 2015. Perusahaan musik ini bertujuan untuk mendukung karya artis Asia, imigran, dan kelompok minoritas yang kurang terwakili dalam musik. 88rising berbasis di Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Pada 2018, 88rising mulai menggelar HITC sebagai acara tahunan. Setelah sempat terbentur awal pandemi, penyelenggaraannya berlanjut. Pada tahun ini, HITC berlangsung di tiga negara, yakni Amerika Serikat, Indonesia, dan Filipina.
Kehadiran label seperti 88rising tak pelak menambah partisipasi musisi Asia di ranah musik global. Di masa lalu, ekspor musik Asia, misalnya dari India, Taiwan, Jepang, dan China, telah sukses meskipun penikmatnya masih di kalangan negara-negara Asia sendiri.
Berkat globalisasi dan perkembangan teknologi, musik Asia perlahan menjajaki pasar musik barat. Musik K-Pop menjadi contoh terbaik yang menunjukkan ekspor musik tak hanya lagi menguasai negara Asia, tetapi juga merambah ke negara barat, terutama Amerika Serikat.
Dalam industri musik, AS adalah pusatnya sebab negara ini secara konsisten menjadi pasar musik terbesar dunia diikuti oleh negara lain seperti Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, China, dan Korsel.
Dalam perjalanan yang tak mudah, artis K-Pop sebutlah Wonder Girls, BIGBANG, PSY, BLACKPINK, dan BTS mulai merangsek ke tangga lagu atau merebut penghargaan mengalahkan musisi di Negara Paman Sam itu. Belakangan, kehadiran 88rising membuka jalan bagi talenta dari belahan Asia lainnya, termasuk Asia Tenggara.
Dari Indonesia, hadirlah Rich Brian, NIKI, Stephanie Poetri, dan Warren Hue. Ada juga Milli dari Thailand, Jackson Wang dari China, dan Joji dari Jepang.
Hijrah terbalik
Sudah menjadi pakem lama bahwa seorang artis idealnya membangun karier yang solid di dalam negeri terlebih dulu sebelum menyasar pasar internasional. 88rising menawarkan fenomena baru. Beberapa artis yang belum mempunyai nama di negara sendiri justru memulai karier di luar negeri dan sukses. Semacam hijrah terbalik.
Alhasil, karya para talenta tersebut juga banyak mengikuti standar terinspirasi dari musik barat, baik itu dari segi musik, lirik, maupun penampilan. Meskipun demikian, mereka tetap memberi warna sendiri yang berasal dari latar belakang sebagai orang Asia.
BIBI, sebagai contoh, mencampurkan lirik berbahasa Inggris dengan Korea. Sementara itu, bahasa Jepang masih mendominasi lagu-lagu Atarashii Gakko! yang unik. Beberapa artis juga banyak berbicara tentang pengalaman pribadi sebagai seorang Asia di AS.
Kasus yang sedikit berbeda terlihat pada karya para rapper 88rising. Mengutip artikel The Influence And The Advantage of American Hip Hop To The Rising Asian Rappers (2020)yang ditulis Mayza Nisrin Abielah di Jurnal Rubikon, karya rapper 88rising menunjukkan terjadinya imperialisme budaya Amerika.
Imperialisme budaya sederhananya berarti dominasi budaya dari satu peradaban, negara, atau institusi terhadap entitas lain yang kurang kuat. Abielah menulis, para rapper Asia mengadopsi budaya, bahasa, dan gaya hip hop Amerika Serikat untuk mendapat pengakuan. Kecenderungan ini terlihat pada Rich Brian.
Meskipun begitu, ada kalanya mereka kembali ke akar. Rapper Warren Hue, saat tampil di HITC Jakarta di hari kedua, tampil semangat dengan lagu-lagu semacam “Runaway W Me”, “Demostar Beenlit”, dan “In My Bag”. Lirik-lirik lagunya yang berbahasa Inggris dengan slang dan umpatan khas AS tidak melunturkan semangat penonton ikut bernyanyi.
Ia kemudian berkomunikasi dengan penonton dalam bahasa Inggris dan Indonesia. “Kalau belum tahu, nama saya Warren Hue. Aku lahir di Jakarta, Indonesia, usia sembilan belas tahun,” kata Warren di sela-sela konser.
Selain itu, NIKI, Warren Hue, dan Rich Brian dalam lagu “California” membahas hidup perantau Asia di AS. Lagu ini turut dibawakan oleh Rich Brian dan Warren Hue dalam penutupan HITC Jakarta.
Salah satu penonton HITC Jakarta, Rina Armalina (23) dari Samarinda, Kalimantan Timur, berpendapat, dirinya turut menyadari karya-karya sejumlah artis 88rising sangat berorientasi pada pasar barat. Fenomena itu tidak terelakkan.
“Kalau memasukkan aksen-aksen musik khas Indonesia untuk langsung booming di Amerika agak susah ya. Karena sudah dicoba oleh grup K-Pop yang terkenal di Asia tapi susah masuk di Amerika sehingga mereka juga beradaptasi,” ucap Rina.
Politik identitas
Keberhasilan artis Asia di 88rising berkarier di Amerika Serikat menggelitik pembahasan soal permainan politik identitas dalam industri musik. Para talenta menggunakan identitas musisi Asia sebagai pembeda karya dari musisi lainnya. Identitas itu menjelma sebagai nilai jual tambah kepada pendengar di barat maupun timur.
Dalam buku Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi Keetnisan Versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali dan Papua (2019), mengutip Agnes Heller, politik identitas dapat merujuk sebagai strategi politik yang fokus pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utama.
Keunikan identitas mereka menarik minat pendengar seperti Tamara Oktricia (34), penonton HITC Jakarta dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Perempuan ini mengidolakan Zico, Joji, NIKI, Eaj, dan Stephanie Poetri yang dinilai telah memiliki musikalitas yang tak kalah dari dengan artis barat.
“Aku sebenarnya interested sama kisah mereka sebagai orang Asia yang sukses di Amerika. Bisa berkarier dan melakukan sesuatu yang hebat di benua orang. Tapi terlepas dari itu, musik mereka itu brilian, jenius, dan bisa masuk di kuping,” kata Tamara.
Sama halnya dengan Adabi Abdurahman (25), karyawan swasta dari Jakarta Timur yang menantikan penampilan YOASOBI dan Rich Brian di HITC Jakarta. Abi, demikian nama kecilnya, baru belakangan kepo dengan artis-artis 88rising gara-gara istrinya. Selama ini dia lebih suka musik-musik beraliran pop punk dan emo.
“Gue tertarik gara-gara vibes mereka beda terus gue jadi ada rasa bangga juga musisi-musisi Asia ini berhasil go international. Dari kualitas musikalitas mereka sepadan sama musisi asing, bahkan lebih unik dari segi wajah, musik, dan lagu. Mereka bisa membawa energi ke penonton,” kata tutur Abi.
Baca juga: Senggigi Kembali Menggigit
Perkataan Abi itu terbukti. Rich Brian sebagai salah satu penutup HITC Jakarta menggetarkan panggung dengan lagu-lagu seperti “Vivid”, “Lagoon”, “Gospel”, dan “Who That Be” yang memiliki beat yang keren dan melodi yang cepat. Semangat penonton ikut membara.
Brian pun terlihat percaya diri di atas panggung. Ia tampil simpel dengan mengenakan singlet putih, celana gombrong berwarna gelap, dan sepatu sneakers. Tampilan cuek itu sedikit mengingatkan pada kebiasaan rapper AS sekaligus aktor laga Hong Kong era 1990-an.
Saat mendengarkan musik 88rising, Abi malahan bisa merasa lebih tersentuh ketimbang mendengarkan musisi barat walaupun mereka mengusung jenis musik dan bahasa yang sama. “Mungkin karena mereka Asia jadi gue lebih relate sama apa maksud lirik mereka mau dari segi slang atau cerita ya,” ujar Abi.
Festival Head in the Clouds menjadi tempat kita merayakan para talenta berbakat Asia. Mereka membuktikan Asia tak bisa dipandang sebelah mata oleh industri musik yang dikuasai barat lewat talenta, kemampuan, dan karya yang luar biasa. (Billboard)