Bali, Wisata dan Simalakama
Sisi romantis saya mengangankan manusia Bali yang berkarya demi Yang Maha Kuasa dan melayani kebutuhan turisme sebagai bonus. Namun, sisi realistis saya menginginkan saudara sebangsa di Bali hidup berkecukupan.
Saya kembali ke Bali bulan lalu setelah pandemi berjalan lebih dua setengah tahun. Mendarat seminggu sebelum acara puncak G20, saya melihat Bali yang sudah lebih sibuk dibandingkan dengan cerita dan dokumentasi teman yang ke Bali pada dua tahun pertama merebaknya Covid.
Tetapi, tetap tidak seramai Bali sebelum pandemi.
Menjumpai seorang sahabat asing yang berlibur bersama keluarganya, kami menetap di Seminyak. Saya berusaha membawa mereka makan dan berbelanja khas Bali, dan di saat menelusuri Seminyak-Petitenget inilah saya menyaksikan dampak nyata pandemi.
Banyak langganan saya, mulai dari tempat jajan, penjual cenderamata sampai butik pakaian, yang ternyata telah tumbang. Yang bertahan harus mengurangi pekerja dan fokus menghabiskan stok jualan yang tersendat. Di sebuah toko pakaian kecil, staf yang tersisa bercerita bahwa staf lama bahkan sampai mencurangi inventaris toko untuk bertahan karena gaji hanya dibayar sebagian.
Saya tidak serta-merta menyalahkan pemilik karena tanpa pemasukan, bagaimana mampu membayar pegawai seperti biasa?
Baca juga: Chiharu Shiota: Jejaring Benang Kehidupan
Sedikit kelegaan saya mendapati pemain yang identik dengan Bali, seperti Uluwatu Lace, toko bordir khas Bali sejak akhir 1970-an, dan usaha yang populer sejak 1990-an, seperti toko sepatu Niluh Djelantik dan toko dekor Bali Zen, termasuk yang bertahan di Seminyak. Kelegaan itu tetap tak mengobati sedih saya atas tutupnya sekian tempat lain, mayoritas bahkan tanpa jejak pindah ke mana.
Setelah teman kembali ke negaranya, saya melanjutkan ke Ubud, lokasi saya melaras rasa sejak masih hening dan dihijaukan padi. Situasi serupa saya temui. Pemilik penginapan kecil langganan saat acara yoga menunjukkan kolam ikan yang ia bangun di ujung sawah keluarga untuk sumber lauk bagi dirinya dan pegawai penginapan. Memberhentikan pegawai pun ternyata tak mudah karena banyak yang tak punya pilihan apa pun di kampung sehingga bertahan merantau walau seadanya.
Kelegaan saya di Ubud datang dari bertahannya toko pakaian yoga Lucky, toko tas bermotif lukisan hewan Mina, dan Ibu Ayu yang sebelum eco-green menjadi tren sudah mengolah karung sebagai tas belanja dan pelindung matras yoga. Saat makan di resto ikonis Batan Waru, yang menurut pramusajinya baru buka kembali Juni lalu, saya menyaksikan sepinya turis di jalan untuk sebuah Sabtu.
Semua ini mengingatkan saya pada perjalanan ke Bali pada awal 2018, enam bulan setelah letusan Gunung Agung mematikan turisme sepulau.
Baca juga: JFW Ke-15: Tawaran Asa Lewat Helai Busana
Sopir yang menjemput dari bandara bercerita sepanjang jalan tentang jumpalitan yang pekerja wisata harus lakukan sekian bulan. Tadinya bisa hidup dengan menyopiri tamu dan memandu ke Gunung Batur untuk menonton terbit fajar, ia banting setir bercocok tanam demi bisa makan.
Suaranya lirih saat mengisahkan hari di mana harus memilih antara mempertahankan ayam peliharaan penghasil telur dan menjualnya demi kebutuhan yang hanya bisa dibayar dengan uang. Miris saya membayangkan jumpalitan yang terjadi seantero Bali hampir tiga tahun ini.
Ketergantungan erat pada turisme di Bali bukan isu baru: bahan debat hangat di beberapa kalangan.
Yang pro berargumen bahwa penghasilan tetap sebagai pegawai penginapan, restoran atau toko, walau kadang kecil, lebih pasti dari mengolah alam. Saya sulit mendebat ini karena saya kerap menemui pekerja wisata lepasan di Bali yang bercerita bahwa bahkan tanpa gaji tetap, pendapatan rata-rata masih lebih tinggi dari hidup sebagai petani, peternak atau nelayan.
Yang kontra berargumen bahwa ketergantungan tinggi pada turisme tak mendorong sumber daya manusia Bali mengasah keterampilan lain dan karena itu rentan, terutama di Selatan. Seorang penggiat seni Bali secara privat mengeluh bahwa kekayaan budaya Bali, yang sejatinya datang dari falsafah dan bertalian dengan kehidupan keagamaan dan komunitas, jadi tereduksi sebagai komoditas wisata.
Cetusan serupa saya temui saat mengunjungi sebuah desa khusus pematung beberapa tahun lalu. Kian menyedikit pemuda Bali yang mau menekuni seni mematung halus karena lama untuk membuat dan terjual di art shop, sementara mainan kayu bercat warna-warni cepat laku di kedai cenderamata tanpa perlu keterampilan ukir atau pahat tinggi.
Senada, teman di bisnis ritel busana di Denpasar menyesalkan makin jarangnya gadis Bali yang mampu atau mau membordir tangan sehingga kebaya yang umum diperjualbelikan adalah hasil bordir mesin yang kadang bahkan datang dari luar Bali.
Kedua argumen berimbang dalam kebenaran dan kekurangannya. Sisi romantis saya, yang masih ikhtiar menabung untuk karya seni dan kriya tangan Bali yang berkualitas, mengangankan manusia Bali yang berkarya semata demi Yang Maha Kuasa dan melayani kebutuhan turisme sebagai bonus belaka. Namun, sisi realistis saya tentunya menginginkan saudara sebangsa di Bali hidup berkecukupan, sesuatu yang untuk kelas kerah biru saat ini jalan termudahnya adalah pariwisata.
Baca juga: Lebih Cerdas dalam Protes Perubahan Iklim
Seorang kawan Bali yang besar di Pulau Dewata sebelum merantau untuk sekolah dan karier korporat pernah berbagi kegelisahannya. Putrinya yang lahir di rantau malas berlatih menari dan tak senang bunyi gamelan, sementara tetangganya, yang sama sekali bukan keturunan Bali, menari lincah di berbagai panggung kesenian. Putrinya berujar, pura tak akan kekurangan penari untuk upacara karena toh bisa panggil penampil profesional seperti di hotel-hotel.
Saya, peranakan Aceh-Jawa yang digelandang ibunya masuk ke sanggar tari Bali sejak usia dini, dan sampai sekarang masih bisa agem dan sledet dengan baik, terdiam. Akankah teman saya bangga apabila tahu saya menarikan Legong Kraton di acara publik saat hidup di mancanegara, atau merasa saya bagian dari komersialisasi budaya leluhurnya?
Mungkin itu topik lain waktu. Topik kali ini buah simalakama ketergantungan tinggi kehidupan di Bali pada pariwisata dan sampai di pengujung kolom saya tetap tak tahu solusi terbaiknya. Saya terbayang wajah-wajah yang baru saya jumpai kembali kemarin, wajah-wajah yang berharap kemeriahan G20 dan Tahun Baru 2023 menjadi tonggak bangkitnya pariwisata Bali, wajah-wajah yang agak cemas akan resesi global dan mungkin makin cemas karena beberapa pasal KUHP yang baru disahkan— dan saya gundah bahwa saya baru sebatas bisa menuangkan pertanyaan besar ini dalam tulisan.
LYNDA IBRAHIM
Konsultan Bisnis dan Penulis