Mekarnya Film Asia Pasifik
Tidaklah salah jika agenda tahunan JAFF 2022 yang menginjak usia 17 tahun itu mengambil tema ”Blossom”, yang bermakna bersemi atau bermekaran. Ada banyak energi kreatif bermekaran dari kalangan perfilman anak muda.
Sebuah festival film yang saat ini bisa dikatakan terbesar di Indonesia, Jogja-Netpac Asian Film Festival atau JAFF 2022, menunjukkan lonjakan jumlah pendaftar peserta naik 700 persen dibandingkan tahun lalu. Ada 3.000 film lebih didaftarkan, hingga akhirnya diputuskan hanya 137 film dari 19 negara Asia Pasifik yang ditayangkan di festival itu.
Tidaklah salah jika agenda tahunan JAFF 2022 yang menginjak usia 17 tahun itu mengambil tema ”Blossom”, yang bermakna bersemi atau bermekaran. Ada banyak energi kreatif bermekaran dari kalangan perfilman anak muda.
Inovasi-inovasi baru muncul dalam menghadirkan moda produksi dan penjelajahan artistik. Lebih lagi, di antara film-film mereka berhasil menghadirkan sudut pandang baru terhadap berbagai persoalan sosial yang usang dan masih terus membelit.
Setidaknya, demikianlah catatan Budi Irawanto, Presiden Festival JAFF, yang disampaikan kepada media. JAFF dilangsungkan selama delapan hari, 26 November hingga 3 Desember 2022.
Bukan hal mudah dalam menentukan film apa dan dari mana untuk dipilih dan ditonton selama festival di gedung bioskop Empire XXI Yogyakarta tersebut. Senin (28/11/2022) siang itu, Budi Irawanto mengajak dan merekomendasikan untuk menonton sebuah film asal Sri Lanka, berjudul The Newspaper (2020).
Ini film drama. Meski alurnya datar, gejolak ceritanya menohok dan kontekstual dengan masa kekinian yang begitu mudah dan cepat dalam menyebarkan informasi sekalipun informasi itu salah. Dampaknya bisa sangat merusak.
Terorisme
Dua sutradara film The Newspaper, Sarath Kothalawala dan Kumara Thirimadura, sekaligus menjadi dua pemeran utama. Ini kisah pertemanan dua tokoh itu dalam memperjuangkan sebuah berita yang benar. Salah satu di antara mereka menjadi korban berita yang salah sebagai teroris pengeboman sebuah truk tentara, sembilan tahun silam.
Ketika itu, pemberitaan salah begitu cepat menjalar tidak terkoreksi dan tidak hanya mencelakakan dirinya, tetapi juga segenap keluarganya. Masa-masa suram berlalu hingga sembilan tahun berikutnya muncul keinginan untuk meluruskan berita tentang terorisme itu. Kedua orang ini dalam situasi miskin dan hidup menggelandang.
Dinamika pertemanan mereka cukup menarik. Mereka sempat mendatangi kantor redaksi yang dianggap pernah memberitakan kabar yang salah tersebut. Tidak mudah untuk meminta sebuah tanggapan demi pembersihan nama atau pelurusan berita dari peristiwa yang sudah berlangsung sembilan tahun silam.
Suatu ketika, muncul adegan petinggi media melecehkan satu di antara mereka. Satunya lagi ingin membela dan melayangkan tinjunya ke orang media tersebut. Kekerasan fisik ini berujung pada penangkapan oleh polisi dan pemberitaan yang muncul begitu dahsyat. Petinggi media diserang preman utusan pemerintah. Beritanya begitu ngawur sekali.
Satu di antara kedua tokoh utama itu lalu mendekam di penjara. Ada percakapan menarik. Sesama penghuni sel penjara menanyainya, musabab pemenjaraan itu. Lalu, penjahat itu mengatakan, dirinya yang seorang penjahat sekalipun selama ini tidak akan pernah berani menyerang orang media.
Film The Newspaper menyorot pemberitaan cepat, tetapi ngawur. Dampaknya, menggerus kemanusian dan tragis.
Budi Irawanto berujar, ”Film ini sebenarnya ingin berbicara tentang persoalan-persoalan kecepatan dalam memberitakan sesuatu yang terjadi di masa-masa sekarang. Akan tetapi, berita tidak diimbangi akurasi sehingga berdampak tidak baik dan jauh dari kebenaran.”
Film berikutnya, Orpa (2022). Film drama ini mengangkat persoalan sosial masyarakat Papua. Naskah dan penyutradaraannya oleh Theogracia Rumansara, pria kelahiran Biak, 23 September 1989.
Melalui film Orpa, Theo mengangkat persoalan pentingnya pendidikan di Papua,. sekaligus persoalan perkawinan muda dan paksa yang masih banyak terjadi di Papua. Orpa adalah nama seorang gadis. Setelah lulus SD, Orpa yang tinggal di pedalaman, jauh dari kota, ingin sekali melanjutkan studinya.
Di sisi lain, ibu dan ayahnya menginginkan Orpa untuk menerima pinangan lelaki yang sudah beristri demi mendapatkan uang. Orpa menolak. Ibunya dengan diam-diam membantu Orpa untuk meninggalkan rumah.
Theo mengemas alur cerita lain dari kisah anak muda asal Jakarta, Ryan (28), yang kebetulan sedang mencari inspirasi musikal alam Papua dan tersesat. Film ini mengusung kisah pertemuan Orpa yang kabur dari rumah orangtuanya, dan Ryan yang sedang tersesat dalam percakapan-percakapan menarik. Akan tetapi, tidak hanya itu. Theo piawai juga menampilkan latar keindahan alam Papua.
Kisah Orang Terasing
Sementara itu, film dokumenter Eksil (2022) karya sutradara Lola Amaria menyajikan kisah pilu orang-orang yang terasing di tanah rantau akibat gejolak politik tahun 1965. Lola berhasil mewawancarai sepuluh orang yang mengalami nasib seperti itu di lima negara Eropa antara tahun 2013 sampai 2015.
”Pada waktu itu setiap kali ditanya, kami sedang shooting perjalanan di Eropa. Setiap kali pulang ke Indonesia, kami meninggalkan salah satu salinan film di Berlin. Jika materi film ini ketahuan dan ditahan di Indonesia, kami masih punya salinannya di Berlin,” ujar Lola.
Lola menceritakan, awal pendokumentasian tidak begitu mudah dalam membuat pendekatan kepada para narasumber. Mereka masih dicekam rasa curiga yang berlebihan.
”Saya waktu itu ditanya, siapa yang menyuruh untuk menjumpainya. Siapa di balik kepentingan saya untuk membuat film ini. Uang yang saya gunakan juga ditanyakan dari mana,” kata Lola.
Ia akhirnya mampu menjelaskan bahwa pembuatan film sebagai keinginan pribadi sekaligus mendokumentasikan sejarah bagi generasi yang tidak tahu-menahu tentang sejarah 1965. Tidak ada satu lembaga pun yang ada di belakangnya.
Lola menekankan, film dokumentasi Eksil bukan ditujukan bagi para ahli sejarah 1965. Akan tetapi, film ini ditujukan bagi generasi sekarang yang ingin tahu peristiwa 1965 dari sisi orang-orang eksil, yang terbuang ke negeri orang dan menjumpai segudang kesulitan untuk hidup kembali di Tanah Air.
”Mereka itu para mahasiswa Indonesia di rentang 1960–1965. Mereka pintar-pintar. Ketika itu mereka disekolahkan ke luar negeri dan peristiwa politik 1965 membuat mereka tidak bisa kembali ke Tanah Air,” ujar Lola.
Para narasumber film Eksil memendam sejuta kerinduan untuk kembali hidup di pangkuan Ibu Pertiwi. Akan tetapi, represi atau tekanan dari pemerintah sampai ke ujung hidup mereka tak kunjung henti. Kepiluan menguar dari kisah kerinduan dan kecintaan terhadap Indonesia.
Seorang Indonesianis asal Australia, Max Lane, tidak bisa menahan tangis di forum perbincangan antara penonton film Eksil dengan sutradaranya, Lola Amaria.
Max Lane, yang memiliki keberpihakan terhadap orang yang tersingkirkan akibat represi negara, menuturkan, pernah singgah dan bertemu dengan beberapa narasumber yang dipilih Lola di dalam film tersebut. Tatkala menyampaikan hal itu, Max Lane sesekali menahan wicaranya. Ia menahan tangis yang hebat.
”Saya tahu, mereka orang-orang yang betul-betul mencintai Indonesia,” ujar Max Lane terbata dalam senyap keheningan di dalam gedung bioskop itu.
Begitu kuatnya film Eksil memberikan dampak emosional bagi pemirsanya. Garin Nugroho, selaku salah satu pendiri JAFF, mengutarakan, film-film di dalam JAFF ini sebagai gejolak perjalanan baru dan di dalam peta baru pula.