Industri Film, Tekor atau Mencatat Rekor?
Tahun 2022 diyakini menjadi momentum penting bangkitnya kembali perfilman nasional. Kondisi itu diyakini juga bakal mengembalikan film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Film KKN di Desa Penari
Bisnis yang tekor atau yang mencatat rekor mewarnai industri film cerita komersial Indonesia. Bagaimana wajah industri ini pada 2023 saat pandemi belum bisa dipastikan reda?
Lima tahun sebelum pandemi Covid-19 melanda, industri film cerita komersial Tanah Air sebenarnya sudah berancang-ancang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Keyakinan itu ditandai dengan banyaknya film Tanah Air yang menyedot banyak penonton. Beberapa film bahkan mencetak rekor demi rekor baru dengan meraih penonton di atas satu juta orang.
Data situs Film Indonesia mencatat, sepanjang 2016 terdapat 10 dari total 124 judul film yang ditonton lebih dari sejuta orang di bioskop. Film yang paling banyak menyedot penonton pada tahun itu adalah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos!, yakni 6,8 juta orang.
Tahun 2017, kegairahan menonton film Indonesia masih terus terjadi. Ada 11 dari total 118 judul film yang masing-masing menarik lebih dari 1 juta penonton. Saat itu, film horor Pengabdi Setan menjadi film yang paling banyak menarik penonton ke bioskop, yakni 4,2 juta orang.
Dua tahun kemudian situasi semakin membaik untuk film nasional. Pada 2018 terdapat 14 judul film yang masing-masing ditonton lebih dari satu juta orang dan pada 2019 ada 15 judul film. Dua tahun itu, film drama romantis Dilan 1990 (2018) dan sekuelnya, Dilan 1991 (2019), menjadi film paling laris dengan 6,3 juta dan 5,2 juta penonton.
Tahun berikutnya situasi berbalik arah. Pandemi Covid-19 menghajar semua sendi perekonomian, termasuk perfilman. Banyak pelaku industri film Indonesia yang roda bisnisnya tekor atau setidaknya mandek lantaran film yang sudah telanjur dibuat tidak dapat ditayangkan di bioskop setelah terbitnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Tahun itu hanya ada 36 film yang masih sempat tayang sebelum bioskop-bioskop ditutup. Dari jumlah itu, hanya satu film bergenre horor yang berhasil menggaet 1,7 juta penonton, yakni Makmum 2.

Pandemi juga membuat shooting film terhambat, bahkan terhenti lantaran ada protokol kesehatan selama pengambilan gambar. Meski begitu, di tengah tekanan pandemi yang begitu kuat, justru industri film cerita Indonesia mencetak prestasi internasional yang belum pernah dicetak sebelumnya.
Salah satunya adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya sutradara Edwin merebut penghargaan Golden Leopard Festival Film Locarno 2021 pada Agustus 2021 untuk kategori Film Terbaik. Locarno adalah festival film kategori A. Festival lain yang masuk kategori A antara lain Cannes, Shanghai, Berlinale, dan Venesia. Sebulan kemudian, Yuni yang disutradarai Kamila Andini, misalnya, merebut Platform Prize dalam Festival Film Internasional Toronto 2021.
Prestasi ini memberi getaran positif pada industri perfilman Tanah Air yang sedang bergelut dengan pandemi.
Tahun 2022 saat pandemi masih mengintai, bioskop mulai dibuka kembali dengan berbagai pembatasan. Saat itulah film KKN di Desa Penari yang disutradarai Awi Suryadi mencetak sejarah dengan meraih 9,2 juta penonton. Sampai saat ini, film produksi MD Pictures yang diputar pada April-Mei itu belum tergoyahkan sebagai film Indonesia dengan penonton terbanyak.
Pencapaian KKN di Desa Penari yang fenomenal dipandang sebagai penanda kembali bangkitnya perfilman nasional. Apalagi sepanjang 2022 ada 10 film yang masing-masing ditonton lebih dari satu juta penonton.
Bagaimana kira-kira wajah industri film bioskop tahun 2023? Apakah akan lebih baik dari 2022?
Optimistis
Meski tahun 2022 industri film komersial memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan, bukan berarti tahun 2023 industri ini pasti akan lebih baik. Ada beberapa ancaman yang bisa memengaruhi industri ini, di antaranya ancaman krisis ekonomi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina, ancaman keamanan pada tahun politik jelang Pemilihan Umum 2024, dan tentu saja ancaman kesehatan akibat masih belum kelarnya pandemi Covid-19.

Malam puncak anugrah Festival Film Indonesia 2017Arsip Panitia FFI 201711-11-2017
Produser Wicky V Olindo mengatakan, kondisi ekonomi saat ini mulai suram lantaran banyak pemberitaan tentang pemberhentian tenaga kerja di banyak perusahaan besar. Akan tetapi, dia tetap optimistis karena pertumbuhan ekonomi masih bagus dan daya beli masih terjaga.
Selain itu, lanjut Wicky, banyak analisis ekonomi mengatakan resesi akan terjadi, tetapi diprediksi tidak akan berkepanjangan. Alhasil, pengusaha pun akan mengantisipasi resesi tersebut melalui pengetatan terhadap rencana-rencana besar.
”Namun, untuk industri bioskop, kita harus melihat lagi karena bioskop itu fluid dari perspektif daya beli. Karena industrinya belum konsisten, penonton kadang ada dan enggak ada,” ujar Wicky di Jakarta, Jumat (25/11/2022).
Para produser yang lama malang melintang di industri film Indonesia seperti Manoj Punjabi dari MD Pictures juga tetap optimistis menatap tahun 2023. Belajar dari kesuksesan film produksinya, KKN di Desa Penari, menurut Manoj, film Indonesia sudah terbukti bisa bersaing dengan film-film Hollywood.
”Ini, kan, luar biasa. Setelah itu hingga sekarang film-film nasional bisa dibilang jadi tuan rumah lagi di negeri sendiri,” ujarnya.
Dia telah mempersiapkan setidaknya 11 film andalan untuk ditayangkan pada 2023. Dia yakin, film-film tersebut bakal menggaet jutaan penonton. Keyakinan itu ditopang dengan fakta bahwa penguasaan pasar (market share) film-film nasional bisa mengimbangi film asing pada tahun 2023.
Keyakinan serupa juga dilontarkan Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI) 2021-2023 Reza Rahadian pada malam penghargaan FFI di Jakarta, Selasa (22/11). Dia bilang, penguasaan pasar film Indonesia sudah mencapai 61 persen. Persentase tersebut naik signifikan dalam setahun dari sebelumnya 48 persen.
Kebaruan
Meski sama-sama optimistis, Chand Parwez Servia dari Kharisma Starvision Plus menekankan perlunya peningkatan kreativitas dalam produksi film nasional. Film dengan teknik pengambilan gambar dan alur cerita bagus, biaya promosi besar, tidak dijamin akan sukses di pasar. Pasalnya, penonton saat ini punya referensi lain, yakni media sosial dan aplikasi penayangan film streaming berbayar (OTT).
”Jadi, film bagus saja tidak lagi cukup. Sebuah film harus ada nilai kebaruan, terutama dari segi tema yang diangkat, serta nilai kegairahan sehingga orang mau datang menonton ke bioskop. Untuk ke bioskop, orang perlu effort besar sehingga perlu sesuatu yang mampu menggerakkan mereka,” tutur Chand.
Content Lead Netflix untuk Indonesia Rusli Eddy melihat ada fenomena perubahan preferensi penonton yang terlihat dari banyaknya genre tidak umum yang sukses di bioskop, seperti Mencuri Raden Saleh (2022) dan Ngeri-Ngeri Sedap (2022). ”Itu membuktikan ada shifting preferensi dan mungkin ada kontribusi dari streamers,” kata Rusli.

Suasana di balik layar pembuatan film Pengabdi Setan 2: Communion karya sutradara Joko Anwar
Sutradara Joko Anwar memprediksi animo orang menonton film ke bioskop akan terus tinggi tahun depan. Hal itu lantaran film-film nasional yang diproduksi saat ini sudah memiliki nilai produksi, teknik, serta estetika yang tinggi. Dengan begitu, orang rela mengeluarkan uang untuk menonton film-film Indonesia.
Wicky V Olindo menambahkan pentingnya konsistensi kualitas karya-karya film yang dihasilkan pembuat film Tanah Air. Ketika konsistensi tercapai, kepercayaan publik akan mengikuti sehingga pasar akan tumbuh dan berkelanjutan.
Hal itu menurut dia dapat dibuktikan sepanjang tahun ini di mana animo penonton film bioskop terbilang luar biasa. Ini terjadi lantaran penonton Tanah Air menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap film-film nasional.
”Bagi saya, yang lebih bisa menghilangkan penonton itu rasa percaya yang hilang ketika film Indonesia tidak konsisten. Kondisi seperti itu jauh lebih mengerikan ketimbang resesi (ekonomi),” kata Wicky.
Sementara itu, sutradara dan produser film Ifa Isfansyah menekankan pentingnya membangun dan mempertahankan budaya menonton. Dia meyakini budaya menonton masyarakat Indonesia terhadap film-film nasional saat ini tengah bagus-bagusnya.
Masalahnya, budaya menonton di Indonesia masih belum setara seperti budaya membaca karya sastra yang lebih mapan. ”Sebagai produser, kadang kompetitor saya bukan produser atau film lain, melainkan bisa jadi malah bakso atau pulsa. Ibaratnya anak sekarang dikasih uang Rp 50.000, lalu disuruh pilih, mereka bisa lebih memilih beli bakso atau pulsa. Toh, mereka juga menonton (film) lewat (streaming) itu,” ujar Ifa.