Jejak awal pengembalian seni rupa kepada kekuatan garis yang dilakukan Kun Andnyana, dipamerkan dalam tajuk pameran Wastu Waktu, 16 November–14 Desember 2022 di Museum ARMA Ubud, Gianyar, Bali.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Serpih terkecil dari seni rupa dipercaya sebagai garis. Bahkan, dalam pemetaan pertama-tama sebagai hasil teknologi visual, garis kemudian dipecah-pecah menjadi titik. Titik-titik itulah yang kemudian membentuk objek-objek visual di bidang layar. Belakangan ketika teknologi digital semakin mencuat, garis seolah ditinggalkan. Objek-objek seni dibentuk oleh kilatan cahaya yang dipantulkan mesin dalam teknologi printer.
Tahun 2016 lalu, perupa Wayan Kun Adnyana melakukan studi menarik tentang relief Yeh Pulu, Gianyar, yang diperkirakan berasal dari peninggalan di masa akhir abad ke-14. Ia tidak hanya memindah gambar-gambar dalam relief, tetapi mengembalikan seni rupa pada kekuatan garis. Citra-citra gambar pada di dinding tebing yang pipih seperti perwujudan tokoh-tokoh dalam wayang, ia rekonstruksi dengan garis. Hebatnya, jutaan garis itu kemudian ia susun menjadi objek-objek gambar bervolume. Sekilas tampak seperti sebuah patung dengan volume penuh yang masif, seperti bias akita temukan dalam patung batu.
Jejak awal pengembalian seni rupa kepada kekuatan garis yang dilakukan Kun, dipamerkan dalam tajuk pameran Wastu Waktu, 16 November–14 Desember 2022 di Museum ARMA Ubud, Gianyar, Bali. Pameran dibuka di tengah-tengah perhelatan dunia G20 oleh Koordinator Tim Asistensi & Kemitraan Presidensi G20 Wishnutama Kusubandio. Menurut Wishnutama, eksplorasi seni lukis berbasis gambar garis dari Kun ibarat bangunan besar dalam memaknai ruang dan waktu yang berjalan dinamis.
“Wastu Waktu sepertinya terinspirasi oleh gagasan Romo Mangunwijaya tentang Wastu Citra, yang membangun konsep hadirnya karya arsitektur yang bernilai guna dan makna dalam keindahan,” kata Wishnutama saat membuka pameran ini.
Pendiri Museum ARMA Agung Rai, yang juga bertindak sebagai kurator, mengatakan bahwa meski berbasis garis, Kun menerapkan beberapa teknik perupaan seperti cutting, coloring, drawing, smashing, dan highlighting. “Inilah yang membuat karya-karyanya menjadi istimewa,” kata Agung Rai.
Selain itu, tambahnya, sebagai akademisi yang sekarang menjadi rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kun menyadari bahwa kekuatan riset dapat membantunya perwujudan seni rupa menjadi semakin kuat dan mapan. Berbagai periode
Puluhan gambar Kun yang dipajang di dinding museum terbesar di Ubud itu, menunjukkan perjalanan pencariannya sebagai seorang perupa. Sejak tahun 2006 Kun menjajal berbagai kemungkinan tematik dari representasional, simbolik, metaforik, sampai abstraktif. Paska objek-objek biomorfik, ia menyambung pencariannya tentang ibu dari seri Venus dan bayi. Kemudian bergerak menjajal tubuh sebagai permainan teater, ruang sebagai puisi, dan kemudian mengembangkan kemungkinan warna-warna dari medium cat air.
Meski perjalanan itu telah melebihi 15 tahun, garis senantiasa menjadi kekuatan dasar seluruh pencarian Kun. Pada lukisan besar seperti “The Glory of Sailing“ (2020) dalam wujud sebuah perahu, Kun memperlihatkan kekuatan garis dalam membentuk citraan artistik. Ia kembali kepada kekuatan artistik seni rupa “tradisional”, di mana tumpukan jutaan garis membangun metafora tentang sebuah perjalanan menempuh bahaya. Ia kemudian mempertemukan garis-garis yang lirih itu dengan cipratan-cipratan cat yang memberi impresi bergerak. Perahu besar yang penuh dengan manusia dengan beragam aktivitas itu kemudian jadi hidup dan bergerak. Itu mengabarkan sebuah cerita tentang kesibukan yang luar biasa.
Lukisan lain tentang seekor naga besar berjudul “The Dragon Power“ (2021) menunjukkan kualitas penjelajahan garis yang mumpuni. Dalam teknik lukisan tradisional, representasi perwujudan seekor naga lazimnya dicapai dengan penerapan teknik yang berlapis-lapis. Sejak nyeket (sketsa), ngontur (mempertegas), ngeskes (volume), ngewarna (mewarnai), nyenter (memberi cahaya), dan seterusnya. Dalam “bimbingan” seni rupa modern, Kun cukup mengandalkan garis secara tekun untuk kemudian merangkum gambar yang menyerupai pencapaian teknik tradisional.
Pada bagian lain, gambar-gambar pohon, yang sekali lagi dia konstruksi dari garis, dipadukan dengan sapuan cat air dari kuas halus. Perpaduan itu menghasilkan citraan sebuah relief tentang pohon tua, tetapi dihadirkan dalam layar komputer atau gadget kita masing-masing. Maka ia memberi kesan archaic sekaligus kontemporer.
Menurut Kun, ia sangat percaya bahwa seni rupa bertumpu pada kekuatan garis. Garis adalah penemuan paling tua dari keinginan manusia untuk berekspresi. Ia menyodorkan bukti gambar-gambar binatang di dinding gua yang telah ditemukan di berbagai lokasi. Gambar-gambar itu menunjukkan garis menjadi metode awal naluri manusia untuk menemukan huruf dan kemudian diabadikan lewat mesin cetak.
“Itu buat saya hal yang hakiki dalam peradaban manusia, sejak masa purba sampai menapak sejarah modern. Garis akan tetap abadi, walau kini diterjemahkan lewat cahaya,” kata Kun.
Oleh sebab itu, apa yang ia kerjakan selama 15 tahun terakhir, yakni kembali kepada kekuatan garis, menjadi sebuah penghayatan yang subtil terhadap pencapaian peradaban manusia. Prinsipnya, jika huruf berangsur surut mengabdi kepada garis, maka seni rupa memulihkannya melalui citraan artistik. Pada seni rupa Kun, garis dirayakan sebagai pencapaian pengolahan terhadap perjalanan hidup manusia dalam menempuh waktu. Ia hadir dalam berbagai ruang (wastu), yang berangsur membentuk semesta kebudayaan.