Di Ngayogjazz, Kita ”Srawung”
Ngayogjazz 2022 kembali menjelma menjadi wadah pertemuan antara jazz, kampung, dan manusia-manusia di dalamnya.
srawung
Sabtu (19/11/2022), Dusun Cibuk Kidul, Margoluwih, Seyegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi tuan rumah Ngayogjazz 2022. Di dusun yang merupakan desa wisata itu, enam panggung didirikan. Ada panggung Cethul, Sepat, Sidhat, Welut, Tawes, dan Wader. Nama-nama jenis ikan dalam bahasa Jawa itu dipilih, mengacu pada Cibuk Kidul yang dikenal karena mina padinya.
Penyelenggara mengangkat tema ”Kena Jazz-e, Tetap Bening Banyune” yang diambil dari falsafah Jawa, ”Kena iwake, tetap bening banyune”. Artinya, menangkap ikannya, tetapi jangan mengeruhkan airnya.
Mengingatkan pada manusia yang kadang hanya mementingkan diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, bahkan lingkungannya. Ini juga pengingat bagi penyelenggara agar menggelar acara dengan tetap menjaga lingkungan sekitarnya.
Namun, jangan bayangkan panggung-panggung itu didirikan di gedung tertutup. Ini di kampung. Panggung-panggung beraneka ukuran itu tersebar di seluruh Cibuk Kidul, menyatu dengan lanskap kampung, dibangun secara gotong royong oleh penyelenggara dan warga Cibuk Kidul. Interaksi, pergaulan atau sosialisasi Ngayogjazz, alias srawung dalam bahasa Jawa, dimulai dari titik ini.
Panggung Cethul didirikan di atas lahan sawah yang sedang dikeringkan sehingga makin becek saat banyak penonton hilir mudik di sekitarnya. Namun, saat senja jatuh, penonton bisa menikmati keindahannya dari sekitar panggung Cethul, lalu menyimak panggilan shalat dari masjid di dekatnya. Lokasinya tak jauh dari makam desa. Kesan angkernya menguap begitu saja di antara keramaian.
Begitu pula panggung Sepat yang didirikan tak jauh dari kolam ikan. Sehari menjelang Ngayogjazz 2022, kolam itu meluap karena hujan yang turun cukup deras dan lama. Saat malam, justru panggung ini yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah, berlatar pohon-pohon pisang dan kerlap-kerlip cahaya yang jatuh ke permukaan kolam.
Sementara panggung Welut dibangun di halaman rumah warga, memanfaatkan pintu rumah yang terbuka lebar sebagai latar belakang panggung. Penonton hilir mudik di sekitar panggung sembari mencium aroma yang disebut khas Cibuk Kidul, menguar dari dalam kandang sapi. Sedap. Ini adalah srawung yang hakiki dengan lanskap kampung.
Begitu pula warganya. Selama perhelatan Ngayogjazz 2022, di seluruh penjuru Cibuk Kidul, warga desa menggelar dagangan di depan rumah dan titik-titik di areal aman sekitar panggung. Ini memang khas Ngayogjazz. Air mineral kemasan, teh kemasan, mi instan kemasan, kopi saset, hingga menu makan besar seperti pecel lele dan gudeg dagangan UKM Margoluwih yang digandeng untuk berpartisipasi.
Ada juga angkringan. Ada gorengan, cumi bakar yang dijajakan penjualnya dengan terus berteriak sepanjang waktu, sosis bakar, dan telur gulung. Tentu juga dawet nila khas Sleman yang dipromosikan pranotocoro alias pemandu acara.
Tinggal pilih, harganya bersahabat. Pecel lele satu porsi Rp 12.500. Es teh gelas plastik ukuran besar Rp 5.000. Wedang secang kemasan Rp 7.000 per gelas.
Yang pasti, selama acara, dengan adanya srawung jual beli itu, perut penonton tak bakal keroncongan juga kehausan. Paling antre toilet saja yang perlu kesabaran. Penonton bahkan juga bisa membeli pernak-pernik buatan UKM seperti dompet lurik, tentu juga merchandise Ngayogjazz 2022.
Alamiah
Selama perhelatan, srawung antarpenonton pun terbangun saat penyanyi dan musisi tampil di panggung. Sapaan dan keramahan dengan warga acap kali terjalin alamiah. Diawali dengan senyum merekah, mereka akan dengan ramah mengajak ngobrol.
Di Ngayogjazz, penonton tak hanya orang-orang muda berdandan trendi, tetapi juga mbah-mbah jaritan atau berkain batik. Sebagian juga bercelana pendek, bersarung, serta mengenakan kopiah dan sandal jepit. Pakaian mereka sehari-hari.
Ada yang menonton dari kejauhan, ada yang turut berdesakan di tengah pusaran penonton, menyimak penampilan musisi di atas panggung. ”Saya biasanya jualan sayuran di Demangan. Ini baru saja pulang. Lalu ajak cucu-cucu ke sini pada minta jajan,” tutur Mbah Wargiyah (63) dalam bahasa Jawa.
Meski repot harus mengasuh tiga cucunya yang terus-terusan menarik tangannya ke arah penjual jajanan, Mbah War senang melihat keramaian di kampungnya itu karena bisa bertemu banyak orang dari luar kampung, juga dari kota-kota di luar Yogyakarta. Srawung. ”Nanti kalau pas ke Demangan, cari Mbah, ya,” katanya dengan kehangatan khas Yogya.
Mbah Suratining (75) juga menonton bersama cucunya. Saat KopiJazz featuring Cendana Singers yang merupakan Komunitas Jazz Kediri tampil di panggung Sepat, Mbah Sur manggut-manggut. KopiJazz dan Cendana Singers menyuguhkan lagu jazz gubahan mereka, ”Beautiful Kediri”, yang jazzy. Musik mereka rapi, berpadu dengan vokal para penyanyi yang tersimak matang di panggung
”Saya enggak tahu musiknya, tapi bagus. Sae niki. Nggih, remen kulo,” ujar Mbah Sur. Dia senang bertemu dengan penonton dari Jakarta karena pernah dua kali ke Jakarta menengok anak-anaknya. Merasa terhubung.
Saat Nationaal Jeugd Jazz Orkest (NJJO) & Maarten Hogenhuis dari Belanda tampil di panggung, Dina (44), warga Godean, tampak hanyut menikmati suguhan permainan musik yang diperkaya dengan sentuhan alat musik tiup tersebut. ”Saya itu bodoh kalau ditanya soal musiknya. Tapi menurut saya ini bagus. Dua tahun lalu sepertinya saya pernah nonton musik seperti ini juga,” kata Dina.
Di panggung Ngayogjazz 2022, NJJO membawakan repertoar yang digubah oleh Hogenhuis dalam sentuhan jazz, rock, dan afrobeat. Salah satunya ”Avanlanche” yang baru dirilis 11 Maret lalu. Penonton benar-benar mendapatkan suguhan musik yang kaya nuansa, dengan permainan saksofon, trombon, basun, horn, dan trompet yang penuh teknik. Vokal Jainda Buiter berhasil ”membius” penonton.
Budaya lokal
Saat Sri Hanuraga dan Sandy Winarta tampil di panggung Sepat, penonton membeludak hingga tak menyisakan ruang yang enak untuk menonton. Padahal, Aga dan Sandy yang tampil bersama Rodrigo Parejo memainkan musik eksperimental yang berat. Mereka membawakan enam komposisi, yaitu ”Chill Song”, ”Intermission No. 2”, ”Megamel Part 2”, ”Anthropology Saih Miring”, ”Nefertiti”, dan ”Intermission No. 3”.
”Terharu juga pada stay. Padahal musiknya berat banget. Kirain nungguin Monita (Tahalea) doang mereka,” kata Aga. Monita dijadwalkan tampil seusai SanDrums X Sri Hanuraga feat Rodrigo Parejo.
Begitu pula dengan Barry Likumahuwa yang tampil dengan bendera Barry Likumahuwa Jazz Connection. Meski awalnya tak memiliki ekspektasi tinggi karena paham karakter penonton Ngayogjazz yang campur-campur, Barry terkejut karena penonton bertahan menyimak musiknya yang berat sampai selesai.
”Mereka benar-benar menikmati. Aku happy banget. Pengalaman tak terlupakan jadinya,” ujar Barry. Lagu-lagu yang dibawakan Barry antara lain ”Ode To Benny Liku”, ”Trust & Faith”, ”Aquelas Coisas Todas” milik Toninho Horta, dan ”Walking with The Bass”.
Menurut dia, kelebihan Ngayogjazz adalah penggagasnya yang selalu memberikan cita rasa lokal sehingga terjadi akulturasi budaya. Dengan begitu, sangat terasa Ngayogjazz sebagai festival jazz yang diadakan di Indonesia.
”Menurutku ini penting karena kita bicara soal budaya. Bagaimana caranya musik jazz yang selama ini dianggap mahal masuk ke budaya lokal. Ngayogjazz ini salah satu festival jazz yang sangat sukses mengadaptasi budaya lokal itu. Ini yang membuat Ngayogjazz beda dari yang lain dan penting. Festival seperti ini harus ada terus,” ujarnya.
Aga mengungkapkan hal serupa. Ngayogjazz spesial karena penggagasnya sangat memikirkan ekosistem jazz dan bahkan hal-hal di luar musik. Ngayogjazz juga selalu memberi ruang untuk berkembang bagi komunitas jazz di seluruh Indonesia.
”Festival ini tidak sekadar memberikan panggung. Melalui program lokakaryanya, reriungan, berbagai anggota komunitas bisa mengakses pengetahuan dari banyak musisi prominen, baik dalam maupun luar negeri yang tampil di Ngayogjazz. Bahkan, tahun lalu, program ini dibuat dengan sangat serius, di mana peserta reriungan, mendapat mentorship satu bulan secara daring sebelum mereka tampil di Ngayogjazz,” kata Aga.
Keterbukaan Ngayogjazz terhadap eksperimentasi musisi jazz juga sangat penting, baik bagi musisi maupun pendengar musik jazz. Bagi musisi, ujar Aga, penting untuk punya ruang eksperimen tidak hanya di laboratorium, tetapi juga di panggung.
”Musik jazz adalah musik sosial. Musisinya berimprovisasi merespons ruang dan energi dari penonton. Hal yang tidak bisa didapat di laboratorium. Sementara bagi penikmat musik, akses terhadap eksperimentasi musik dapat memberikan perspektif baru terhadap ’subject matter’ yang terdapat dalam sebuah karya,” ucapnya.
Menurut dia, warga kampung atau siapa pun, bila dibiasakan mendengar musik seperti yang dia suguhkan, lama-lama akan mengerti juga. Itulah srawung. Di atas sana, Djaduk Ferianto semoga tersenyum bahagia. Rabuknya migunani.
Lihat juga: Ngayogjazz Kembali Digelar Semarak