Festival Film Dokumenter Hidupkan Kembali Bekas Bioskop Permata
Pemutaran film dan diskusi film merupakan bagian dari Festival Film Dokumenter yang dimulai sejak 14 November dan akan berakhir pada 19 November. FFD mendatangkan pegiat film dokumenter dari berbagai daerah.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gedung bekas Bioskop Permata, Yogyakarta, hidup lagi oleh Festival Film Dokumenter seperti yang terlihat pada Kamis (17/11/2022) malam. Sedikitnya 60 anak muda memenuhi gedung bioskop untuk menonton film dokumenter Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan.
Film itu diputar pukul 19.00, tetapi calon penonton sudah mulai berdatangan sejak pukul 18.00. Mereka menerobos gerimis sisa hujan sore tadi lalu berteduh di dua tenda di kanan-kiri pintu masuk sembari menunggu pendaftaran dibuka. Sambil memesan kopi atau minuman lain, mereka mengobrol tentang film.
Dalam dekapan suhu sejuk ruangan bioskop berpenyejuk udara, penonton jenak menyimak film esai berdurasi 91 menit yang disutradarai I Gde Mika itu. Selepas film diputar, I Gde Mika hadir bersama produser eksekutif Luthfan Nur Rochman untuk membedah film. Diskusi berjalan hangat dan hidup, antara lain karena penonton antusias bertanya dan menggali lebih jauh proses kreatif film tersebut. Pertanyaan yang muncul antara lain tentang struktur film.
Mika menjelaskan, dia dan rekan-rekannya tidak mematok apa yang harus didahulukan: apakah ide, observasi, atau naskah. ”Semuanya berjalin secara paralel. Di dalam film ini, ada banyak peralihan yang muncul secara simultan. Kita mengobservasi dulu apa narasi yang dominan, lalu apa gejala di era itu, citra mana yang dominan? Kita memetakan struktur filmnya lalu membaca konteks historisnya bagaimana, lalu kita menyusun idenya. Jadi, ini seperti film detektif, kita hanyut dalam pencarian itu,” tuturnya.
Pemutaran film dan diskusi tersebut merupakan bagian dari Festival Film Dokumenter yang dimulai sejak 14 November dan akan berakhir pada 19 November. FFD mendatangkan pegiat film dokumenter dari berbagai daerah, seperti Aceh, Papua, Jambi, Purbalingga, dan Bojonegoro, untuk membangun jejaring sekaligus memperkuat kapasitas. Acara ini juga menghadirkan beberapa pembicara dari negara lain, seperti Filipina dan Thailand, untuk berbagi pengalaman.
”Banyak hal yang bisa saya bawa pulang dan bagi ke teman-teman. Paling tidak, sekarang lebih tahu cara meyakinkan investor he-he-he,” kata Dadang Setiabudi, pegiat film dokumenter dari Bojonegeoro, Jawa Timur.
Di samping itu, juga ada berbagai kompetisi film. Tahun ini, panitia menerima tak kurang dari 400 film dari dalam dan luar negeri. Film-film itu kemudian mereka bagi ke dalam empat katagori, yakni Dokumenter Panjang Internasional, Dokumenter Panjang Indonesia, Dokumenter Pendek, dan Dokumenter Pelajar. Lalu tersisa tiga film dokumenter pelajar, delapan film dokumenter pendek, tiga film dokumenter panjang Indonesia, dan delapan film dokumenter panjang internasional untuk diputar selama enam hari festival. Pemutaran film dan acara lain FFD 2022 tersebar di beberapa titik, seperti Auditorium dan Galeri IFI-LIP Yogyakarta, Ruang AUVI ISI Yogyakarta, Sagan 20, Universitas Sanata Dharma, Bioskop Sonobudoyo, dan gedung bekas Bioskop Permata.
Nah, yang tayang di gedung bekas Bioskop Permata malam itu hanyalah sepenggal cerita berdenyutnya kembali Bioskop Permata setelah sekian lama. Gedung bioskop yang dibangun pada era 1940-an itu pernah sangat ramai dan menjadi ikon Yogyakarta pada era 70-an hingga 80-an. Kemudian padam. ”Kami memilih Gedung Bioskop Permata untuk menghidupkan kembali ruang-ruang alternatif, bukan ruang mainstream,” kata Direktur Festival Film Dokumenter Kurnia Yudha Fitranto.