Ruang baru Musik Etnik
Tidak hanya di Indonesia, perpaduan alat musik tradisi dan modern juga terjadi di negara lain, seperti Meksiko.
Sentuhan teknologi digital menciptakan ruang baru bagi musik etnik. Tidak hanya itu, mengolah kembali tonal atau gaya suara musik etnik ternyata juga memberikan ruang baru bagi musisi maupun penikmat generasi kini yang makin kehilangan kesempatan menjumpai warna musik tradisi dari berbagai daerah.
Ruang-ruang baru itu hangat diperbincangkan di tengah penyelenggaraan Festival Musik Etnik Internasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 7–8 November 2022. Ini perhelatan tahunan yang ketiga sejak dirintis Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta pada 2019 dengan nama Etno Musik Festival.
Pada tahun 2021 gelaran kedua mulai disebut sebagai Festival Internasional Musik Etnik (International Ethnic Music Festival), karena mulai melibatkan musisi dari negara lain. Pada gelaran ketiga tahun 2022 ini juga dengan istilah itu, karena dihadirkan pula musisi dan penari dari negara lain. Mereka meliputi dua musisi dari Meksiko, yaitu Leon Gilberto Medellin Lopez dan Victorhugo Hidalgo. Kemudian Cristina Duque yang lebih menyebut dirinya sebagai penari yang lekat dengan musik tradisi dari Equador.
Selebihnya, tampil kelompok-kelompok berbasis musik etnik atau musik tradisi dari berbagai daerah di Nusantara. Mereka meliputi kelompok Sinar Baru (Tangerang) dan Rapai Pase (Aceh), yang pentas di malam hari pertama. Kemudian kelompok Timur Jauh (Ternate), Kadapat (Bali), dan Riau Rhythm (Riau), yang pentas di malam kedua atau terakhir.
Perolehan ruang baru musik etnik dilontarkan musisi kelompok Kadapat dari Bali, I Gede Yogi Sukawiadnyana. Yogi, sapaan akrabnya, di panggung menjelang pementasan mengutarakan, bersama I Gusti Nyoman Barga Sastrawadi memadukan dua alat musik etnik Bali dan memberi sentuhan teknologi digital hingga menemukan ruang baru musik etnik. Yogi memainkan alat musik gamelan jegog yang terbuat dari bambu, sedangkan Barga memainkan alat musik gamelan gender wayang.
“Sejak kecil saya terbiasa memainkan alat musik gamelan jegog yang terbuat dari bambu. Permainan alat musik ini termasuk cepat, kemudian di Kadapat saya memadukan dengan alat musik gamelan gender wayang yang lebih lambat, yang dimainkan Barga,” ujar Yogi, Selasa (8/11/2022) di panggung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Tonal atau gaya suara dari kedua alat musik itu direkam dan diolah menjadi diskografi atau kumpulan katalog rekaman musik. Saat dipentaskan, Yogi dan Barga juga menampilkan suara dari instrumen asli gamelan jegog dan gamelan gender wayang.
“Kami mengolah tonal pelog dan slendro itu dengan sentuhan teknologi digital, kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan komposisi lagu. Inilah ruang baru musik etnik yang kami temukan,” ujar Barga.
Mereka mengarsipkan frekuensi tonal gamelan jegog dan gender wayang. Kemudian arsip itu diolah dengan aplikasi teknologi digital melodyne dan digital audio workspaces.
Dari diskografi inilah diciptakan komposisi-komposisi musik Kadapat. Komposisi-komposisi musiknya rancak seperti di bar-bar. Merka mengambil tema komposisi dari fenomena-fenomena sosial yang ada di Bali.
“Termasuk komposisi lagu terinspirasi fenomena black magic (ilmu sihir hitam) di Bali,” ujar Barga, lulusan program studi Karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali.
Merawat tradisi
Ruang baru berikutnya seperti ditampilkan kelompok Timur Jauh dari Ternate atau Riau Rhythm dari Riau. Ruang baru itu ditemukan ketika mereka berusaha merawat musik-musik tradisi yang ada di wilayah masing-masing.
Ruang baru itu memberikan kesempatan menggubah musik etnik yang berkembang di masa silam. Kelompok Timur Jauh mengolah warna musik yang sebelumnya banyak ditemui sebagai ritual keagamaan atau ritual bagi kalangan kerajaan di Ternate. Warna musik dari rebana dengan berbagai ukuran tampak dominan dimainkan. Lirik yang didendangkan dengan bahasa lokal Ternate juga menguarkan nada magis. Sekilas warna musik kelompok Timur Jauh ini mengingatkan musik tetabuhan yang banyak berkembang di Timur Tengah.
Kelompok Riau Rhythm asal Riau menampilkan warna musik khas Melayu dengan karakter petikan dawai alat musik gambus. Kemudian musik Melayu dipadu dengan tetabuhan rebana, gesekan biola dan celo, serta gebukan drum.
Untuk mengawali setiap komposisinya, Rino Dezapati, pemimpin kelompok Riau Rhythm, berusaha memberikan pengantar tema yang tidak jauh dari sejarah atau riwayat kepahlawanan tokoh-tokoh Melayu. Salah satunya lewat komposisi instrumentalia yang diberi judul, Awang Menunggang Gelombang.
Rino mengisahkan, komposisi lagu itu terinspirasi kisah kepahlawanan Panglima Awang dari Riau, yang menjadi navigator dan penerjemah pengelana Ferdinand Magellhaens (1480 – 1521) dari Portugal ketika berlayar mengelilingi dunia. Panglima Awang bagi masyarakat Eropa kemudian lebih dikenal sebagai Enrique de Malacca.
Pada 2019 Riau Rhythm sempat menampilkan komposisi lagu tersebut dan beberapa komposisi lainnya di Portugal. Memang tidak terelakkan, ketika Riau Rhythm menampilkan warna musik khas Melayu itu harus dipadu dengan alat musik Barat seperti biola, celo, dan drum.
Perpaduan
Permainan alat musik tradisi yang spesifik dari berbagai daerah kadang tidak terelakkan harus berpadu dengan alat musik modern yang berkiblat ke Eropa atau Barat. Tidak hanya di Indonesia, perpaduan alat musik tradisi dan modern juga terjadi di negara lain, seperti Meksiko.
Musisi Leon Gilberto dari Meksiko pada sesi masterclass festival tersebut, menguraikan persoalan ini. Leon menyebut, salah satu jenis musik di Meksiko Barat saat ini popular dengan istilah Banda Sinaloense.
“Banda Sinaloense kalau di sini seperti musik (dangdut) koplo,” ujar Leon, yang fasih berbahasa Indonesia.
Leon lahir di Meksiko pada 1987. Pada rentang usia 12 – 15 tahun ia dikenalkan salah satu jenis alat musik gamelan Jawa, yaitu saron, oleh kakak sepupu yang sebelumnya belajar menari di Warsawa, Polandia. Di tahun 2003 Leon makin mengenal karawitan gamelan Jawa dan beberapa kali ikut mementaskan dengan peralatan gamelan yang dipinjam dari kedutaan besar RI di Meksiko.
“Waktu itu kami beberapa kali memainkan gamelan sepangkon atau separuh (tidak lengkap) yang dipinjam dari Kedutaan Besar RI di Meksiko,” ujar Leon, yang kemudian pada 2005 memutuskan untuk belajar gitar klasik Meksiko di pendidikan formal selama empat tahun, meski tidak sampai selesai.
Pada 2014 Leon akhirnya datang ke Jawa dan melanjutkan studi karawitan kembali pada program non-gelar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ia lalu beralih menempuh program studi S-1 Etnomusikologi di ISI Surakarta dan lulus pada 2021.
Leon mencermati musik etnik di Jawa juga mengalami perkembangan pesat. Di antaranya musik etnik dengan berbagai alat musik spesifiknya mulai ditinggalkan atau dipadu dengan alat-alat musik modern Barat. Hal ini terjadi pula di Meksiko.
“Sejak 2010 sampai sekarang dari perkembangan musik tradisi di Meksiko mulai dikenal istilah eklektisisme, yaitu mengembangkan gaya musik yang campur aduk, tidak lagi memperlihatkan ciri khas musik tradisi di daerah masing-masing,” ujar Leon, yang menyebut persoalan ini patut untuk direfleksikan.
Leon melihat dua hal dari persoalan ini. Di satu sisi, perpaduan atau campur aduknya music tradisi menjadi kekayaan baru. Di sisi lain, bagi setiap daerah menjadi kehilangan identitas musikalitasnya.