Memang proses melukis tidak sesederhana biasanya, karena kita sibuk juga mengolah material menjadi warna. Selain itu, pekerjaan harus cepat. Kalau tidak, menurunkan dasar alias rusak,
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Ketika seni rupa Barat tak lagi menjanjikan perkembangan yang signifikan, sebagaimana dipelajari secara akademis di kampus-kampus, pilihan lainnya kembali kepada tradisi. Sejumlah perupa Bali mencoba menelusur kembali akar tradisi pembuatan kertas ulantaga yang sampai sekarang digunakan dalam ritual ngaben. Kertas dari kayu daluang itu kemudian dipadukan dengan warna-warna yang diolah dari bahan lokal.
Pameran Warna Bali: Warna Alami Bali Dalam Seni Kontemporer, 15 Oktober – 15 November 2022 di Gala Rupa Balinesia Art Space, Kuta, berhasrat besar menemukan jalan untuk mengangkat tradisi. Perupa Osbert Lyman menginisiasi sebuah proyek seni berbasis pada warna asli Bali. Ia kemudian mengundang para perupa seperti Nyoman Erawan, Chusin Setiadikara, Polenk Rediasa, Agung Mangu Putra, Djaja Tjandra Kirana, I Ketut Suwidiarta, I Made Griyawan, I Made Wiradana, I Wayan Redika, I Wayan Suja, I Wayan Sujana Suklu, Ni Nyoman Sani, dan Dewa Gede Ratayoga.
Para perupa diberikan ulantaga dan pewarna alami seperti serbuk tulang atau tanduk untuk warna putih, batu pere untuk warna kuning atau oker, biru dari daun indigo, hitam dari jelaga, serta merah dari serbuk gincu. “Kami kemudian mengolah semua materi itu menjadi karya seni dengan muatan artistik. Temanya tidak menjadi soal, karena itu kembali menggunakan bahan lokal untuk berekspresi,” kata Polenk Rediasa.
Dalam kancah seni rupa kontemporer material seperti kertas ulantaga tidak pernah dilirik sebagai media untuk berekspresi. Bukan apa-apa, kata Polenk, kertas ulantaga memiliki tekstur kasar dengan pori-pori yang lebar. Oleh karena itu membutuhkan teknik khusus untuk menjinakkannya. “Apalagi yang menggunakan warna-warna alami, harus ditumpuk secara berulang-ulang untuk mendapatkan warna yang kita kehendaki,” ujar Polenk.
Dalam lukisan “Pesona Kang Cing Wei”, untuk membentuk sosok perempuan yang sedang membuka busana dengan warna, ia harus menorehkan serbuk merah gincu sampai lebih dari 10 kali. “Kalau dipulas sekali tidak akan terlihat warna-warni, termasuk dalam membuat warna putih,” ujar Polenk.
Bahan percobaan
Dalam pengantar katalog pameran, Wayan Seriyoga Parta dan Made Susanta Dwitanaya menulis, bahwa proyek seni ini sebenarnya bermuara untuk penulisan buku tentang warna Bali. Komunitas Budaya Gurat Indonesia lewat devisi Gurat Institute sedang melakukan kajian dan riset untuk menghidupkan kembali warna-warna lokal yang terbuat dari berbagai material alam. Pada masa klasik, warna-warna yang sebagian berasal dari batu dan tumbuhan itu, pernah digunakan untuk menggambar dalam lukisan Kamasan. Tradisi itu diperkirakan telah berlangsung sejak masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Kerajaan Gelgel Bali (1480-1550).
Selain itu, warna dalam tradisi Bali, tulis Seriyoga Parta dan Dwitanaya, berkaitan erat dengan kosmologi masyarakat Bali. Dewa-dewa dan arah mata angin diberi karakter warna untuk menegaskan tugas dan sifat mereka. “Tridatu, Mancawarna, dan Dewata Nawasanga, sarat dengan nilai filosofis yang disimbolkan dengan warna,” kata mereka.
Tradisi warna yang panjang itu, seolah terabaikan ketika masuknya pendidikan akademis di kampus-kampus. Seluruh material perupaan menggunakan warna-warna sintetis yang telah disediakan oleh pabrik. Satu sisi, cara ini memudahkan para seniman dan hanya perlu bergulat dengan ide untuk kemudian melahirkan karya. Sisi lain, kata Osbert Lyman, kita kehilangan kesempatan untuk mengikuti proses menciptakan mengolah warna sampai menumpahkan ide di atas media gambar.
“Memang proses melukis tidak sesederhana biasanya, karena kita sibuk juga mengolah material menjadi warna. Selain itu pekerjaan harus cepat. Kalau tidak, menurunkan dasar alias rusak,” tutur Polenk Rediasa.
Proses berkesenian yang panjang ini kemudian melahirkan karya “Babi Beranak” dari I Made Wiradana. Pada latar belakang tampak lima orang sedang bersila sambil melihat seekor babi hitam sedang menyusui anak-anak. Tema yang sederhana ini menjadi berkarakter karena digambar di atas kertas ulantaga yang berserat. Wiradana secara sengaja membiarkan foto besar di permukaan kertas tampak seperti warna yang ditunjukkan. Dengan begitu ia mendapatkan kesan keklasikan yang diinginkannya.
Metode serupa juga dilakukan I Wayan Suja dalam lukisan berjudul “Subali Sugriwa”. Suja menggambar dua sosok kera dalam epos besar Ramayana, sebagaimana ia hayati dalam seni Wayang Wong. Warna merah, kuning, oker, hitam, dan putih, ia tempatkan sebagaimana kostum para penari Wayang Wong. Kesan klasik yang natural itu justru melemparkan imajinasi kita pada masa kisah Ramayana itu terjadi.
Perupa I Ketut Suwidiarta hanya membutuhkan warna hitam dan putih pada akhirnya untuk menggambarkan sosok manusia berkepala ikan hiu yang berdiri di punggung dua ekor buaya. Ia memberi judul "Rajah". Penggunaan warna hitam dan putih serta pembiaran terhadap sebagian besar bidang kertas dengan warna membuat karya ini berkesan mistis.
Harus diakui sebagian karya yang dipamerkan belum berhasil menjinakkan material lokal yang sudah lama ditinggalkan. Bukan tentang kekuatan teknik, tetapi semua perupa harus “mengenolkan” diri dan kembali bersitekun dengan proses penaklukan materi sebelum akhirnya kembali ke haribaan warna lokal.