Senang-senang, Aman, dan Tenang di Arena Konser
Setelah menanti dua tahun untuk bisa menyaksikan ”boyband” favoritnya, NCT 127, Uki Narendra (29) harus menelan kekecewaan. Ketika suasana memanas di tengah lagu ”Paradise”, konser impiannya itu dihentikan oleh polisi.
Berkumpul bersama sahabat atau kekasih hati, sambil bernyanyi, bergoyang, tertawa rasanya sukaria, bahkan bisa melihat langsung idola beraksi di panggung. Aih, bahagianya.... Di atas semua itu, hati senang dan terpuaskan memang jadi tujuan.
Setelah menanti dua tahun untuk bisa menyaksikan boyband favoritnya, NCT 127, Uki Narendra (29) harus menelan kekecewaan. Ketika suasana memanas di tengah lagu ”Paradise”, konser impiannya itu dihentikan polisi menyusul insiden 30 penonton yang pingsan karena berdesakan di baris depan.
”Kesel banget. Gue udah nunggu mereka ke sini dua tahun. Pas pembelian tiket dibuka pertama banget itu, gue keabisan. Untung dibuka lagi ada hari tambahan gitu, gue akhirnya dapat. Itu pun war gitu sama yang mau beli lainnya. Tapi, yang penting dapatlah, walau abis itu harus ngirit banget gue,” kata Uki ketika dihubungi, Sabtu (5/11/2022).
Tiket NCT 127 ”Neo City: Jakarta-The Link” sudah dibuka penjualannya sejak 22 September 2022 melalui salah satu lokapasar. Harganya dipatok dari Rp 1 juta hingga Rp 3 juta yang langsung ludes hanya dalam 2 jam. Wajar Uki merasa puas karena berhasil memperoleh tiket pada hari tambahan setelah berebut dengan pembeli lainnya.
Namun, sayang, upaya dan niat Uki ingin bersenang-senang menyaksikan langsung aksi idolanya Taeyong, Taell, Johnny, Yuta, Doyoung, Jaehyun, Jungwoo, Mark, Haechan di ICE BSD kemarin rusak.
”Itu mereka lagi nyanyi lagu ’Paradise’, terus bagi-bagiin kayak merchandise bentuk bola gitu. Yang di barisan depan itu rebutan pada ngerangsek ke tengah semua, sampai ada yang jatuh, padahal udah dibilang untuk enggak rebutan dan mereka enggak lanjut nyanyi kalau enggak tertib. Masih aja,” tutur Uki yang masih kesal mengingat kejadian semalam.
Begitu pula dengan Widya (25) yang datang jauh-jauh dari Lombok. Impiannya ingin melihat langsung artis idolanya yang akhirnya ke Indonesia. Ia berharap penggemar lain tidak mementingkan diri sendiri yang malah membuat kecewa sesama penggemar.
Ia sempat khawatir dengan kerumunan, terlebih setelah mengetahui berita soal tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang; dan Itaewon, Korea Selatan. Ia pun mempersiapkan kemungkinan terburuk dengan membaca denah area konser.
”Kebetulan tempatku nonton konser nanti dekat dengan pintu keluar. Jadi, kalau ada apa-apa bisa langsung keluar,” kata Widya.
Widya tergolong sebagai penonton yang sadar mitigasi di kerumunan. Tak sedikit penonton lain yang mengabaikan hal ini. Kalau sudah sampai di arena, biasanya langsung terlarut dengan keriaan.
Penghentian konser atau kegiatan yang mengundang keramaian ini belakangan kerap terjadi. Selain NCT, Kickfest di Bandung juga dihentikan penyelenggaraannya semalam.
Peristiwa Kanjuruhan, Itaewon, hingga konser Berdendang Bergoyang yang diadakan di Istora Senayan pada pekan lalu memang membuat banyak pihak waspada. Berdendang Bergoyang distop pada hari kedua penyelenggaraan karena banyak penonton pingsan akibat berdesakan. Penyelenggaraan hari ketiganya akhirnya dibatalkan.
Penjualan tiket yang tidak sesuai dengan izin yang diajukan diduga menjadi penyebab penumpukan penonton. Alih-alih bersenang-senang, orang-orang yang hadir justru tidak nyaman. Apalagi, konsep festival dengan banyak bintang tamu, para pembeli tiket tentu sudah membuat agenda tersendiri untuk dapat menikmati musisi favoritnya yang berada di panggung berbeda.
Pengisi acara
Tidak bisa dimungkiri, susunan pengisi acara memang menjadi daya tarik. Berapa pun tiketnya dan sejauh apa lokasinya rela ditempuh untuk memuaskan hati. Terlebih lagi, pandemi mulai mereda. Dari pergelaran musik, peragaan busana, hingga pertunjukan teater dipadati pengunjung.
Farlisa Candra (36) bahkan datang langsung dari Pekanbaru untuk memenuhi undangan peragaan busana muslim di Jakarta Fashion Week 2023 pada hari pertama. Lisa memang merupakan pelanggan setia dari jenama Nadjani.
Ketika memperoleh undangan itu, Lisa memutuskan untuk segera memesan tiket dan hotel selama di Jakarta. ”Sekalian jalan-jalan aja sama adik ke Jakarta dan jadi punya kesempatan langsung beli produk mereka di sini dan ketemu desainernya langsung,” ungkap Lisa.
Luqman Khoirudin (30) juga berpendapat pengisi acara menjadi pertimbangan. Ia mengincar aksi kelompok musik rock Jamrud di Jogjarockarta di Tebing Breksi, Yogyakarta, 24-25 September 2022. ”Saya nonton hari kedua saja. Enggak ngerti semua line up (penampil) yang main,” katanya.
Pada hari kedua itu, selain Jamrud yang membangkitkan memori masa kecilnya, warga Klaten, Jawa Tengah, itu juga menikmati penampilan God Bless, Voice of Baceprot, dan Seringai. Luqman pun pulang dengan hati senang, bahkan telah menyiapkan rencana lain untuk menyaksikan Slipknot di Hammersonic di Jakarta, awal 2023.
Kerumunan yang terkontrol seperti pengalamannya di Jogjarockarta memang semestinya dilakukan tiap penyelenggara. Sebab, penonton tidak hanya butuh senang, tetapi juga tenang.
”Arusnya sudah dipikirkan. Lokasi luas dan enggak crowded (sesak) banget. Masih aman dan musiknya asyik. Keren. Ada security (petugas keamanan) yang mengatur,” ucap penggemar Dewa 19 dan Sheila On 7 itu.
Rekam jejak
Keputusan untuk rela datang jauh dari Bekasi hingga ke Gambir Expo untuk menikmati Synchronize Festival 2022 seperti yang dilakukan Dina (32) juga dilandasi rekam jejak penyelenggara.
”Sejauh ini, kan, track record-nya juga bagus. Penonton ramai, selalu penuh, tetapi aman. Udah terbukti. Festival lain yang sejenis, masih coba-coba. Belum teruji. Kita, penonton, kan, maunya festivalnya asik, seru, tetapi juga aman,” ujar Dina.
Ia rela cuti demi menonton Tulus, Pamungkas, Yura Yunita, Potret dan Project Pop. ”Ini festival pertamaku, sih, sejak pandemi. Jadi, rasanya seneng banget. Makanya, sampai cuti. Awalnya mau pergi sama pacar, eh, dia ada kerjaan. Terpaksa pergi sendiri,” ujar Dina dengan raut sedikit masam.
Dina memegang tiket pre-sale 3 hari. Dia agak lupa, tapi harganya waktu itu di kisaran Rp 500.000. ”Kalau festival, aku emang maunya nonton Synchronize aja. Yang lain enggak,” katanya.
Synchronize bisa dibilang sebagai pelopor festival musik yang memadupadankan aneka corak musik dengan multipanggung. Gaya ini banyak ditiru festival lain. Sejak 2016, nyaris tak pernah ada kericuhan berarti yang terjadi di Synchronize meski didatangi sampai belasan ribu orang per hari.
Petugas pengatur massa atau crowd control bergerak rapi dan teliti. Mereka memecah kerumunan di satu titik, sampai mengamankan tindak kejahatan. ”Beberapa kali kami menangani copet ponsel di festival,” kata Ari Aulia (34), salah satu petugas pengatur massa dari perusahaan Toni Sagala Aya (TSA).
TSA mendampingi Synchronize sejak awal, juga beragam festival bermassa banyak lainnya.
”Saya belum lama ini menangkap basah komplotan copet ponsel. Saya rangkul dia (pencopet) sambil bisikin ’Saya lihat kamu nyopethape. Jangan ngelawan, atau saya teriak maling’,” ujarnya.
Si pencopet tak berkutik. Ari menggiringnya ke petugas polisi yang berjaga di luar arena. Setelah digeledah oleh polisi, ditemukanlah lima ponsel hasil copet.
Ketika menangkap pencopet itu, Ari sedang tidak mengenakan seragam dan tidak membawa perangkat komunikasi. Dia sedang menyaru sebagai penonton. Begitulah strategi pengamanan crowd control dari TSA jika sudah menduga ada kemungkinan pencopetan.
Ari sebenarnya tidak bisa bela diri, juga latar belakang profesinya adalah karyawan kantoran bidang komunikasi. ”Percaya diri saja. Yakin kalau ada tim yang bakal membantu jika terjadi keributan,” katanya.
Rasa percaya diri petugas keamanan atau pengatur kerumunan sepertinya jadi kunci kepercayaan khalayak di arena.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, penyelenggara punya tanggung jawab paling besar untuk mengatur kelancaran hajatan publik. Ini merujuk ke karakteristik masyarakat Indonesia yang menganut sistem patron-klien.
Patron-klien menunjukkan pola hubungan antara pemimpin dan orang yang dipimpin. Dalam konteks ini, penyelenggara merupakan patron dan penonton adalah klien.
Rekam jejak dan konsistensi kualitas penyelenggara pun menjadi penting. Apalagi, setelah tiga tahun dengan aneka pembatasan sehubungan dengan pandemi, masyarakat Indonesia yang terkenal komunal ini seperti menemukan ”kemerdekaan”.
Mereka pun berbondong-bondong menghadiri banyak pertemuan sosial yang melibatkan banyak orang untuk mencari kegembiraan.
Akan tetapi, kondisi pandemi menimbulkan kegagapan. ”Tidak terbiasa lagi di keramaian, jadi muncul kegagapan dalam merespons. Yang muncul pun insting dasar manusia, seperti fight dalam bentuk survival mode, ada yang kemudian freeze karena syok, ada yang flight mencari cara gimana bisa selamat saat dalam keadaan terancam,” tutur Devie.
Kendati demikian, kegagapan karena pandemi ini tidak berlaku bagi penyelenggara kegiatan yang mengundang banyak massa. Kesiapan dan cetak biru keselamatan bagi pengunjung harus ada.
”Pakem dan SOP-nya sudah ada, kok, tinggal diikuti. Pengelolaan keamanan juga ada ilmunya. Jangan dilanggar hak asasi yang menonton,” jelas Devie.
Jauh mundur enam dekade silam, kelompok musik The Beatles pernah memilih menghentikan konsernya yang digelar di New York pada 1964. Teriakan puluhan ribu penggemar yang sangat kencang membuat setiap personel tak bisa mendengar permainan satu sama lain.
Saat itu, teknologi audio di panggung belum sebaik sekarang sehingga teriakan histeris penonton menutupi bunyi yang bisa didengar anggota band.
Kembali lagi, penyelenggara memang memegang tanggung jawab dan peran penting. Namun, tanpa ada kerja sama dengan penonton, mustahil berhasil. Para penonton pun juga perlu mengingat lagi niat semua orang sama, yakni bersenang-senang dan menyaksikan idolanya.
Yuk, bersenang-senang dengan aman dan tenang. (BAY/IAN)