Ledakan Euforia Tontonan Selepas Pandemi
Pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 meletup ketika beragam acara digelar kembali. Salah penanganan bisa berujung celaka. Pemahaman psikologi massa perlu untuk menjamin kenyamanan menonton.
Seiring meredanya pandemi Covid-19, muncul euforia massa pada tontonan langsung. Arena olahraga, festival, dan konser menjadi sasaran massa untuk melepaskan semua tekanan yang dirasakan selama pandemi. Penyelenggara tontonan pun mesti susah payah mengendalikan ledakan euforia massa.
Kabar tidak sedap terkait kerumunan massa datang beruntun sejak Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober. Belum genap satu bulan dari kejadian itu, meledak tragedi Itaewon, Korea Selatan. Lebih dari 150 orang tewas di tengah malam perayaan Halloween di pusat hiburan di kota Seoul itu. Mereka kehabisan napas akibat berdesak-desakan dalam kerumunan massa di sebuah jalan sempit. Dua hari kemudian, 11 penonton tewas terinjak-injak dalam konser musik di Kongo.
Di Jakarta, sekitar 20 penonton Berdendang Bergoyang pingsan akibat berdesak-desakan di arena konser. Akibatnya, festival beragam genre musik itu distop pada hari kedua, Sabtu (29/10), oleh aparat keamanan demi keselamatan penonton. Festival hari ketiga, Minggu (30/10), dibatalkan.
Polisi mendapati pengunjung pada hari kedua mencapai 21.500 orang. Padahal, kapasitas yang diajukan penyelenggara dan diizinkan polisi tidak lebih dari 5.000 orang.
Penghentian acara musik kembali terjadi pada Jumat (4/11) dalam konser grup asal Korea Selatan, NCT 127, di ICE BSD, Tangerang, Banten. Konser yang dimulai sekitar pukul 19.00 ini masih menyenangkan; penonton bernyanyi, menari, meneriakkan nama idola mereka dengan semangat. Sekitar pukul 21.00, menurut polisi, penonton mulai saling dorong sehingga menyebabkan sekitar 30 orang pingsan. Mereka segera tertangani dan pulih kembali.
Dari pantauan video yang beredar, dorong-mendorong terjadi ketika sembilan anggota NCT 127 membagikan bola bertanda tangan mereka. Para personel band itu sebenarnya sudah meminta penonton mundur dan tidak saling dorong, tetapi suasana telanjur kacau. Satu pagar pembatas bahkan roboh terdesak.
”Penonton mencoba mendekat ke arena panggung utama, mendekati penyanyi, sehingga terjadi dorong-dorongan. Ada 30 orang yang pingsan di situ,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan melalui keterangan pers tertulis. Polisi menghentikan konser pada pukul 21.20. Pertunjukan mestinya berlangsung sampai pukul 22.00.
Sedang menggeliat
Tragedi-tragedi ini terjadi ketika industri panggung sedang bergerak cepat setelah jeda akibat pembatasan sosial semasa pandemi Covid-19. Penyelenggaraan festival seni kini sedang ramai-ramainya. Hampir setiap akhir pekan ada saja acara besar. Rata-rata festival musik ramai didatangi orang yang menonton sekaligus berbelanja.
Bagus Utama, COO & Head of Enterprise Solution Loket.com, mengatakan, dalam kurun waktu tiga hingga enam bulan terakhir, festival musik seolah digelar tumpuk-menumpuk. Ada festival tahunan, tak sedikit pula nama baru.
”Ini di luar kebiasaan. Saat (harga) BBM naik pun enggak ada pengaruh. No recession,” kata Bagus di acara Breakfast with Resso, Rabu (2/11).
Menurut Loket.com, sekitar 60 persen penyelenggaraan festival musik pada periode luar biasa ini digelar di Jabodetabek. Loket.com adalah kanal penjualan tiket daring. Ada banyak kanal lain yang juga menjual tiket festival musik dan pertunjukan seni lain.
Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) memperkirakan, sepanjang 2022 telah terselenggara lebih dari 50 festival musik, baik skala regional, nasional, maupun internasional. ”Ini membanggakan karena festival melibatkan banyak orang, bukan hanya band dan promotor, melainkan juga pekerja dan penyedia jasa perlengkapan panggung,” kata Dino Hamid, Ketua APMI, Kamis (3/11).
Salah satu nama baru festival musik, Pestapora, yang dihelat pada 23-25 September 2022 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, didatangi 80.000 orang. Pada sesi pertama penjualan tiket langsung terjual 5.000 lembar tidak sampai semenit. Sesi kedua terjual lagi 7.500 lembar yang lagi-lagi kurang dari semenit. Antusiasme luar biasa.
Selain sukses menjual tiket, festival ini juga menuai untung dari transaksi pernak-pernik, juga makanan dan minuman. Penyelenggara Pestapora, Kiki Aulia ”Ucup”, menyebutkan, nilai transaksi selama penyelenggaraan festival itu menyentuh angka lebih dari Rp 2 miliar.
Keriuhan serupa juga terlihat dua pekan kemudian di ajang Synchronize Festival 2022 di tempat yang sama. Penontonnya ramai, memenuhi ruang terbuka hingga lorong-lorong yang nyaris tersembunyi. David Karto, promotor Synchronize Fest, menyebut festival yang telah berjalan sejak 2016 ini didatangi sekitar 75.000 orang selama tiga hari.
Riuhnya penyelenggaraan festival musik membuat band sibuk lagi. Mereka kini keluar dari kungkungan konser virtual dan langsung mendatangi penggemarnya. Band Efek Rumah Kaca, misalnya, telah berpentas setidaknya lebih dari 50 kali di banyak tempat di Indonesia dengan ragam skala panggung. Sementara RAN manggung di kisaran 26 kali dan belakangan ini pernah main lima kali dalam sehari.
Pada pekan terakhir Oktober, keriuhan konser pecah di Surakarta, Jawa Tengah. Rock in Solo memanggungkan band metal Suffocation dan Fit for an Autopsy dari Amerika Serikat serta band-band cadas lokal, seperti Down for Life dan Navicula. Hampir sepanjang festival yang berlangsung sehari, para metalheads berteriak, menjerit, menggeram, moshing, dan headbanging.
”Rasanya seperti ada yang bisa dilepaskan dari beban hidup sehari-hari. Semuanya (penonton) merasa sama. Mungkin sama-sama punya beban yang berat, ya,” kata Rio Andika (24), penonton Rock in Solo yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bongkar muat pabrik tekstil.
Pada pekan yang sama, jenaka Pecas Ndahe juga tampil pertama kali di hadapan publik Surakarta semenjak pandemi untuk memperingati ulang tahun ke-29.
Di kancah busana, perhelatan Jakarta Fashion Week (JFW) yang berlangsung pada 24-30 Oktober juga menyedot perhatian. Sebanyak 10 tribune di City Hall PIM 3 itu bisa menampung 600 penonton. Menurut Direktur Kreatif JFW Andandika
Surasetja, jumlah pengunjung dikontrol dengan penggunaan undangan elektronik.
Saking antusiasnya, ada tamu yang ”diam-diam” mengajak saudara atau anaknya meski undangan hanya berlaku untuk satu orang. Namun, hal itu tak sampai mengusik kenyamanan dan kelancaran acara.
Pengunjung yang membawa buket bunga untuk diberikan kepada desainer di landas peraga terpaksa gigit jari karena tidak diperbolehkan. Padahal, pada perhelatan sebelumnya, buket bunga mengalir ke desainer di landas peraga.
Memahami kerumunan
Antusiasme massa pada keramaian sedang tinggi-tingginya. Kondisi darurat, seperti pengunjung yang pingsan atau meninggal, adalah ekses yang semestinya bisa dihindari.
Beberapa kejadian buruk dikhawatirkan berdampak pada pembatasan keriaan—terutama birokrasi perizinan—mengingat hingga awal tahun depan telah terjadwal sejumlah festival besar. Para promotor tidak mau harus tiarap lagi seperti masa pembatasan sosial pada Maret 2020.
Menurut APMI, setidaknya ada tiga jadwal festival besar yang jadi pertaruhan besar nama baik industri panggung Indonesia. Festival itu adalah Soundrenaline (26-27 November), Heads in the Cloud (3-4 Desember), dan Djakarta Warehouse Project (9-11 Desember). Tiga festival dengan bintang internasional ini dikhawatirkan terimbas gonjang-ganjing isu keamanan dan keselamatan penoton pada perhelatan massal.
”Pekan lalu kami berkoordinasi langsung dengan kepolisian terkait seluk-beluk industri festival. Pekan depan (8 November) kami juga akan berbicara dengan Kemenparekraf untuk mengklarifikasi peristiwa yang sudah terjadi dan mencari solusi agar industri ini terbangun terus,” kata Dino Hamid, yang juga Project Director New Live Entertainment ini.
Sementara Dewi Gontha, President Director Java Festival Production, menyebutkan, para promotor bersama-sama instansi terkait harus membuat standar pelaksanaan acara.
”Mulai dari pra-acara, acara, sampai pasca-acara harus ada standar operasionalnya, misalnya bagaimana mengurus perizinan atau mengurasi penampil. Kami sebagai promotor juga menggunakan jasa (konsultan) profesional. Jangan beranggapan crowd control bisa diatur (promotor) sendiri,” kata Dewi yang berpengalaman menghelat Java Jazz Festival ini.
Pengaturan massa, seperti yang diungkapkan Dewi, menjadi keniscayaan di tengah euforia masyarakat akan keriaan. Menurut Zainal Abidin, pengajar senior Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, euforia ini terkait dengan pembatasan mobilitas semasa pandemi Covid-19.
Setelah sekian lama dibatasi, orang cenderung lepas kontrol, terutama ketika mereka sekarang diizinkan kembali berkumpul dan berkerumun.
”Memang begitulah alasannya orang mau berbondong-bondong berkumpul begitu ada kesempatan. Entah itu ajang olahraga, musik, atau perayaan tertentu seperti di Korea Selatan,” kata pengurus Ikatan Psikologi Sosial ini.
Dengan kondisi demikian, Zainal mendorong pihak terkait, mulai dari penyelenggara kegiatan, aparat keamanan, hingga masyarakat, agar bisa lebih berhati-hati. Diperlukan juga sebuah aturan main baru dalam konteks penanganan dan pengendalian massa.
”Masih banyak institusi, termasuk petugas keamanan, tak menyadari isu collective behaviour. Mereka mengabaikan ’jiwa massa’, di mana saat orang berada dalam kerumunan, dia sudah tak lagi menjadi dirinya sendiri. Yang namanya jiwa massa ini sangat liar dan mudah terprovokasi,” kata Zainal.
Agar terhindar dari mara bahaya, jiwa massa perlu penanganan tersendiri. Sebab, kerumunan ini terdiri atas individu-individu yang punya kehidupan pribadi, punya keluarga yang menanti di rumah setelah mereka puas bergoyang atau mendukung klub bola kebanggaannya.
(SKA/DWA/BAY/NCA)