Dahaga Tuntas di Konser Keras
Tahun ini, pandemi dianggap telah reda. Musisi dan penggila musik keras yang hadir di Rock in Solo bisa bebas mengekspresikan diri. Mereka bisa bernyanyi, menjerit, lantas ”moshing” atau ”headbanging”.
Setelah 7 tahun vakum, festival musik keras bertajuk Rock in Solo kembali digelar pada 30 Oktober lalu. Tuntas sudah penantian panjang para penggila musik cadas di Surakarta dan sekitarnya. Mereka bisa menggeram, berteriak, headbanging, dan moshing bersama lagi.
Petikan gitar berkecepatan tinggi, bas yang mengentak, dentuman drum, lengkingan, dan geraman para musisi cadas yang dirindukan itu akhirnya hadir lagi di Kota Surakarta dalam perhelatan Rock in Solo 2022. Ajang ini digelar di Benteng Vastenburg, Surakarta.
Sudah cukup lama penggila musik keras menantikan Rock in Solo meledak lagi seperti dulu. Terakhir kali, Rock in Solo digelar pada 2015. Setelah itu, festival yang membawa Kota Surakarta atau Solo menjadi episentrum baru rock di Tanah Air ini vakum. Tahun lalu, para pengelolanya berusaha menghidupkan lagi memori tentang Rock in Solo. Namun, badai pandemi Covid-19 yang tidak kelar-kelar membuat mereka hanya berani menggelar semacam ”ajang persiapan” Rock in Solo.
Nama ajangnya Apokaliptika, The Journey of Rock in Solo pada pertengahan Desember 2021. Formatnya bukan festival, melainkan pertunjukan seni yang menampilkan Down for Life (DFL), band bergaya metalcorekebanggaan Kota Solo. DFL ketika itu berkolaborasi dengan kelompok gamelan yang dipimpin Gondrong Gunarto. Karena masih dalam bekapan pandemi, ajang itu diadakan di dalam ruang tertutup di Terminal Tirtonadi Convention Hall dengan 500-an penonton yang mesti duduk di kursi, diam tanpa suara, dan tetap memakai masker sepanjang pertunjukan. Mereka harus ikhlas hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala seiring dentuman musik cadas.
Tahun ini, pandemi dianggap telah reda. Musisi dan penggila musik keras yang hadir di Rock in Solo bisa bebas mengekspresikan diri. Mereka bisa bernyanyi, menjerit, lantas moshing (gerakan penonton yang mendorong atau membenturkan badan satu sama lain), atau headbanging (menggoyang-goyangkan kepala dengan keras mengikuti irama musik).
Suasana festival yang seperti itu membuat penonton senang, termasuk Rio Andika (24). Warga Kota Surakarta itu tampak semringah. Lebih-lebih setelah ia melihat lautan manusia berpakaian hitam-hitam di hadapan dua panggung besar. Antusiasme tak bisa ia sembunyikan begitu melihat band-band rock bergantian tampil.
Rio termasuk penggemar musik cadas yang sudah menunggu-nunggu Rock in Solo. Terakhir kali ia melihat Rock in Solo pada 2014. Tahun lalu, ketika pengelola Rock in Solo menggelar Apokaliptika, The Journey of Rock in Solo, ia memutuskan tidak nonton karena penonton diharuskan duduk. ”Nonton mental-mentalan, kok, duduk. Aneh rasanya. Harusnya, kan, moshing. Ha-ha-ha,” celetuk Rio.
Salah satu band yang ia nanti-nantikan pada Rock in Solo 2022 adalah DFL. Sudah lama ia tak beradu badan dalam mosh pit atau moshing sembari jingkrak-jingkrak menyaksikan penampilan band cadas kebanggaan ”wong Solo” itu.
Baca Juga: Duduk dan Angguk-angguk di Konser Rock
Sebelum DFL, tampil beberapa band cadas lainnya. Salah satunya Matius Tiga Ayat Dua (MTAD), unit rock elektronika asal Surakarta. Mereka langsung menyentak dengan gebukan drum yang rapat. Sampling musik elektronik berpadu apik dengan riff-riff minor harmonik dari petikan sang gitaris. Sisipan teknik geraman (growl) memperluas dimensi bunyi yang dimainkan. Gimik-gimik seperti menyalakan flare membuat penampilan mereka megah sekaligus sakral.
Sajian musik keras dilanjutkan oleh Navicula, band asal Bali, di panggung sebelahnya. Rombongan orang yang sedari tadi sudah headbanging dan moshing sepanjang penampilan MTAD bergeser ke depan panggung Navicula. Tensi tetap panas. Serak suara Gede Robi dan permainan gitar Dadang Pranoto terasa begitu gahar. Penonton merespons dengan ikut bernyanyi dan melompat-lompat pada sejumlah nomor populer, seperti ”Kembali ke Akar”, ”Dinasti Matahari”, dan ”Mafia Hukum”.
Baru setelah penampilan Navicula, giliran DFL naik panggung. Berlaku sebagai band tuan rumah, DFL yang digawangi Adjie, Rio Baskara dan Isa Mahendrajati (gitar), M Abdul Latief (drum), Mattheus Aditirtono (bas), serta Adria Sarvianto (penyintesis) itu menyedot paling banyak penonton. Sebagian penonton menggunakan kaus merchandise DFL yang menunjukkan mereka penggemar berat DFL.
Moshing yang tercipta juga sepertinya menjadi yang paling besar sepanjang festival hari itu. Orang-orang yang semangat rock-nya tengah terbakar itu ternyata patuh pada apa yang dikatakan Stephanus Setiadji alias Adjie, vokalis DFL. Adjie meminta mereka jongkok atau melompat, mereka mengikutinya.
DFL malam itu membawakan lagu-lagu yang sepenuhnya berwarna metal. Pada lagu ”Menuju Matahari”, DFL memberikan corak tradisi lewat kolaborasinya dengan kelompok gamelan pimpinan Gondrong Gunarto seperti yang DFL lakukan saat konser The Journey of Rock in Solo tahun lalu.
Instrumen-instrumen tradisi, seperti kendang dan bonang, mampu melebur indah dengan permainan gitar nan cepat, melengking, serta menyayat dari Rio Baskara dan Isa Mahendrajati. Teknik permainan musik yang lengkap juga disuguhkan lewat lagu-lagu lain, seperti ”Pasukan Babi Neraka”, ”Children of Eden”, dan ”Pesta Partai Barbar”.
Bebas lepas
Mereka sukses memanaskan arena pertunjukan yang sedari siang sudah disuguhi musik cadas. Gelombang mosh pit seakan terbentuk tanpa henti sepanjang set yang dimainkan DFL. Penonton lari-lari mengitari circle pit, crowd surfing, sampai beradu badan di tengah kerumunan yang menggila. Alih-alih kesal karena hantaman pada tubuh, penonton justru gembira.
”Rasanya seperti ada yang bisa dilepaskan dari beban hidup sehari-hari. Tetapi, di sana, semuanya merasa sama. Mungkin sama-sama punya beban yang berat, ya,” kata Rio, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh bongkar muat pabrik tekstil.
Hal senada disampaikan Galang (23), penonton asal Klaten, yang rela datang jauh-jauh menonton festival tersebut. Ia datang sejak kloter band siang tampil di bawah matahari yang sedang terik-teriknya. Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya bergabung dalam keriaan mosh pit yang semakin sore semakin meriah.
Menurut dia, musik keras paling tepat dinikmati dengan moshing. Itu jadi bentuk ekspresi atas deru distorsi hingga tabuhan yang menggebu-gebu dari jenis musik cadas. Kelihatannya saja musik dan gerakannya keras. Namun, satu sama lain tak ada yang tersakiti. Mereka justru saling berbahagia di tengah kerasnya suasana.
Galang mengatakan, hadir di tengah festival rock dan ikut moshing membuat rasa penatnya yang menumpuk akibat kebanyakan kerja terlepas ke udara. Karena itu, sejak awal ia tak ingin menyia-nyiakan penampilan band-band di Rock in Solo. Ia menonton semuanya sampai tuntas.
”Itu (konser) yang jadi pemompa semangat saya menuju hari Senin. Bandnya banyak. Panggungnya mewah. Sound-nya mantap,” kata Galang, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Boyolali.
Total penampil berjumlah 15 band. Dua di antaranya merupakan band cadas asal Amerika Serikat, yakni Suffocation dan Fit for an Autopsy. Beberapa band lain ialah band-band cadas kenamaan dari Indonesia, seperti Beside, Roxx, Serigala Malam, Extreme Decay, Fraud, dan Navicula. Tak lupa beberapa band asli dari kota Solo sendiri, yakni DLF, MTAD, Paranoid Despire, dan MCPR.
Dua legiun asing, yakni Fit for an Autopsy dan Suffocation, menjadi penampil terakhir dalam festival tersebut. Fit for an Autopsy naik panggung lebih dahulu. Band asal New Jersey yang beranggotakan Pat Sheridan (gitar), Tim Howley (gitar), Joe Badolato (vokal), Peter Spinazola (bas), dan Josean Orta (drum) tampil memukau. Mereka memainkan musik dengan irama drum yang padat. Iringan gitarnya juga rancak seolah menyapu bersih semua nada dari senar pertama sampai keenam. Gaya vokal Joe juga yang bisa bermain dalam bermacam jenis growl menambah lengkap pertunjukan.
”Saya tidak peduli tampil di mana saja. Asalkan bertemu dengan para metalheads yang antusiasmenya tinggi, itu sangat menyenangkan. Kegairahan mereka membawa kegembiraan bagi kami setiap akan perform,” kata Sheridan, yang bersama Fit for an Autopsy mengaku baru kali pertama datang ke Indonesia.
Suffocation yang dipasang sebagai pemungkas gelaran ogah mengalah. Energi yang dibawa Terrance Hobbs (gitar), Derek Boyer (bas), Charlie Errigo (gitar ritmis), Eric Morotti (drum), dan Ricky Myers (vokal) begitu besar. Penonton terus diajak berkeringat dengan komposisi deretan lagu yang santer dan solid. Ajakan bersambut baik karena penonton juga seperti tidak pernah kehilangan tenaga. Mereka masih tampak bugar saling berbenturan di arena mosh pit.
Beberapa nomor dibawakan Hobbs dan koleganya, antara lain ”Catatonia”, ”Pierced from Within”, ”Liege of Inveracity”, dan ”Effigy of the Forgotten”. Permainan mereka sangat matang. Dinamika lagu dari tingkat kerapatan lagu hingga pemosisian unisono terasa tepat. Teknik petikan gitar yang seolah-olah menyapu nada minor melengkapi lengkingan yang sesekali disuguhkan lewat permainan handle gitar.
”Indonesia adalah fans yang paling antusias dengan musik metal. Untuk itu, boleh juga kami sebut sebagai death metal capital of the world. Kami bisa benar-benar merasakan energi kalian di panggung,” pungkas Charlie Errigo. (BSW)
Lihat Juga: Gempita Konser Rock in Solo di Benteng Vastenburg