Menonton film ini seketika terbayang Lebanon, Irak, atau Afghanistan. Begitu metafora dalam ”Black Adam” yang menggambarkan Kahndaq sebagai negara gagal dan harus tunduk di bawah kungkungan kekuatan asing.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan kedaulatannya. Oleh karena itu, mereka mempunyai hak untuk menciptakan pahlawannya sendiri, melawan kekuasaan lain yang represif, dan merebut kemerdekaan.
Barang kali itu salah satu pesan penting dari film Black Adam yang mulai bisa ditonton di bioskop Tanah Air sejak 19 Oktober 2022. Secara singkat, film yang menampilkan salah satu karakter dalam semesta DC Extended Universe (DCEU) ini berkisah tentang Kahndaq, sebuah negara gagal yang berada di bawah kekuasaan Intergang. Intergang tak lain adalah kekuatan luar yang memakai kedok melindungi rakyat Kahndaq dengan beragam peraturan yang justru menyulitkan rakyat Kahndaq.
Menonton film ini seketika terbayang Lebanon, Irak, atau Afghanistan. Lebanon menjadi negara gagal ketika sistem demokrasi sektarian diterapkan di sana. Utang nasional mencapai 150 persen daripada produk domestik bruto disusul devisa yang terus anjlok. Kondisi Irak pun tak jauh berbeda. Ketika rezim Saddam Hussein ambruk pada 2003, harta negara ini ikut amblas. Konon jumlahnya tak kurang dari 450 miliar dollar AS. Dalam kondisi memprihatinkan seperti itu, selalu muncul campur tangan pihak lain. Campur tangan Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat memperburuk keadaan. Dalih mereka melindungi Irak, tetapi semua tahu pasti ada kepentingan lain di balik itu. Mereka ibarat kekuatan Intergang dalam cerita Black Adam.
Cerita negara-negara gagal selalu serupa dengan itu. Begitu juga metafora dalam Black Adam yang menggambarkan Kahndaq sebagai negara gagal dan harus tunduk di bawah kangkangan kekuatan asing. Tentu tidak semua rakyat di Kahndaq menerima begitu saja. Sebagian mencoba melawan bahkan sampai mencari-cari kemungkinan metafisika untuk menemukan kembali elan semangat untuk melawan dan merebut kemerdekaan. Salah satunya adalah Adrianna Tomaz (Sarah Shahi), pejuang revolusi yang meyakini bahwa Kahndaq mempunyai sosok pahlawan. Dengan kemampuan arkeologi dan sejarahnya, dia melacak kuburan Teth Adam yang disebut-sebut dalam legenda sebagai sosok pahlawan rakyat Kahndaq di masa lalu.
Benar saja, dengan mantra yang dia hafal dari buku-buku kuno, Teth Adam alias Black Adam (Dwayne Johnson) yang terkubur atau lebih tepatnya terpenjara selama 5.000 tahun kini bangkit. Dengan kekuatan supernya, sosok antihero ini mengamuk, meluluhlantakkan Intergang. Rakyat Kahndaq bersukaria menyambut sosok yang mereka anggap pahlawan itu.
Di tengah-tengah euforia semangat perlawanan tersebut, sekelompok pahlawan super yang menamakan diri Justice Society, sebuah organisasi superhero yang mengklaim bertugas menjaga stabilitas dunia, datang. Mereka adalah Carter Hall (Aldis Hodge) alias Hawkman, Kent Nelson (Pierce Brosnan) alias Doctor Fate, Maxine Hunkel (Quintessa Swindell) alias Cyclone, dan Albert Rothstein (Noah Centineo) alias Atom Smasher. Dengan segala kemampuannya, mereka mengeroyok Black Adam.
Dalam dunia nyata, Justice Society ini bisa diidentikkan dengan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang selalu mengklaim menjaga stabilitas dunia dengan berdasarkan pada standar nilai-nilai mereka. Tentu banyak yang sering tak setuju dengan kebijakan PBB. Begitu juga dalam Black Adam, Adrianna marah terhadap Justice Society. Dia mengatakan, kenapa ketika Black Adam muncul dan membantu rakyat Kahndaq, Justice Society untuk menentangnya. Kenapa ketika rakyat Kahndaq terjajah dan tertindas, Justice Society diam saja selama puluhan tahun.
Selain harus berhadapan dengan Justice Society, Black Adam mempunyai musuh yang lebih berbahaya. Musuh dari masa lalu.
Kemuraman dan humor
Secara industrial, Black Adam sukses karena meraup penghasilan hingga 67 juta dollar AS di pekan pertama yang dengan demikian menduduki puncak box office. Namun, film produksi Warner Bros ini menyimpan banyak lubang kelemahan yang semestinya bisa diantisipasi. Hampir dua pertiga dari 124 menit film ini diisi oleh duel. Sayangnya, setengah dari durasi duel tersebut adalah Black Adam melawan para superhero Hawkman dan kawan-kawannya.
Ini semacam sebuah kesia-siaan menonton atau buang-buang waktu. Drama macam apa yang bisa diharapkan dari pertarungan pahlawan super melawan pahlawan super. Siapa pun pemenangnya, tidak akan memikat penonton. Apalagi jika ternyata tidak ada yang menang. Lagi pula, secara koreografi, pertarungan mereka yang begitu-begitu saja. Tidak ada hal yang baru jika dibandingkan dengan film-film superhero lain, baik itu dari pahlawan DC Comics maupun rivalnya, Marvel.
Tampaknya Adam Sztykiel, Rory Haines, dan Sohrab Noshirvani kewalahan dalam menulis naskah film ini. Mereka sibuk bercerita tentang masa lalu Black Adam berikut mitos dan legenda yang meliputinya. Dengan demikian, penulis lupa memperkuat drama atau emosi yang tokoh utama sehingga film ini terasa hambar.
Padahal, jika penulis mengeksplorasi lebih jauh hubungan Black Adam dengan anak dan istrinya, film ini bisa jadi meninggalkan kesan yang lebih mendalam. Apalagi, jika itu dikaitkan dengan perjuangan Adrianna menyelamatkan anaknya Amon (Bodhi Sabongui) dari tangan Intergang. Hubungan emosi ayah-anak atau ibu-anak selalu relevan dengan penonton. Oleh karena itu, ini peluang yang terlalu mahal untuk disia-siakan.
Para penulis skenario ini seperti gamang. Mungkin karena terbawa pembawaan The Rock yang kadung lekat dengan kekonyolan dan kejenakaannya. Film-film seperti Toot Fairy (2010), Central Intelligence (2016), Jumanji: Welcome to the Jungle (2017), Jumanji: The Next Level (2019), Jungle Cruise (2021), dan Journey: The Mysterious Island (2012) meneguhkan The Rock sebagai sosok yang komedik dan kerap konyol.
Dalam Black Adam, kesan itu ingin dimunculkan tetapi terserat pada kegamangan. Masalahnya ada pada masa lalu Black Adam yang terlampau kelam sehingga sulit membawa kekelaman itu ke dalam humor yang segar. Yang muncul justru suasana muram seperti ketika Black Adam mengenang anak dan istrinya.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk menjembatani kekelaman masa lalu dan menciptakan humor tadi. Penulis bisa menggunakan formula humor kelam (dark jokes) dengan sarkasme atau satire. Formula ini dipakai Marvel dalam mengangkat seri Deadpool: kelam tapi komedik.
Jadi, selain soal perlunya mencari pahlawan sendiri dalam menentukan arah sebuah negara seperti pesan yang terkandung dalam film ini, tampaknya lebih dulu penulis skenario harus menentukan formula yang kokoh.