Estetika dari Cerita Kehidupan
Para koreografer yang tampil di Indonesian Dance Festival 2022 membocorkan bagaimana mereka mengolah inspirasi menjadi sebuah karya tari yang estetik.
Inspirasi seni tari kontemporer bisa muncul dari banyak hal. Sungguh membuat penasaran bagaimana otak para koreografer meramu satu koreografi yang mengundang decak kagum. Tak sekadar berselubung estetika, ada cerita kehidupan yang terkandung di dalam karya mereka.
Usai sudah perhelatan Indonesian Dance Festival (IDF) 2022 selama 22-28 Oktober lalu yang didirikan 30 tahun silam. Festival ini kembali menjadi saksi karya para koreografer berbakat dari seluruh pelosok Tanah Air beraksi.
Buah pikiran koreografi para seniman ini rupanya tak melulu harus muncul dari hal yang luar biasa. Ada kalanya karya seni tari bisa lahir dari pengalaman kecil yang mungkin bagi orang lain terkesan sederhana.
Koreografer Hari Ghulur menciptakan tari “Silo” terinspirasi dari dari pengalaman kesehariannya bertahlil di masa kanak-kanak hingga lulus SMA di Madura, Jawa Timur. Gerak tubuh yang spontan dan organik selama bertahlil menginspirasi laki-laki yang yang kini menetap di Surabaya itu.
“Silo” tampil menakjubkan di panggung pembuka IDF 2022, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (22/10/2022), dalam durasi 50 menit. Silo berasal dari bahasa Jawa. Ini memiliki makna posisi duduk bersila tatkala menjalani ritual tahlil atau berdoa bagi umat Muslim di Madura.
Hari menjalani sendiri prosesi itu. Ketika melantunkan doa pendek bersama yang diulang-ulang dalam waktu cukup lama, ternyata proses itu mendorong gerakan-gerakan tubuh secara spontan.
“Gerakan berpusat di torso, bagian antara rongga perut dan dada. Kaki yang bersila seperti terdiam, tetapi kaki ikut mengalirkan energi ke tubuh,” ujar Hari.
Sambil melafalkan doa, biasanya bagian dada atau pundak bergerak ke kiri dan ke kanan secara spontan. Mulut yang tiada henti berdoa membuat leher pun turut bergerak. Sesekali gerak leher itu menggetarkan wajah.
Tidak hanya gerakan yang berpusat pada torso. Di pementasan Silo itu Hari juga cukup banyak menyuguhkan gerak atraktif dengan posisi kaki bersila. Tujuh orang penampil yang meliputi Errina Aprilyani, Puri Senja, Patry Eka, Aditya Putra, Angga I Tirta, Rifai, dan Hari Ghulur, menunjukkan kekuatan dan ketahanan fisik mereka.
Gerakan cukup ekstrem dengan posisi bersila atau kedua kaki saling mengunci itu mengambil tumpuan lutut. Menurut Hari, ini membutuhkan tumpuan lutut yang kuat, karena kadang gerakan mereka berjalan itu dalam posisi tetap bersila dengan tumpuan lutut. Bahkan, letupan-letupan doa yang diwujudkan dengan irama tertentu diekspresikan dengan lompatan.
Ketika adegan lompatan, posisi kaki tetap bersila. Lutut menjadi tumpuannya. Ini membuat tari Silo menawarkan sebuah estetika yang unik. Tari yang bersumber dari keseharian ritual tahlil.
Hari menciptakan “Silo” ini dari pengembangan tari “Sila” yang diciptakan pada 2018. Ia makin melengkapi gerak dan narasinya. “Peci madura dengan beragam ukuran tingginya turut dieksplorasi di dalam tarian Silo. Peci yang makin tinggi untuk menandakan figur pemakainya yang makin sedikit bicara, atau bicara hanya seperlunya dan bijak,” katanya.
Tradisi pantun
Menciptakan tari dari pengalaman pribadi juga dilakukan Sherli Novalinda. Koreografer yang berbasis di Padang Panjang, Sumatera Barat, ini menciptakan “Tale Tale” yang telah digarap sejak 2020. Kata tale pertama pada judul adalah kosa kata bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah, sedangkan kata tale kedua merujuk pada tradisi berpantun di Kerinci, Jambi, tempat asal Sherli.
Sherli menampilkan “Tale Tale” untuk pertama kalinya secara terbuka di Teater Kecil, Rabu (26/10/2022). Perempuan ini memperlakukan tubuhnya layaknya arsip hidup. Berdasarkan memori dan riset, dia membongkar lalu menarasikan ulang tradisi tale yang pernah menjadi bagian dari identitas diri. Hasil narasi ulang itu lahir dalam bentuk olah tubuh yang harmonis.
Dalam pertunjukannya, Sherli sengaja menggunakan dua penari berbeda jenis kelamin, yaitu Lovia Triyuliani Ikhlas dan Yogi Afria. Lovia berasal dari Kerinci di mana perempuan menguasai seni tari, sedangkan Yogi berasal dari Minangkabau di mana dulu laki-laki yang mendominasi tari.
“Sebenarnya tari ini tidak sengaja berbicara jender, tapi memang ada latar belakangnya. Gerakan penari Kerinci kontras dengan penari dari Minangkabau ada silat yang sangat laki-laki karena secara langsung itu ada dalam arsip tubuh saya,” tutur Sherli.
Salah satu inspirasi gerakan dalam “Tale Tale” timbul dari tari tradisional Jambi, tari Iyo-Iyo. Ini adalah tari sakral yang hanya dipentaskan oleh perempuan dalam kesempatan tertentu.
Salah satu gerakan yang muncul adalah ketika penari perempuan sedikit membungkukkan badan, mengangkat tangan kiri dan kanan di sisi tubuh, sedangkan kedua lutut agak ditekuk sehingga tubuh ikut mengayun. Tak ketinggalan, kedua penari juga bersahutan mengucapkan kata ‘iyo’ saat menari berhadapan.
Sejumlah gerakan dalam tale turut muncul dalam karya Sherli itu. Ia belajar langsung dari Tino Maryam yang merupakan maestro tale di Jambi. Di Kerinci, ada bermacam-macam tale berdasarkan tujuannya. Ada tradisi tale untuk untuk pergi ke sawah, mengantar orang pergi naik haji, dan ritual pengobatan.
Sheri mengadopsi gerakan trance atau hilang kesadaran dalam tale Asyek, yakni tale untuk ritual pengobatan dengan memanggil roh nenek moyang. Para penari menari layaknya kesurupan sehingga rambut panjang si penari perempuan terurai menutup wajah, sedangkan keringat deras membasahi tubuh si penari laki-laki.
Dalam presentasi “Tale Tale”, Sherli juga menggunakan bantuan visual untuk mendukung narasinya, seperti lewat permainan layar proyektor di belakang para penari. Ia menyertakan gambar aksara Kerinci yang menyinari tubuh penari dan latar belakang panggung sehingga menghasilkan efek yang menghipnotis.
“Tale Tale” merupakan karya ketiga dari trilogi Kerinci yang Sherli garap. Karya pertamanya adalah “Meniti Jejak Tubuh” (2016) yang berbicara tentang negosiasi antara Minangkabau dan Kerinci. Karya keduanya adalah “Memoirs” (2017) yang membahas soal perempuan Kerinci.
“Tubuh kita adalah arsip hidup dan arsip kita itu sangat berlapis. Saya ingin menunjukkan itu. Selain itu, saya juga merasa sudah membawa tradisi tale ke mana-mana. Jadi tubuh saya menjadi pintu masuk orang untuk lebih tahu Kerinci,” kata Sherli.
Representasi metafisika
Ada pula M Safrizal alias Ijal mengemukakan keartistikannya melalui representasi metafisika. Seniman yang sempat mendalami musik tradisional Aceh ini memeragakan “Body Tarekat” dengan nyaris tak henti menggeletar. Ia meloncat-loncat seraya terengah-engah bagai menyaksikan konser rock.
Sekilas tampak lucu, tetapi sebenarnya Ijal tengah menyajikan simbolisasi zikir. Tarian itu mengacu kepada waktu yang diukur dengan nisbi. Tanpa jam dinding, arloji, atau petunjuk panitia, jika peluh atau liurnya telah mengalir sekian tetes, baru ia berganti posisi.
“Sebenarnya, bisa disadari atau tidak. Tantangan terberat tentu bagaimana membatin untuk berdialog dengan diri sendiri yang cukup memengaruhi mood (suasana hati),” katanya.
Ijal mengibaratkan tariannya perjalanan yang terus berlari. Saat tiba, ia menghentikan sepeda motor atau mobilnya. Bisa pelan atau mendadak. Koreografi tunggal itu terinspirasi tarekat di Aceh, khususnya Qadiriyah yang didalami Ijal sejak SMA pada tahun 2013.
“Kalau berdoa biasanya sambil duduk, tapi di praktik kami ada yang sambil lompat-lompat lalu sujud di tanah. Durasinya cukup lama. Bisa sampai semalam suntuk,” katanya.
Bahkan, Ijal menceritakan, ada ritual yang tergolong ekstrem. Mereka bisa menggali tanah hingga menyerupai makam berukuran 1 meter persegi lalu berzikir di dalamnya. Banyak peristiwa lain, seperti digigit semut, kepanasan, jamaah menangis, bahkan dililit ular.
Kadang-kadang, konsentrasi Ijal saat tampil buyar juga. Namun, ia berusaha mengatasi kendalanya dengan merenung seraya mengeksplorasi ritme saat latihan. “Enggak tahu membayangkan apa. Saya susah menganalogikannya. Meditasi bisa di tempat ramai. Saya duduk saja memperhatikan,” ujarnya.
Sementara itu, tampilan tari dengan estetika yang unik juga ditawarkan Mella Jaarsma dengan judul “The Size of Rice II (Ukuran Beras II)”. Mella mengambil inspirasi keseharian tentang beras dan cara-cara mengukur tradisional dengan mengambil ukuran dari tubuh.
“Satu butir gabah dibagikan kepada setiap penonton dan mereka diajak untuk mengukur. Dari situ muncul gerak koreografi pula dari para penonton,” tutur Mella menjelang pementasannya di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Di pertunjukannya itu, perempuan asal Belanda yang menetap di Yogyakarta ini melibatkan empat penampil dari berbagai latar belakang etnis seperti Bugis, Minang, Riau, dan Jawa. Mereka terdiri dari Abdi Negara, Siska Aprisia, Pebri Irawan, dan Ari Dwianto. Mella membuat instalasi seni yang dikenakan empat penampil dalam menandakan empat ukuran meliputi panjang, berat, waktu, dan jarak antar ruang.
Seni tari adalah satu dari sekian bentuk ekspresi diri manusia tentang hidup. Bisa dibilang, di dalam hidup selalu ada seni.