Seni lukis sebenarnya paling sering dikritik dibanding medium lain, seperti grafis, patung, atau gambar. Kritik tak hanya disampaikan intelektual dan kritikus, tetapi juga senimannya sendiri hingga pernah dianggap mati.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Karya-karya yang diajukan dalam UOB Painting of The Year Indonesia 2022 mengindikasikan kedigdayaan seni lukis meniti disrupsi medium. Pameran yang digelar secara luring setelah hanya bisa disaksikan lewat layar gawai pada dua tahun sebelumnya itu juga mengindikasikan keberanjakan dari pandemi.
Sekejap seusai pranatacara mengumumkan para pemenang UOB Painting of The Year (POY) di Jakarta, Jumat (21/10/2022), tepuk tangan pengunjung spontan membahana. Revaleka maju ke panggung untuk menerima penghargaan Most Promising Artist of The Year kategori perupa pendatang baru atau emerging.
Farhan Siki menyusul untuk dianugerahi penghargaan 2022 Painting of the Year. Kampiun-kampiun lain antara lain Linna, Aris Arfan, dan Rahayu Retnaningrum untuk kategori emerging. Restu Taufik Akbar, Greny Norman Kurita, dan Adi Sundoro pun tak kalah gembira menerima penghargaan kategori profesional.
Ketua Dewan Juri UOB POY 2022 Agung Hujatnika mengorelasikan karya-karya mereka dengan menyampaikan pandangan dalam konteks perspektif sejarah seni lukis. ”Seni lukis itu sebenarnya paling sering dikritik dibandingkan medium lain, seperti grafis, patung, atau gambar,” katanya.
Kritik tak hanya disampaikan intelektual dan kritikus, tetapi juga senimannya sendiri. Seni lukis bahkan pernah memasuki momen menggegerkan ketika dinyatakan telah mati. Pada akhir abad ke-19, fotografi yang diyakini bakal menggantikan lukisan telah menyebar luas.
Tak kalah menghebohkannya, sejumlah seniman muda di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengekspresikan pula kegeramannya dengan menyatakan kematian seni lukis di Tanah Air pada 1974. Mereka memprotes keputusan dewan juri Pameran Besar Lukisan Indonesia. Gerakan yang dikenal dengan Desember Hitam.
”Kita perlu memahami, kritik atau klaim itu tidak ditujukan kepada semua pelukis. Tidak ditujukan kepada semua jenis lukisan juga,” ucap Agung. Pada akhirnya, kematian tersebut tak pernah benar-benar menggambarkan kondisi akhir ketika tiada lagi seniman yang berhenti berkarya.
Kematian lantas teralihkan dengan kritikus-kritikus yang mengamati kemandekan artistik intelektual. Tak kalah penting, keskeptisan itu diserukan terhadap hegemoni institusi seni yang hanya berpihak kepada jenis lukisan tertentu. Ternyata, seni lukis justru menjadi medium yang sangat adaptif.
Perkembangan seni rupa begitu dinamis dalam 50 tahun terakhir dengan berkembangnya medium-medium baru, antara lain fotografi, instalasi, video, dan bebunyian, tetapi kreativitas yang dituangkan dalam lukisan tak pernah lekang untuk mengarungi zaman.
Secara teknis konseptual melalui irisan dan pertautan dengan teknologi baru, bahkan filosofisnya, seni lukis justru demikian ekspansif. Daya sintas itu pula yang ditunjukkan para pelukis yang mengikuti POY lewat keragaman karyanya. Sebagian besar dari mereka mengangkat tema yang aktual.
Farhan umpamanya mempersembahkan karya berjudul ”Build, Destroy, Rebuild (The Modern Sisyphus)”. Dicermati dari karyanya, ia dengan benderang menampilkan karut-marut konflik global terkini. Perang Ukraina-Rusia diperagakan lewat siluet tank, prajurit yang tengah menembak membabi buta, dan bom.
Kutukan Sisyphus
Kontradiktifnya, sejumlah pekerja malah tengah membangun didampingi menara pengerek dan truk pengaduk. Farhan menggambarkan kehidupan manusia bak Sisyphus dengan kutukan abadinya yang dilancarkan dewa-dewa dengan bersusah payah mendorong batu ke puncak bukit kemudian menggelinding lagi.
Demikian pula peradaban yang terus dihancurkan dan dibangun lagi. Farhan menganyam benang merah karyanya dengan keadaptifan seni lukis sesuai roh POY. Kehancuran selalu berulang, tetapi semangat manusia untuk membangun tak pernah padam sehingga tunas-tunas kehidupan senantiasa bermekaran.
Farhan melabur karyanya dengan cat besi yang bisa diperoleh di toko bangunan. Ia mengaplikasikan cetakan dengan stensil positif. Cat yang dilapisi enamel ditempelkan dan dicetak. Perupa asal Jember, Jawa Timur, itu juga mencantumkan angka Rp 1.200 triliun untuk membangun lagi kota yang hancur.
Farhan meluncurkan karyanya setelah menyimak ketegangan geopolitik yang meluluhlantakkan infrastruktur hingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan sosial. ”Banyak negara di Timur Tengah yang hancur karena terorisme, perang saudara, dan perbedaan paham,” ucapnya.
Sementara Revaleka mengajak pengunjung masuk ke dalam lukisannya yang berjudul ”Make a Wish II”. Ia menyapu karyanya dengan warna-warni kasar dan imaji yang kabur. Segera, pengunjung mafhum untuk menempatkan dirinya dalam salah satu figur yang disuguhkan seniman asal Bandung, Jawa Barat, itu.
Reva, demikian ia disapa, mengetengahkan 14 sosok mulai anak hingga dewasa dalam karyanya. Apresiator bisa memilih tokoh yang paling cocok dengan dirinya. Sahabat dan handai tolan bisa pula ditempatkan dalam wajah-wajah yang semu dan paradoks tersebut.
Reva menyuguhkan kekuatan terbesarnya dengan warna-warni retro yang spontan merasuki kompleks memori pengunjung. Bagi pengunjung paruh baya dan manula, ”Make a Wish II” dengan kue tar berkrim tebal, cahaya blitz yang tajam, dan piring transparan coklat terang saja menyembulkan nostalgia.
Reva melumuri karyanya dengan cat minyak. Goresannya menegaskan kuas tak rapi lantaran digunting, berikut dasar kanvas yang ditotalkan dengan warna merah. Ia sebenarnya mewujud antitesis karena termasuk generasi milenial, tetapi berkreasi dengan kesan antik yang teramat kuat.
Menawarkan kejutan
Lewat karyanya pula, Reva membuktikan seni lukis yang adaptif. Potret keluarga bahagia yang tengah merayakan ulang tahun kerabat kecilnya dilanggengkan. Namun, dengan konteks kelekangan pula, ia berhasil memikat dewan juri yang juga beranggotakan Farah Wardani dan Syagini Ratna Wulan itu.
Reva mengaku terinspirasi keluarganya yang difoto pada tahun 1980-an. Ia mengingatkan audiens soal kenangan yang menyenangkan. ”Saya malah senang lagu-lagu Betharia Sonata, Iis Sugianto, Christine Panjaitan, dan Dian Piesesha. Kayaknya saya lahir di zaman yang salah,” ujarnya sambil tertawa.
Pelukis-pelukis lain tak kalah mumpuni dengan karya-karyanya yang faktual. Rahayu, misalnya, menggambarkan pandemi yang memaksa masyarakat tetap berkutat di rumah. Ia memadukan lukisannya dengan teknologi augmented reality yang bisa diamati dengan Instagram.
Pameran kali ini pun menawarkan kejutan dengan pelukis-pelukis belia. Kategori emerging diramaikan dengan mahasiswa, murid SMP, bahkan perupa berusia mulai 10 tahun. ”Kami memilih 16 karya kategori emerging dan 21 lukisan seniman profesional dari ribuan kiriman yang masuk,” ujar Agung.