Merayakan Dunia Pak Wi
Sebagai seorang dengan skizofrenia, Pak Wi mungkin harus ditemani seumur hidupnya. Tetapi suatu saat mungkin dia akan melepaskan diri, perjalanan berkeseniannya sendiri.
Dwi Putro Mulyono Jati alias Pak Wi (59), pelukis dengan skizofrenia residual, memamerkan 60-an lukisan terbarunya di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini merupakan hasil kolaborasi Pak Wi dengan adiknya, Nawa Tunggal, yang menemani perjalanan kreativitas Pak Wi menyusuri dunia sunyinya selama setidaknya dua dekade.
Pameran bertajuk Pameran Tunggal Berdua Trilogi Kenyamanan ini menggambarkan fase baru perjalanan Pak Wi dalam dunia lukis. Kolaborasi dengan Nawa Tunggal itu telah berjalan delapan tahun.
Nawa Tunggal menyebut kolaborasi mereka sebagai Dwi Tunggal yang diambil dari penggalan nama masing-masing. Nama tersebut sekaligus menyiratkan meleburnya Pak Wi dan Nawa dalam kolaborasi unik ini.
Pak Wi merupakan orang dengan skizofrenia, yakni orang dengan gangguan pikiran, perilaku abnormal, dan antisosial. Sementara itu, Nawa Tunggal adalah orang normal.
Nawa, Sabtu (15/10/2022), mengatakan, hasil karya yang dipamerkan sepenuhnya muncul dari ”dunia gagasan” Pak Wi sebagai orang dengan skizofrenia. ”Saya hanya memberikan konteks kekinian dan pesan pada karya-karya tersebut,” katanya.
Ada saatnya Nawa memberi stimulus kepada Pak Wi agar ia bisa terus berkarya. Suatu hari, ia misalnya Nawa melihat lukisan Pak Wi yang terdiri dari barisan kata-kata yang tak membentuk kalimat bermakna. Di sana ia temukan kata Borobudur. Lantas ia mengajak Pak Wi datang ke Borobudur dengan membawa peralatan melukis. Tanpa diminta, ternyata ia melukis Borobudur dengan caranya yang khas dan sulit diduga.
Koleksi lukisan Borobudur karya Pak Wi termasuk yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Sebelumnya, koleksi yang sama dipamerkan di Art Jog 2022, September lalu.
Secara tema, koleksi lukisan Borobudur dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama, lukisan-lukisan yang menggambarkan Borobudur secara utuh dengan semua keindahannya. Bagian puncak Borobudur atau Arupadhatu yang menjadi simbol alam tanpa hawa nafsu dan masalah duniawi, digambar dengan jelas. Pak Wi menambahkan sosoknya sendiri sedang berdiri di depan Borobudur. Panel-panel lukisan dalam kelompok ini dibuat Pak Wi dengan warna-warna terang, seperti hijau.
Kedua, beberapa panel lukisan yang menggambarkan bagian-bagian Borobudur yang tidak sempurna seperti gambar stupa tanpa kepala, tanpa tangan, atau tanpa kepala dan tangan sekaligus. Warnanya hitam keunguan. Nawa memaknai panel-panel lukisan itu sebagai simbol kaum difabel yang dikonstruksi secara sosial sebagai kelompok liyan.
Ketiga, panel-panel lukisan yang menggambarkan bentuk-bentuk dekoratif yang ditangkap Pak Wi dari Borobudur. ”Itu mungkin dunia abstraknya Pak Wi,” ujar Nawa.
Koleksi lukisan bertema Borobudur ini ditempatkan secara khusus dalam sebuah kamar tertutup di sudut kanan ruang pamer utama Bentara Budaya Jakarta. Kamar itu dilapisi kain hitam dengan cahaya secukupnya di sekitar panel-panel lukisan. Dengan begitu, panel-panel lukisan yang ada menjadi amat menonjol, bagai gugusan-gugusan bintang di kegelapan malam.
Pengemasan seperti itu muncul dari gagasan Nawa. Namun, semua karya lukisan yang ada tetap karya Pak Wi sepenuhnya.
Pameran Dwi Tunggal dengan tema Trilogi Kenyamanan ini digelar di Bentara Budaya Jakarta sejak Rabu (12/10/2022). Menurut rencana, pameran akan berlangsung hingga 19 Oktober 2022.
Ibu dan kekerasan
Pameran ini juga menampilkan koleksi karya terbaru Pak Wi dengan beragam tema. Ada setidaknya enam lukisan yang menampilkan sosok ibu yang sedang menggendong anaknya dengan cinta. Matanya sendu atau seolah menerawang ruang kosong. Sosok itu dilukis di atas kanvas yang terbuat dari bahan seragam loreng tentara. Pak Wi menimpa motif loreng pada bahan itu dengan gambar pola-pola loreng menggunakan cat akrilik.
Nawa menjelaskan, motif seragam militer merupakan simbol perang. Sementara itu, sosok ibu dan anaknya adalah simbol kasih sayang. ”Lewat lukisan ini kami ingin menyampaikan protes atas perang terjadi di Ukraina dan di mana pun,” tambah Nawa.
Selain itu, ada koleksi lukisan bertema wayang, tema yang sangat sering diangkat Pak Wi dalam karya-karyanya sejak dua dekade lalu. Namun, lukisan-lukisan dengan tema wayang kali ini berbeda dengan karya-karya serupa milik Pak Wi yang dibuat pada awal-awal ia melukis.
Dulu lukisan-lukisan wayang karya Pak Wi terkesan datar, dekoratif, dengan garis yang kekanak-kanakan. Ciri dekoratif dan garis yang kekanak-kanakan masih kentara, tetapi lukisannya tampak memiliki banyak struktur. Ada kata-kata acak yang samar nyaris tak terbaca, ada bentuk-bentuk dekoratif yang repetitif, ada cipratan-cipratan cat, dan garis serta bentuk-bentuk obyek yang tegas.
Salah satunya bisa dilihat pada karya berjudul ”Prabu Darmakusuma”. Dalam lukisan itu, tampak sosok Prabu Darmakusuma, tokoh pewayangan yang tidak pernah berbohong dikelilingi bentuk virus Covid-19 yang masih aktif ataupun yang sudah mati.
Lukisan itu, ujar Nawa, ingin menggambarkan betapa selama pandemi banyak orang membohongi diri sendiri. ”Di masa pandemi, misalnya, orang terpaksa berbohong agar bisa pulang kampung.”
Merayakan
Pak Wi melukis sejak dua puluhan tahun yang lalu. Awalnya, seni lukis dipilihkan oleh Nawa kepada kakaknya sebagai sarana terapi agar kakaknya tidak ngamuk, keluyuran, dan memunguti puntung rokok. Begitu berkenalan dengan dunia melukis, Pak Wi seolah menemukan dunia baru yang memberinya kenyamanan. Sejak saat itu, ia tenggelam dalam dunia melukis. Sebanyak 10.000-an lukisan ia buat.
Ia seolah tidak peduli dengan hal lainnya. Ia diam tak bicara. Kecuali jika Nawa yang mengajaknya bicara. Belakangan, Pak Wi mulai bisa berinteraksi dengan amat terbatas dengan orang lain.
Selama berkarya, Pak Wi menghasilkan lukisan-lukisan yang seolah berasal dari dunia lain. Lukisan yang mentah dan naif tetapi mendorong orang untuk menduga-duga alam pikir seorang dengan skizofrenia. Dulu, Pak Wi sering melukis anak ayam, wayang, gerabah. Bentuk-bentuk itu muncul secara repetitif sehingga membentuk pola.
Pada saat yang sama, dia membubuhkan barisan kata yang amat acak sehingga tidak membentuk kalimat bermakna apa pun. Kata yang sering ia bubuhkan antara lain SLB/B, ABRI, teteh, Ning, Sri, babi, ibu, ayam, Nawa, dan dodol. Gabungan antara bentuk-bentuk repetitif dan berpola dan kata-kata acak sampai sekarang terus muncul dalam karya Pak Wi.
Lukisan-lukisan itu lantas dipamerkan di sejumlah pameran. Lewat pameran itulah, Nawa dan penikmat seni bisa merayakan alam pikir Pak Wi dalam wujud lukisan.
Nawa terus menstimulus Pak Wi agar berkembang. ”Ternyata dia pembelajar yang cepat. Saya contohkan menciprat-cipratkan cat ke kanvas, dia ikuti sampai berhari-hari. Lama kelamaan dia bisa mengaplikasikan cipratan itu dengan indah pada lukisan-lukisannya,” tutur Nawa.
Nawa mengatakan, dia tidak tahu akan sampai kapan menemani Pak Wi. Sebagai seorang dengan skizofrenia, Pak Wi mungkin harus ditemani seumur hidupnya. ”Tetapi suatu saat mungkin saya akan melepaskan diri, tidak lagi Dwi Tunggal. Pak Wi akan melalui perjalanan berkeseniannya sendiri.”