Bangunan cerita dalam film seakan mengajak penontonnya berlibur.M akna keluarga coba disuntikkan dalam komedi romantis ini. Pesan itu terasa banal mengingat jenis film ini cocok bagi yang ingin berlibur.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Era 1990-an hingga 2000-an, cerita cinta dengan ramuan dari benci jadi mesra berakhir bahagia banyak bertaburan. Tak banyak pesan moral, apalagi sisipan isu sosial yang kadang membuat sakit kepala. Cukup duduk menonton, mesam-mesem malu, kadang gemas, hingga berakhir berkaca-kaca dengan rekahan senyum lega.
Itu pula yang ditawarkan Ticket to Paradise. Film bergenre komedi romantis yang tayang sejak 30 September lalu di bioskop. Meski jenis film romantis manis ini tak lagi merajai layar lebar, nyatanya berhasil menarik Julia Roberts dan George Clooney untuk reuni beradu peran lagi.
Kedua sahabat ini terakhir dipertemukan dalam satu layar pada 2016 di bawah film besutan Jodie Foster berjudul Money Monster. Film itu jauh dari percintaan. Keduanya justru terlibat urusan serius yang menegangkan. Sebelumnya, Roberts dan Clooney intens berperan sebagai suami istri yang pernah bercerai kemudian bersatu lagi dalam Ocean’s Eleven (2001) dan Ocean’s Twelve (2004).
Oleh karena itu, film yang disutradarai Ol Parker ini seakan mengingatkan pada hubungan Danny dan Tess dalam dua film Ocean dua dekade silam. Pertemuan di pesawat yang tidak ramah dan saling sindir, tetapi penuh humor, membuka kembali kisah David dan Georgia yang telah 19 tahun bercerai.
Kali ini, mau tidak mau, keduanya harus menghabiskan waktu bersama demi anak tunggal mereka, Lily (Kaitlyn Dever), yang tiba-tiba memutuskan menikah dengan orang yang baru ditemuinya selama 37 hari saat berlibur di Bali. Kehadiran keduanya untuk menggagalkan rencana pernikahan Lily dengan petani rumput laut asal Bali, Gde (Maxime Bouttier).
Meski keduanya selalu berdebat dan saling menyalahkan seperti kucing dan anjing di hampir setengah perjalanan film, akhir kisah untuk kategori genre ini mudah ditebak. Namun, kepiawaian akting kedua aktor dan aktris senior ini berhasil membuat penonton tetap mengikuti alur cerita sambil merasa gemas dan tertawa karena tingkah polah mereka yang sangat natural.
Dever pun terlihat tidak kesulitan berperan sebagai anak dari Roberts dan Clooney. Pengalamannya sebagai Eve Baxter dalam serial Last Man Standing (2011-2021) sebagai si bungsu, yang kerap terkejut melihat perilaku orangtuanya yang sangat menyayanginya, tetapi kadang memalukan ketika bertemu dengan teman si anak, cukup membantu.
Yang menarik, kehadiran aktor Indonesia, yaitu Maxime, sebagai pasangan Lily. Tak disangka memang, Maxime mampu mengimbangi aksi tiga pemain film Hollywood yang banyak memperoleh penghargaan dari Academy Award, Golden Globe, dan Emmy Award.
”Ini pengalaman yang sangat berharga dan menyenangkan. Saya bisa menyerap ilmu juga dari seorang George Clooney dan Julia Roberts. Bahkan, George Clooney sempat menyemangati saya di suatu adegan,” tutur Maxime dikutip dari The Guardian.
Sesuai dengan nama yang diperankan Maxime, latar lokasi film digambarkan ada di Bali. Hal ini diperlihatkan juga dengan rentetan budaya Bali dalam film ini, mulai dari tradisi kikir gigi sampai upacara pernikahan adat Bali yang mengambil waktu cukup panjang pada film berdurasi 104 menit ini.
Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah pengambilan film ini pada November 2021 tidak dilakukan di Bali karena dikabarkan masih terhalang pandemi. Parker sebagai sutradara pun memutuskan melakukan shooting sebagian besar di Gold Coast dan Brisbane, Australia.
Titik lokasi spesifiknya berada di Pulau Hamilton, Kepulauan Whitsunday yang dipenuhi pantai pasir putih dan Palm Bay Resort, Queensland. Meski demikian, Parker tetap berupaya menghidupkan suasana Bali sedemikian rupa walau bagi yang mengenal dengan baik tentang Bali masih akan terasa kurang.
Tentang keluarga
Kembali lagi pada bangunan cerita dalam film yang seakan mengajak penontonnya berlibur ini, makna keluarga coba disuntikkan dalam komedi romantis ini.
Meski tentu saja, pesan itu terasa banal mengingat jenis film eskapisme ini cocok bagi yang ingin mencari hiburan tanpa membebani pikiran. Ya, hidup sudah susah juga, kan?
Perceraian agaknya memang bukan akhir segalanya, apalagi jika ada anak sebagai pengikat. Hubungan sebagai pasangan mungkin usai, tetapi tidak dengan peran sebagai ayah dan ibu dari si anak. Itu pula yang dilakukan David dan Georgia bagi putri tunggalnya, Lily.
Sebagai orangtua yang merasa pernah merasa salah jalan dan berlabuh pada keputusan sulit, mereka tentu tidak ingin hal yang sama dialami anaknya. Meski caranya kadang tak masuk akal, orangtua hanya mau anaknya bahagia dan jauh dari kesedihan.
Formula keluarga seperti yang ditawarkan Mamma Mia! Here We Go Again (2018) yang juga dibuat Parker seperti diadopsi lagi. Sebagian dari kecanggungan yang mengundang gelak tawa dari Meet The Fockers (2004) juga membaur dalam film ini.
Dari alur, inti cerita, hingga penutup cerita, tak ada resep baru yang memukau. Ini murni film komedi romantis bernuansa keluarga yang klasik, tetapi tak rugi untuk dinikmati.
Mundur sejenak ke era 1990-an hingga 2000-an, film jenis ini sangat digemari bahkan memantik juga banyak drama percintaan di luar logika yang ditawarkan film Indonesia atau film televisi. Si lelakinya akan digambarkan super romantis dengan perempuan yang kecanduan diperlakukan bak putri. Dongeng klasik.
Namun, perlahan komedi romantis mulai memotret kisah cinta yang membumi dan tidak sekadar memotret hubungan cinta antarpasangan.
Love Actually (2003), misalnya, film berformat omnibus ini tak sekadar kisah pria dengan poster ”To Me You Are Perfect” yang ditunjukkan kepada perempuan yang disukainya. Namun, ada juga cerita tentang keluarga hingga relasi antarsaudara kandung. Bridget Jones’s Diary (2001) bahkan bercerita tentang mimpi dan harapan walau tentu ada bumbu percintaan. Ada juga Marley & Me (2008) yang mengangkat hubungan pasangan dengan anjing peliharaannya.
Berbicara komedi romantis, sosok Roberts pun bisa disebut sebagai ratunya jenis film ini pada era itu. Pretty Woman (1990), My Best Friend’s Wedding (1997), Runaway Bride (1999), Notting Hill (1999), hingga Valentine’s Day (2010). Berbeda dengan Clooney yang sekali bermain komedi romantis bersama Michelle Pfeiffer dalam One Fine Day (1996).
Untuk itu, film ini rasanya memang tak diragukan dari segi keahlian peran. Walau bukan cinta anak muda, justru itu yang menjadi daya tariknya. Sekaligus sesekali meregangkan pikiran di antara banyak film yang mengajak memeras otak dan memacu adrenalin. Leyeh-leyeh sejenak sambil terkekeh dan bernostalgia indahnya cinta tidak dosa juga.
Bangunan cerita dalam film yang seakan mengajak penontonnya berlibur ini, makna keluarga coba disuntikkan dalam komedi romantis ini. Pesan itu terasa banal mengingat jenis film eskapisme ini cocok bagi yang ingin mencari hiburan tanpa membebani pikiran.