Perhelatan Minikino Film Week 8 (MFW8), festival film pendek internasional di Indonesia, mempersembahkan karya sineas dari 85 negara. Dari Asia Tenggara, beberapa pembuat film membuat karya yang mengkritik diskriminasi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Realitas hidup adakalanya lebih baik diceritakan dengan ringkas agar pesan bisa langsung tersampaikan. Para pembuat film Asia Tenggara melakukan hal itu dalam perhelatan Festival Internasional Film Pendek Minikino tahun ini. Dari beragam cerita yang ada, beberapa menyoroti kisah semangat hidup melawan diskriminasi di masyarakat.
Perayaan Minikino Film Week 8 (MFW8) yang berlangsung di Bali selama 2-10 September 2022 baru saja usai. Festival film pendek berskala internasional ini menjadi saksi persilangan ratusan individu yang bergelut dalam industri film pendek. Tak ketinggalan, banyak cerita menarik terkuak dalam karya yang mereka bawa dari negara asal masing-masing.
Minikino menerima 925 film pendek dari 85 negara. Sebanyak 169 film lolos seleksi nominasi penghargaan dan mendapat kesempatan diputar di beberapa titik lokasi di Bali. Kategori film yang mendominasi adalah fiksi (57,4 persen), diikuti oleh animasi (15,38 persen), dokumenter (14,79 persen), dan eksperimental (12,43 persen). Seperti biasa, tema yang masuk dalam festival film pendek itu sangat beragam.
”Karena semua orang bisa membuat film pendek sehingga ceritanya menjadi bervariasi. Mungkin yang bisa saya bilang adalah semua pembuat film rata-rata membuat cerita personal, cerita yang berangkat dari pengalaman yang ada di kota atau negara mereka sehingga seakan masalah yang ada bisa mempunyai wajah,” kata Fransiska Prihadi atau Cika, Direktur Program MFW8 di Denpasar, Kamis (8/9/2022).
Mungkin yang bisa saya bilang adalah semua pembuat film rata-rata membuat cerita personal, cerita yang berangkat dari pengalaman yang ada di kota atau negara mereka sehingga seakan masalah yang ada bisa mempunyai wajah.
Dari beberapa film pendek yang diputar, terlihat para pembuat film memiliki pemikiran yang mereka ejawantahkan dalam bentuk audio visual gerak. Dari Inggris Raya, misalnya, sutradara Soren Bendt dan Paul Arion mempersembahkan Fieldtrip (2022). Film bergenre fiksi ilmiah ini mengupas relasi manusia, mesin, dan konsekuensinya.
Sutradara Lebanon-Kanada, Dania Bdeir, pun menceritakan tekanan sosial yang membuat seorang laki-laki harus hidup dalam rahasia lewat Warsha (2021). Lalu dari Hong Kong, sutradara To Chun Him dalam Fly (2022) dengan jenaka menunjukkan bentrok anak muda dan geng lantaran sebuah ponsel pintar.
Pesan hangat
Variasi tema juga terjadi pada film-film pendek yang ada di kawasan Asia Tenggara yang tengah geliat bertumbuh. Wravong Phrachanh dari Laos membahas percintaan remaja dalam
Mou Tem (A Friend Request) (2021), sedangkan Jessica Heng dari Singapura dalam Breaking News (2022) mengisahkan kehamilan remaja.
Yang menarik perhatian, beberapa pembuat film mengambil sudut pandang para pejuang hidup yang harus menghadapi beragam diskriminasi. Pesan hangat yang bisa diambil dari film-film adalah agar kita tidak berhenti berharap dan berjuang demi meraih kebahagiaan.
Pesan hangat yang bisa diambil dari film-film adalah agar kita tidak berhenti berharap dan berjuang demi meraih kebahagiaan.
Ambil contoh film dari Tanah Air, Ride to Nowhere (2022) garapan Khozy Rizal yang bertemakan diskriminasi jender yang juga menang dalam MFW National Competition Award 2022. Sutradara asal Makassar ini mengangkat kisah Ade, seorang perempuan yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojek daring.
Hidup Ade tidak mudah. Budaya patriarki membuat banyak orang masih berpikir perempuan tak pantas dan tak layak menggeluti profesi itu. Persepsi bahwa status perempuan di bawah laki-laki sepertinya belum tergerus habis.
Puncaknya, Ade harus mengubah penampilannya. Meskipun pekerjaannya jadi lebih mudah, Ade tak bahagia. ”Semoga cerita Ade bisa sampai kemana saja dan ke siapa saja karena seharusnya semua orang, apa pun jendernya, bisa mendapatkan kesempatan yang sama dan ruang aman untuk bekerja,” ujar Mega Herdiyanti, pemeran Ade.
Dalam Pha Hom (The Blanket) (2021), sutradara Mitpasa Sitthihakpanya asal Laos menceritakan kisah Aiy, bocah berusia tujuh tahun yang tinggal di desa terpencil. Keluarga Aiy miskin. Alhasil, Aiy tidak bersekolah dan harus membantu ibunya mengurusi adik-adiknya. Ayahnya pergi mengais rezeki di kota sebab tidak ada apa-apa di desa itu.
Namun, Aiy rindu. Tidak perlu banyak kata-kata, itu terlihat jelas dari gelagatnya. Mata Aiy selalu mengarah ke arah jalan kosong. Suatu hari, ayah Aiy akhirnya pulang, tetapi tidak dalam keadaan sempurna. Secara tersirat, ini menunjukkan tak ada lapangan kerja bagi pencari kerja disabilitas di kota.
”Ini adalah cerita tentang masyarakat miskin di negara saya. Kami berjuang hidup, tetapi beberapa beruntung dan lainnya tidak. Tetapi bagi Aiy, ayahnya seperti selimut yang hangat,” tutur co-producerThe Blanket, Kongchan Phiennachit alias Dawn.
Selain kedua film ini, beberapa film Asia Tenggara lainnya juga menunjukkan semangat serupa, salah satunya Bagan (Sudden Uncertainty) (2021) oleh Firdaus Balam. Film dari Malaysia ini menunjukkan diskriminasi sosial yang dialami Frankie.
Sebagai seorang bocah miskin penyandang tuna-aksara, bocah ini sering mengalami perundungan dari bocah-bocah kampung lainnya. Frankie bahkan tidak mengetahui tentang penggusuran lahan tempat dia tinggal. Meskipun begitu, dia tidak menyerah bahkan terus belajar baca tulis seorang diri.
Ride to Nowhere, Pha Hom (The Blanket), dan Bagan (Sudden Uncertainty) merupakan nomine dari RWI (Raoul Wallenberg Institute) Asia Pacific Award. Bagan (Sudden Uncertainty) keluar sebagai pemenang.
Berkualitas
Cika menjelaskan, negara-negara Asia Tenggara memproduksi film pendek dengan ciri khas masing-masing. Filipina, misalnya, banyak memproduksi film eksperimental dan politik. Sementara itu, Indonesia, Singapura, dan Thailand memiliki kesamaan dari segi jenis produksi film yang beragam dengan jumlah produksi yang cukup banyak.
”Film pendek itu menarik karena kita bisa jadi mengetahui dan mengenal sesuatu hal yang tidak ada di berita,” ucap Cika.
Juri akhir MFW National Competition Award 2022, Jaime E Manrique, menambahkan, dirinya mendapati para pembuat film di kawasan Asia Tenggara telah mampu membuat film berkualitas tinggi. Menariknya, saat menilai film-film pendek Indonesia, Jaime menyadari kesamaan tema dengan film-film pendek Amerika Latin.
”Kita memiliki terlalu banyak kesamaan. Selain cuaca, kita memiliki masalah dengan kemiskinan, kekerasan, dan bagaimana masyarakat mencari kehidupan yang lebih baik. Itu terefleksikan dalam karya mereka,” kata pendiri Bogotá Short Film Festival atau Bogoshorts di Kolombia ini.
Film pendek itu menarik karena kita bisa jadi mengetahui dan mengenal sesuatu hal yang tidak ada di berita.