Yusman dan Gerbang Literasi yang Rumpang
Suwarno menyebut, gerbang literasi seni dan sejarah lewat patung rumpang. Rumpang dalam artian cuil atau hilang sebagian. Pesan-pesan yang dikandung tidak lagi utuh.
Bongkahan batu hitam besar ditaruh di pelataran sisi utara Galeri Nasional Indonesia. Berurutan makin ke depan, terbentuk proses terjadinya patung-patung pejuang hingga setinggi 9 meter, kemudian ditata menjadi diorama kenangan Panglima Besar Jenderal Soedirman ketika bergerilya dan ditandu.
Pematung Yusman (57) asal Pasaman, Sumatera Barat, yang menetap di Yogyakarta, memamerkan sejumlah replika patung monumen yang pernah dibuatnya. Ada 35 judul patung. Patung-patung besar dipajang di pelataran Galeri Nasional, sedangkan replika yang kecil ada di Gedung B Galeri Nasional.
Pameran bertajuk ”Gerbang”berlangsung 1-30 September 2022. Bersama kurator Suwarno Wisetrotomo, dipilih tajuk ”Gerbang”untuk menyatakan patung adalah gerbang literasi seni dan sejarah. Namun, pameran justru merespons situasi sebaliknya.
Suwarno menyebut, gerbang literasi seni dan sejarah lewat patung rumpang. Rumpang dalam artian cuil atau hilang sebagian. Pesan-pesan yang dikandung tidak lagi utuh. Bagi generasi tertentu mungkin saja pesan dan makna itu hilang.
Kemudian, patung-patung yang kehilangan pesan dan makna tak ubahnya seonggok batu sekadar penanda tempat. Suwarno memiliki contoh-contohnya di Jakarta.
”Dulu, sewaktu saya masih SMA, di buku sejarah bahkan disebutkan istilah Patung Pancoran yang semestinya itu Monumen Dirgantara. Ini contoh literasi seni patung dan sejarah yang rumpang, yang hilang, lalu menjadi sebatas penanda lokasi,” ujar Suwarno, Jumat (9/9/2022), ketika dihubungi di Yogyakarta.
Di sekitar Monumen Nasional atau Monas ada Monumen Arjuna Wijaya. Namun, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Patung Kuda. Di situ sosok Arjuna dengan kusir Kresna mengendarai kereta kuda tatkala perang Bharatayuda. Namun, literasi ini kian tersederhanakan dan hanya dikenalkan sebagai Patung Kuda.
Ada lagi Monumen Pahlawan yang sebutannya berubah menjadi Tugu Tani. Ini ada di dekat Stasiun Gambir. Patungnya berupa sosok pejuang bersenjata yang bercaping seperti petani dan di sampingnya ada seorang ibu berkebaya seperti ibu-ibu di desa.
”Ini membuktikan ada yang rumpang dalam pemahaman seni rupa patung kita,” ujar Suwarno seraya menyebut setiap patung monumen di ruang publik sebagai artefak yang selalu menyimpan narasi.
Generasi pematung
Suwarno menyebut Yusman sebagai generasi pematung monumen ketiga di era kemerdekaan RI. Seni rupa patung kita dimulai dari Presiden Soekarno yang menginisiasi Monumen Nasional, Monumen Selamat Datang, Monumen Dirgantara, dan Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta. Sebagian besar patung-patung monumen di era itu dikerjakan pematung generasi pertama, Edhi Sunarso.
Patung relief juga dikerjakan di masa Soekarno. Suwarno menyebut, relief di Hotel Indonesia Kempinski, Hotel Pelabuhan Ratu Beach, Hotel Royal Ambarrukmo, dan Hotel Grand Inna Bali Beach dikerjakan pematung Harijadi Sumodidjojo bersama seniman Sanggar Selobinangun Yogyakarta.
Monumen Banteng Ketaton di halaman Kompleks GOR Willis Kota Madiun dikerjakan perempuan pematung satu-satunya, Tridjoto Abdullah. Patung Jenderal Soedirman dikerjakan oleh Hendra Gunawan sampai kini berada di halaman Gedung DPRD DIY di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Pematung generasi pertama lainnya meliputi Gregorius Sidharta Soegijo, Rita Widagdo, dan Saptoto. Generasi kedua pematung monumen adalah Sunaryo, I Nyoman Nuarta, Kasman Piliang, Dolorosa Sinaga, dan Teguh Ostenrik. Kemudian Yusman, Dunadi, dan Purjito sebagai mahasiswa seni patung seangkatan memasuki generasi pematung ketiga.
Pematung Yusman pada awalnya berpijak pada narasi Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ini dijadikan bahan riset untuk penulisan skripsinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta hingga lulus jenjang S-1 pada 1994.
”Untuk skripsi saya meriset patung Jenderal Soedirman yang ada di Bintaran, Yogyakarta, dan yang ada di Universitas Soedirman di Purwokerto,” ujar Yusman, yang menyimpulkan ada sisi kesalahan proporsi kuda tunggangan Jenderal Soedirman.
Patung kuda yang ditunggangi Soedirman, baik di Bintaran maupun di Universitas Soedirman, terlalu kecil. Ini mengingat jenis kuda itu keturunan dari jenis kuda Pakistan yang tubuhnya berpostur besar.
Yusman di kemudian hari hingga sekarang banyak membuat patung-patung monumen kebangsaan lainnya. Pertama kali setelah lulus studi di ISI Yogyakarta, ia mengerjakan Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat di Ujung Pandang (Makassar) pada 1995.
Hingga saat ini sedikitnya ada 60 patung monumen yang dibuat Yusman. Banyak di antaranya atas pesanan institusi TNI. Replika patung dalam skala yang lebih kecil ditampilkan di dalam pameran ”Gerbang” ini, di antaranya meliputi Jenderal Soedirman Naik Gunung (2014), Trikora (2010), Siliwangi (1996), Pahlawan Jambi (2009), dan Raja Banten (1997).
Ada pula individu TNI memesan patung monumen, di antaranya patung Kopassus Sutiyoso (2016) dan Paskhas (2011). Patung Presiden Soekarno dengan gestur tangan menunjuk ditempatkan di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara, Entikong. Berikutnya, ada tujuh patung monumen Presiden Soekarno karya Yusman yang ditempatkan di ruang publik Nusa Tenggara Timur.
”Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang ditandu di pelataran depan Galeri Nasional itu maket patung monumen di Markas Besar TNI, Cilangkap,” kata Suwarno.
Semangat Soedirman
Yusman mengedepankan sosok Soedirman karena melihat semangat Soedirman sebagai narasi penting. Meski dalam kekalahan raga atau sakit-sakitan, Soedirman tetap memiliki semangat tidak mau menyerah. ”Semangat tidak mau menyerah inilah yang ingin saya sampaikan hari ini melalui patung-patung Soedirman,” ujarnya.
Yusman kemudian mengisahkan peristiwa pada 1949 saat Soedirman datang ke Istana Negara di Yogyakarta. Ketika itu Soedirman diminta menemui Presiden Soekarno. Soedirman pada prinsipnya tidak mau mengikuti jejak Soekarno yang menghendaki diplomasi dengan Pemerintah Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.
Sang Jenderal kemudian meninggalkan istana tersebut sekitar pukul 11.00. Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 14.00, Soekarno beserta pejabat lainnya ditangkap dan diasingkan Belanda. Soedirman melanjutkan perang gerilya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya
Yusman di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat membuat relief masa hidup Soedirman yang terlahir di Purbalingga, 24 Januari 1916, hingga wafat di Magelang, Jateng, 29 Januari 1950. Relief itu sepanjang 368 meter dengan tinggi mencapai 2 meter.
Di dalam pameran ”Gerbang” kali ini, Yusman juga menampilkan patung-patung abstrak yang membicarakan tentang dirinya, seperti patung abstrak dengan lubang di bagian tengah untuk menggambarkan pengalaman batin di awal meniti karier sebagai seniman pematung. Lubang itu mengisyaratkan dirinya harus membuang sebagian beban hidup yang memenuhi pikirannya.
Melalui pameran ini, kurator Suwarno melihat fenomena tunasejarah atau buta terhadap sejarah sebagai keadaan yang menghinggapi generasi sekarang. Pameran patung Yusman boleh dianggap sebagai gerbang atau pintu masuk untuk menengok kembali sejarah.
”Generasi kita sekarang tidak memiliki kesadaran sejarah yang bagus. Hal itu karena ada yang menciptakan ’hantu-hantu’ yang menimbulkan fobia terhadap narasi masa lalu,” ujar Suwarno, yang menyebutkan, Soedirman dalam kesimpulan pendeknya berhasil menyumbangkan keteladanan bagi generasi penerus bangsa ini.
Hantu-hantu yang dimaksud Suwarno, antara lain, mengacu pada doktrinasi kebenaran tunggal. Peristiwa sejarah sebenarnya bisa berubah sesuatu fakta baru.
Di samping itu, dalam hal-hal tertentu, tindakan dan kata-kata Soedirman sebetulnya masih dikenang dan dijadikan pegangan, terutama bagi institusi TNI. Soedirman telah memberi keteladanan tanpa tepi.