Walaupun setengah lockdown, Art Jakarta tahun ini sangat sukses. Kata kuncinya adalah tekad dan gotong royong, sesuatu yang mungkin hanya ada di Indonesia.
Oleh
CARLA BIANPOEN
·4 menit baca
Art Jakarta yang berlangsung pada 26-28 Agustus lalu terselenggara dengan sukses luar biasa. Kok bisa, ya, tanya teman luar negeri yang juga pengamat event-event seni rupa di Asia Tenggara, di mana perhelatan art fair mengalami stagnasi akibat segala hambatan pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Kebanyakan ekosistem terpukul berat, rasa chaos dan ketidakpastian mendominasi menurunkan level energi yang tak terbayangkan.
Walaupun setengah lockdown, Art Jakarta tahun ini sangat sukses. Kata kuncinya adalah tekad dan gotong royong, sesuatu yang mungkin hanya ada di Indonesia. Art Fair Director Art Jakarta 2022 Tom Tandio menegaskan bahwa semua orang dapat merasakan bagaimana komunitas di Indonesia selalu kerja sama demi memajukan seni rupa. Sebagai contoh: kolektor berpengalaman membantu kolektor baru untuk memperoleh karya, ini sesuatu yang jarang terjadi di luar.
Biasanya kolektor kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Semua pihak seolah ikut bertanggung jawab untuk kebaikan ekosistem seni rupa.
Pengamat seni Patricia Chen merasa kagum bagaimana teman kolektor dibantu kolektor lain dan membagi tugas untuk melayani (take care of) dan meng-entertain. Para kolektor juga mempersilakan kolektor tamu datang ke rumah mereka dan menceritakan mengenai koleksi mereka. ”Berkat Art Jakarta kami dapat melihat koleksi karya yang tak terlupakan di ruang office ataupun di rumah pribadi,” kata salah satu dari mereka.
Jadi, keadaan tak menghambat. Keramahan dan saling membantu merupakan sesuatu yang mungkin hanya ada di Indonesia.
Tom Tandio menegaskan bahwa semua orang dapat merasakan bagaimana komunitas di Indonesia selalu bekerja sama demi memajukan seni rupa. Ketika keadaan semakin sulit akibat Covid-19 yang berkepanjangan, tampak antarsemua stakeholders saling sokong. Ternyata prinsip leluhur yang berhasil mengangkat perhelatan art fair dalam Art Jakarta.
Cikal bakal
Art fair yang cikal bakalnya mulai sebagai ”Kunstmesse” di Art Cologne 2005 selama ini lebih kurang memakai model yang sudah terpatok di seluruh dunia.
Dekade 1990 menandai bermulanya penyebaran perhelatan seni rupa sebagai jawaban terhadap perkembangan ekonomi dan selera publik terhadap karya seni. Muncullah Nippon International Contemporary Art Fair (NICAF), Tresor’s d’Art Singapore 1993, Shanghai Art Fair 1997, dan berujung ke model art fair berikutnya, seperti Art Singapore 2000, Korean International Art Fair (KIAF) 2001, Art in Caso/Osaka 2003, China International Gallery Exposition (CIGE), Art Tokyo 2005, Art Beijing2006, Art Basel in Hong Kong 2013, kemudian Art Stage 2011. Setiap art fair itu tentu memiliki ciri masing- masing, tetapi intinya mengikuti yang sudah dipatok model Barat.
Istilah art fair di Indonesia baru masuk pada tahun 2000-an ketika eksplosi boom terjadi walaupun secara tidak resmi praxis jual-menjual sudah terjadi. Namun, ArtJog 2008, misalnya, merupakan perhelatan seni yang mementingkan seniman ketimbang galeri sehingga mendapat julukan the artists’ fair.
Tentu kita masih ingat Art Bazaar, perhelatan seni rupa yang serupa dengan art fair dan diprakarsai majalah Harper’s Bazaar. Setelah 10 tahun beroperasi sebagai Bazaar Art Jakarta, pada tahun 2019 menjadi Art Jakarta yang dipimpin kolektor ”muda” Tom Tandio dan kawan-kawannya secara profesional dan memiliki visi segar .
Apakah Art Jakarta suatu contoh model peradaban seni rupa terkini?
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, merupakan pukulan berat bagi ekosistem seni rupa, semula chaos dan ketidakpastian membuat dunia seni rupa seakan kurang berdaya.
Namun, Art Jakarta tidak putus asa, malah pada April 2022 menghadirkan gagasan baru yang membangkitkan harapan baru dengan Art Jakarta Gardens di Hutan Kota by Plataran. Bentuk dan format yang secara inovatif disesuaikan dengan keadaan Covid-19 dan terbatasnya dana (hanya 20 galeri). Namun, Art Jakarta Gardens bagaikan suntikan energi yang dahsyat. Menyediakan suatu platform pertemuan, tidak hanya untuk para peminat seni, tetapi juga untuk publik yang menjadikannya suatu titik temu kangen di udara terbuka, Art Jakarta Gardens menghidupkan semangat segar. Karya-karya pun laku sehingga ada galeri yang harus menggantung karya baru setelah karya-karya di booth habis terjual.
Sukses besar terulang pada perhelatan Art Jakarta yang diadakan di JCC pada 26-28 Agustus. Dengan hanya 62 galeri (23 Indonesia dan 39 luar negeri), perhelatan bersifat intimate tapi berskala internasional menarik lebih dari 32.000 pengunjung untuk menikmati 1.600 karya seni yang dibuat oleh 500 perupa. dari 10 negara Asia.
Teman-teman dan pengamat luar negeri bingung. Kok bisa ya? bagaimana art fair tersebut dapat meraih sukses yang demikian di tengah situasi setengah lockdown? Tak kurang dari 150 pencinta seni dari luar negeri ternyata tidak peduli situasi setengah lockdown dan berhasil mendarat dengan sukacita di Art Jakarta.
Editor publikasi ternama Plural Art Mag menilai pencapaian sebagai crescendo. Pun Patricia Chen, penulis, kritikus seni, dan film maker mengapresiasi, ”The way Indonesians embraced the gotong royong spirit was impressive, Indonesians turn up for one another,” katanya seraya mengapresiasi saling membantu di antara semua segmen seni rupa. Ia menambahkan, ia belum pernah mengalami hal serupa di tempat lain.
Apakah prinsip gotong royong dapat menjadi model untuk proses art fair masa depan? Semoga dapat diteliti dan telusuri lebih lanjut.