Akting Megan Fox terbilang ciamik tanpa jerit memekakkan atau brutal berlebihan layaknya film ”thriller”, Ia mengungkap pesona lain untuk menyanggah kelaziman penonton berduyun-duyun yang hanya mengamati tubuh aduhainya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Megan Fox yang sudah kondang memikat penggila layar lebar dengan kemolekan paras dan posturnya, menebar pesona lain dalam Till Death. Film menegangkan atau thriller tersebut memanggungkan tekad suami untuk sehidup semati dengan istrinya, tetapi dengan kegilaan yang enigmatik.
Emma Davenport (Fox) menyetir mobil dengan wajah kuyu. Setibanya di apartemen, ia menatap panorama yang begitu indah. Perempuan berbusana mentereng itu tengah bersama selingkuhannya, Tom Gorman (Aml Ameen), yang tengah merayu untuk tetap bersama dan bercumbu.
Emma menampik bujukan Tom, bahkan mengakhiri hubungannya. Ia sudah bersuamikan Mark Webster (Eoin Macken), pengacara pesakitan kriminal yang begitu mencintainya. ”Hubungan kita tak akan langgeng,” ujarnya seraya mengambil mantel dan bergegas.
Di kantor Mark yang megah, Emma mendapati berkas dari Kepolisian New York, Amerika Serikat, mengenai percobaan pembunuhan. Ia termenung mengamati dokumen yang menguak luka lamanya itu. Lebih kurang sepuluh tahun silam, Bobby Ray (Callan Mulvey) memuaskan nafsu kejinya, tetapi berhasil dibekuk.
Mark dan Emma bersantap untuk merayakan ulang tahun pernikahannya di restoran lalu menuju vila di tepi danau. Mereka menghabiskan malam yang penuh taburan bunga, temaram lilin, musik mendayu, dan foto-foto saat keduanya mengikat janji.
Keesokan paginya, Emma yang kedinginan terjaga dengan kepala pengar. Ia sungguh terkejut lantaran lengan yang sudah terborgol dengan suaminya. Seusai meminta maaf seiring keromantisan yang ternyata semu, Mark bunuh diri dengan menembak kepalanya.
Emma dihadapkan dengan pusaran misteri mahligai rumah tangga, kekacauan di kantor, hingga pembunuh berdarah dingin yang mengincar perhiasan mewahnya. Tak dinyana, Mark telah menyiapkan jebakan-jebakan demi melampiaskan kesumat atas istrinya yang serong.
Psikopati akut
Plot selanjutnya memperagakan permainan tikus dan kucing yang beradu kecerdikan. Emma harus menyelamatkan diri dari ancaman-ancaman yang ditebarkan Mark lewat perekam suara, brankas, dan kalung bertakhtakan berlian. Lambat laun, teka-teki terkuak.
Penyintasan lantas menjadi balas dendam terbaik di sela bunuh-bunuhan. Mark berhasrat sehidup semati dengan Emma, tetapi dengan psikopati yang akut. Jauh dari peradaban, ia harus menahan dinginnya hamparan salju sejauh mata memandang yang dikelilingi danau, hutan, dan perbukitan.
Tempo yang awalnya mengalir lamban berangsur-angsur melaju hingga tak menyisakan jeda untuk mengalihkan perhatian dari layar. Hanya menampilkan lima pemeran dan segelintir figuran, popularitas Fox jelas paling diandalkan untuk mendulang penonton.
Lepas dari kelincahan cewek jagoan dalam film aksi, antara lain Teenage Mutant Ninja Turtles (2014), Rogue (2020), dan Transformers (2007) yang melambungkan namanya, Fox mampu menyelami karakter Emma. Ia menjelmakan potret kegetiran jetset dengan wajah murung di antara harta yang berlimpah.
Gurat kesenduan terukir jelas pada raut wajah Emma di sela dominasi Mark. Meski mesti diakui pamor pemeran-pemeran lain kurang berkilau, Fox juga piawai mengekspresikan drama insan yang terimpit patriarki dalam debut SK Dale menyutradarai layar lebarnya itu.
Di menara gading yang tak menjamin kebahagaiaan, akting Fox terbilang ciamik. Tak perlu jeritan yang memekakkan kuping atau brutal berlebihan layaknya film segenre, rentetan fragmen menegangkan bisa dinikmati dengan mulus meski Till Death tetap berkategori dewasa.
Dibandingkan invasifnya lakon-lakon slasher atau pembantaian macam Saw, House of Wax, dan Scream, runutan Till Death lebih logis yang dipentaskan lewat relasi rindu dendam dua sejoli. Dale tak menyodorkan kejutan lain, tetapi jika sekadar hiburan, film itu bolehlah ditonton.
Ia tak berpanjang-panjang pula soal rentang waktu sehingga alur Till Death demikian kompak walau linear dan tergolong ringan. Fox pun mengekspos magnet berbeda untuk menyanggah kelaziman penonton berduyun-duyun menuju bioskop demi sekadar menyaksikan kesintalannya yang aduhai.
Fox yang sempat digoyang hubungan pasang surut dengan beberapa sineas Hollywood sudah siap untuk kembali memukau penggemarnya. ”Sejak awal,Till Death memang membuat bertanya-tanya. Penonton enggak bisa memastikan apa yang terjadi dengan Mark dan Emma,” ujarnya.
Perubahan kreatif
Performa itu menandai kembalinya Fox setelah tayangan horor dengan irisan kesadisan serupa, Jennifer’s Body, dirilis lebih dari satu dasawarsa lalu. ”Filmnya ikonik. Aku suka. Kuanggap karya seni. Pastinya, permainanku enggak buruk,” ujarnya sambil tertawa.
Sesuai artikel berjudul ”The Megan Fox Renaissance Is Here. It’s Long Overdue” yang dimuat situs The Washington Post pada 2 Juli 2021, beberapa tahun belakangan, ia memang membatasi untuk mengambil tawaran dengan mengandalkan instingnya.
Fox percaya bakal mengalami renaisans atau perubahan besar kreatif saat usianya berkepala tiga. Ia mengimplementasikan metamorfosis itu dengan sejumlah film nonlaga semisal Big Gold Brick, Taurus, dan Good Mourning yang berani diambil meski dibayangi risiko tak terdengar gaungnya.
”Aku selalu memilih berdasarkan perasaan. Kadang, pakai naluri soal lokasi shooting yang bisa memengaruhiku,” ujar Fox. Basisnya, aktris kelahiran 1986 tersebut menggandrungi astrologi. Setelah terbangun, ia memulai harinya dengan membaca horoskop.
Sementara, Dale sudah menyiapkan boneka pengganti jenazah Mark yang terbelenggu dengan Emma, tetapi ternyata tak sesuai harapan. ”Kelihatan waktu digeser-geser enggak realistis sama sekali. Akhirnya, pakai pemain pengganti. Sial buat Fox yang harus menyeret pemeran sungguhan,” ujarnya seraya tergelak.
Berdasarkan wawancara dengan Dale yang dimuat situs Stack pada 2 Agustus 2021, Fox bekerja sedikit lebih keras dengan mendekap aktor tersebut. ”Pemainnya juga harus mondar-mandir ditarik dengan setengah telanjang. Aku enggak benar-benar mikir menarik mayat itu sampai shooting dimulai,” ujarnya.
Dale terpana saat pemeran tersebut serius beradegan hingga terjatuh dan terguling-guling di tangga sembari menahan nyeri. ”Badannya enggak boleh kaku karena harus pura-pura mati sampai tergeletak di lantai dasar. Enggak tahu bagaimana caranya, tetapi berhasil,” ujarnya.