Audiens ”Under the Volcano” tenggelam dalam interpretasinya masing-masing. Personifikasi, hiperbola, alegori, atau metafora dengan bebas berputar dalam benak. Ibarat lukisan abstrak, setiap penonton bebas menafsirkannya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pementasan teater bertajuk Under the Volcano oleh Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (26/8/2022). Dalam pertunjukan tersebut, sutradara Yusril Katil mengangkat tema bencana alam yang terinspirasi dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
Pertunjukan Under the Volcano tak banyak mengumbar verbalisasi, tetapi audiensnya justru dibebaskan dari belenggu dialog yang infleksibel. Penonton diperkenalkan dengan syair masa lampau sarat kemanusiaan yang tetap aktual dan kaya nilai sejarah.
Kehidupan semula berlangsung damai. Pasar diramaikan teriakan penjual yang menawarkan dagangannya, ibu renta membawa piring, perempuan muda melintas dengan payung, dan sejumlah pria lincah menari-nari. Gunung Krakatau yang melatari keharmonisan warga tampak tenang.
Bencana lantas datang tanpa disangka. Bumi gonjang-ganjing dengan gelegar yang mendirikan bulu kuduk, gelombang tinggi berarak, dan langit memerah. Selama tiga hari, kengerian kian mencekam. Lantas, tibalah petaka dahsyat yang membinasakan penduduk.
Permukiman diguncang gempa yang disusul erupsi dan tsunami. Manusia-manusia malang terseret ke laut dan mereka yang masih hidup pontang-panting menyelamatkan diri. Mayat-mayat bergelimpangan di antara tubuh sekarat. Krakatau dengan lavanya luruh menjadi pulau belerang.
Lepas dari maut tak serta-merta menyelesaikan persoalan. Sejenak menghela napas lega setelah erupsi mereda, masyarakat dihadapkan dengan krisis pangan, hunian, hingga pakaian. Depresi dan kemiskinan pun merajalela, tetapi hidup terus berjalan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pementasan teater bertajuk Under the Volcano oleh Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (26/8/2022). Dalam pertunjukan tersebut sutradara Yusril Katil mengangkat tema bencana alam yang terinspirasi dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
Perlahan-lahan, mereka memperbaiki kediamannya. Desa-desa kembali dibangun dengan gotong royong. Berkat tepa selira, kesibukan warga kembali normal. Repetisi berabad-abad yang senantiasa mengayomi Indonesia untuk terus menyintasi perubahan lingkungan.
Alur selama lebih kurang 80 menit itu lantas tak banyak mengantarkan pesan yang tersurat. Sekelumit kalimat yang sebentar-sebentar ditayangkan di layar samping bukan berarti menggamblangkan polah pemainnya. Mereka terus berputar, mengerang, atau melompat tanpa kata-kata.
Penafsiran sendiri
Tak bisa dimungkiri, penonton harus menerjemahkan Under the Volcano dengan penafsirannya sendiri di sela koreografi yang artistik. Tangga-tangga, misalnya, disusun bersandar pada layar merangkai komposisi yang apik. Para penampil menyusun dialektikanya dalam senyap.
Tangga memang menjadi elemen penting dalam Under the Volcano. Beberapa pemain juga berakrobat yang mendirikan menara dari tumpuan kayu tersebut lalu memanjatnya. Sekali waktu, mereka melangkah di atas dua tangga bagai menaiki egrang.
Audiens tak pelak tenggelam dalam interpretasinya masing-masing. Personifikasi, hiperbola, alegori, atau metafora dengan bebas berputar-putar dalam benak. Ibarat lukisan abstrak, setiap penonton bebas untuk menikmati garis, warna, atau teksturnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pementasan teater bertajuk Under the Volcano oleh Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (26/8/2022). Dalam pertunjukan tersebut sutradara Yusril Katil mengangkat tema bencana alam yang terinspirasi dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
Terlebih, aktor dan aktris Under the Volcano melafalkan bahasa Melayu dan Minangkabau (Minang). Berpegang pada pamenan yang berarti kecintaan atau, jika diartikan secara bebas, permainan, jelaslah mereka hendak menyuguhkan atraksi tiga indra, baik tunggal maupun jamak.
Visual, bebunyian, dan kata-kata disajikan bergantian atau terintegrasi. Jika tak bisa menelaah fonetik, penonton bisa menyimak musiknya. Demikian pula saat warna-warni dianggap kurang mengena, gestur dan mimik wajah pemain dapat diamati.
Membongkar rigiditas
Sutradara Under the Volcano, Yusril Katil, sengaja membongkar rigiditas tubuh. Badaniah individu sebenarnya kerap terseret dalam ranah sosial secara tak sadar yang dimulai saat anak diwanti-wanti duduk dengan kaku di kelas. Maka, jasmani sepatutnya dibebaskan dengan terus bergerak.
Peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga selaras pula dengan pepatah tak kayu jejang dikeping, tak emas bungkal diasah. Tangga mewujud simbol jenjang kekuasaan sekaligus musibah dengan korupsi dana kemanusiaan yang berkali-kali terjadi.
Tak sedikit pula warga yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan menerima bantuan sosial meski hidupnya mapan. Tanpa ekspresi naratif dan konkret, para penampil dengan luwes juga merakit monumen, jembatan, keranda, hingga jalan dari tangga.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pementasan teater bertajuk Under the Volcano oleh Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (26/8/2022). Dalam pertunjukan tersebut sutradara Yusril Katil mengangkat tema bencana alam yang terinspirasi dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
Plot yang terdiri atas enam babak tersebut dimeriahkan musik dan tarian kontemporer berbasiskan tradisionalisme Melayu yang merefleksikan masa lalu. Para pemain mengenakan baju putih dan celana gelembong yang biasa digunakan untuk silat.
Pakaian mereka juga memampangkan pengaruh randai atau teater tradisional Minangkabau dengan modifikasi yang modern. Mantra-mantra yang sesekali dirapal sulit dipahami, tetapi auranya begitu kuat melingkupi penonton, mungkin juga terasa sedikit mistis.
Teater tersebut didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, Bumi Purnati Indonesia, dan Ciputra Artpreneur. Kolaborasi Bumi Purnati Indonesia dengan Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat itu digelar di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Sabtu (27/8/2022) pada pukul 16.00 dan 20.00.
Teater itu dikomposeri Elizar Koto dengan dramaturgi dikreasikan Rhoda Grauer. Jajang C Noer termasuk 13 pemain yang memeriahkan Under the Volcano. Aktris senior tersebut dipilih karena asam garamnya melakoni peran-peran teater dan film.
Adegan yang diisi Jajang tergolong sedikit, tetapi peranannya sangat penting untuk menyambung dimensi sebelum dan sesudah bencana. Ia menjembatani generasinya dengan kehidupan yang baru sehingga lompatan ruang dan waktu bisa berlangsung mulus.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pementasan teater bertajuk Under the Volcano oleh Komunitas Seni Hitam Putih Sumatera Barat di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (26/8/2022). Dalam pertunjukan tersebut sutradara Yusril Katil mengangkat tema bencana alam yang terinspirasi dari Syair Lampung Karam karta Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
Lampung karam
Kesedihan Yusril dilanda gempa saat tinggal di Sumatera Barat melatarbelakangi kemantapannya mengarahkan Under the Volcano. ”Kebetulan, saya tinggal di antara Gunung Marapi dan Singgalang. Waktu itu, banyak rumah hancur. Ibu masuk rumah sakit dan nenek meninggal. Saya tinggal di tenda,” ucapnya.
Pementasan itu mengangkat tema bencana alam dengan terinspirasi Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh pada 1883. Komunitas Seni Hitam Putih yang berasal dari Padang Panjang lantas memandang penggambaran Saleh sangat relevan dengan kampung halaman mereka.
Nuansa Minangkabau yang dinamis dan melankolis diangkat dengan makna humanisme. Erupsi dahsyat di Selat Sunda itu menjejakkan pelajaran berharga bagi setiap individu yang tak akan lepas dari uluran tangan sesamanya untuk menyelamatkan diri.
Kedahsyatan erupsi itu dijelaskan dalam buku 100 Tahun Meletusnya Krakatau yang ditulis Abdul Hakim dan diterbitkan Pustaka Antar Kota tahun 1981. Jumlah korban tewas mencapai 36.417 orang. Anyer luluh lantak. Sebagian Pelabuhan Merak pun hancur. Tinggi gelombang akibat tsunami mencapai 30 meter.
Tentunya, Syahril mengusung kearifan mengenai fenomena alam tersebut sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang berlokasi di cincin api atau ring of fire. ”Kenapa bahasa Minang? Ekspresinya lebih kena. Saya enggak mau pemain ngomong Indonesia, tetapi logatnya malah Minang,” ucapnya.