Reuni Mengukuhkan Eksistensi Galeri
Pandemi membuat pengelola galeri harus beradaptasi dengan menyelenggarakan pameran secara daring. Toh, di tengah era digital sekalipun, eksistensi galeri masih dinilai penting sebagai jembatan utama seniman dan kolektor.
Art Jakarta 2022 kembali mempersatukan seniman, galeri, dan masyarakat pecinta seni. Lewat relasi yang intim ketiga elemen ini mereproduksi karya seni sebagai simbol gaya hidup. Di sini, galeri tak hanya mengukuhkan perannya sebagai agen untuk menggapai pasar, tetapi juga mencuatkan humanisme lewat hubungan yang hangat antarpraktisi seni yang sempat terhalang pandemi.
Andonowati menyambut pengunjung dengan semringah di ruang galerinya. Mereka bukan kolega, melainkan juga konco-konco karibnya sejak lama. Di sela keriuhan Art Jakarta, Jumat (26/8/2022), Direktur ArtSociates itu memang sudah sangat lama tak bersua dengan kawan-kawannya.
Ia tertawa renyah sembari menjelaskan lukisan-lukisan senimannya. Seorang artis ternama tampak ikut menyempatkan singgah ke stan yang memajang sekitar 25 karya seni tersebut. Ia mengamati beberapa lukisan dan Andonowati bercerita tentang harganya.
Karya-karya yang terdiri atas grafis dan nongrafis itu dijual dengan harga mulai sekitar Rp 5 juta hingga tertinggi Rp 333 juta. Seiring tamu-tamu VIP yang datang silih berganti, Andonowati tak henti-hentinya hilir mudik. Hingga petang pada hari pertama tersebut, pengunjung kian ramai.
Para staf ArtSociates dengan sigap melayani mereka sehingga Andonowati bisa mengaso. Ia terlihat mengunyah pisang goreng dengan santai. ”Sudah lima karya yang deal (terjual). Sekitar lima karya lagi termasuk cadangan (dicatat), mau dilihat lagi, atau masih negosiasi,” ujarnya dengan wajah berseri-seri.
Andonowati cukup puas dengan perolehan hingga sekitar pukul 19.00 itu, sementara tamu masih saja berasak. Ia gembira dengan ramainya ekshibisi tersebut. ”Bagus karena banyak orang yang sudah haus event (pameran) yang tentunya fisik,” katanya.
Lebih jauh, ia memaknai antusiasme pengumpul dengan eksistensi galeri yang tetap digandrungi meski pandemi masih menggayuti dan begitu gencarnya pemasaran secara berani. Sejak pandemi, pameran virtual sempat digalakkan, termasuk Art Jakarta hingga akhirnya bisa digelar secara luring pada tahun ini.
Penjualan
”Galeri prospeknya tetap bagus. Waktu kami bikin Bandung Contemporary Art Awards, 12 Agustus lalu, misalnya, pengunjung yang datang lebih dari 500 orang,” katanya. Ia juga mengikuti Art Jakarta Gardens pada April 2022 dengan pengunjung yang membeludak.
”Penjualan bagus. Galeri senang. Bukti kalau animo masyarakat balik lagi ke peragaan seni secara fisik, termasuk galeri, besar sekali,” ucapnya. Andonowati menyebutkan gairah yang sama antara lain di Bandung, Yogyakarta, hingga Bali dengan pameran yang bisa diselenggarakan hampir setiap pekan.
ArtSociates juga sudah berkali-kali bekerja sama secara luring dengan galeri lain hingga ikut serta dalam pameran di Venesia, Italia, yang dibuka pada Juli 2022. ”Dinamikanya, normal. Platform digital dan fisik yang akhirnya membuat ekuilirium,” katanya.
Optimisme Andonowati yang kasatmata sebagai kegembiraan diekspresikan dengan merayakan lagi manisnya persahabatan. ”Lebih dari pameran karya karena atmosfer perjumpaan dengan teman-teman. Kayak reuni akbar,” katanya sambil terbahak.
Hal serupa terlihat juga pada raut wajah Oei Hong Djien yang cerah. Ia seolah menuntaskan rindu bersama kawan-kawannya. Sebentar-sebentar, pengumpul karya seni dan pemilik Museum OHD itu juga diikuti oleh banyak pengunjung lain menyapanya.
”Sudah lama pengin menikmati suasana yang bikin kangen begini. Kalau pamerannya online (daring), chemistry (hubungan) kurang terasa,” ujarnya sambil tersenyum. Art Jakarta juga dinikmati untuk rekreasi yang menganyam jiwa antarseniman.
Sikap positif Oei sekaligus memancarkan pula asanya soal galeri yang tak lekang ditelan waktu. Pemasaran secara berani memang membantu seniman saat pandemi. ”Semua tak bisa menafikan online, tetapi galeri akan terus hidup. Sekarang, dua-duanya jalan, bahkan galeri jadi manfaatkan online,” katanya.
Museum OHD yang sempat tutup pun kunjungannya sudah kembali normal. Pameran digelar bahkan jumlah pengunjung sudah setara dengan kapasitas bangunan itu atau sekitar 300 orang. ”Mereka pengin datang. Berinteraksi, tetapi protokol kesehatan tetap diterapkan,” katanya.
Ia lalu mengobrol dengan teman-teman yang sekonyong-konyong menegurnya. Seloroh Oei dengan mengenali kawannya meski terhalang masker disambut gelak mereka yang berderai-derai. ”Di mana-mana (pertemuan) begitu, seperti reuni. Imun naik bikin tambah sehat melebihi obat,” ujarnya sambil terbahak.
Selalu krusial
Pemilik Art:1 New Museum, Martha Gunawan, mengatakan, pandemi membuat galeri harus beradaptasi dengan membuat pameran secara berani. Bahkan, seniman bisa mencari pasar sendiri dengan memanfaatkan platform digital. Namun, melihat pola pasar, ia yakin galeri selalu krusial, terutama setelah pameran memikat kembali ramai.
”Ada kelompok kolektor atau pembeli yang tetap butuh interaksi langsung dengan karya. Mereka ingin memiliki seniman dan galeri untuk mengukuhkan keyakinan bahwa karya yang dipilih yang terbaik,” tuturnya.
Martha melihat pasar terbagi dua. Seniman yang fokus pemasaran secara berani biasanya mendapatkan kolektor muda. Kolektor ini sudah melek digital sehingga mudah mendapatkan gambaran tentang karya yang dilihat dari layar dan piawai melakukan riset untuk menemukan konsep dari karya. Meski begitu, tak ada jaminan proses kurasi karena seniman langsung memasarkan buku.
”Di platform online banyak seniman bagus secara teknis, tapi harus diingat ada pembeli yang ingin memahami karya atau hal-hal lain yang seniman juga harus intelek,” tuturnya.
Sementara itu, galeri menyasar kolektor yang membutuhkan interaksi langsung dengan karya sekaligus seniman. Kolektor ini umumnya kolektor senior yang ingin berinvestasi secara serius, baik dari nilai maupun harga. Karena itu, mereka menginginkan seleksi yang pakem, yakni lewat kurasi para kurator sehingga kualitas karya sudah tepercaya.
”Eksistensi galeri akan selalu ada sepanjang galeri mewakili seniman yang baik dan bagus. Galeri masih dibutuhkan,” ujar Martha yang mendirikan Art:1 New Museum sejak 1983.
Galeri juga membantu memberikan jejak-jejak lewat pameran yang penting ketika ingin membuat ekshibisi. Art:1 New Museum saat ini sedang menggenggam 10 seniman secara eksklusif dan biasa berkolaborasi dengan lebih dari 100 seniman dalam setahun.
Pelaku primer
Direktur Semarang Gallery Dennis Levy mengatakan, kewajiban dan eksistensi galeri masih penting sebagai jembatan utama seniman dan kolektor di era digital. ”Seniman butuh ruang memamerkan seninya. Mereka juga butuh kurasi galeri,” katanya.
Dennis tak masalah dengan platform digital. ”Kalau serius, mereka bakal ke galeri. Platform digital bisa jadi pintu perkenalan untuk serius di dunia seni,” ujarnya.
Berbeda dengan galeri lain, Galeri Semarang tak memiliki kontrak eksklusif dengan seniman. Perjanjian yang dilakukan bersifat gentlemen’s agreement. Saat karya disukai, seniman diajak berpameran.
Bila kunjungan keduanya cocok dan hasilnya bagus, kerja sama diulangi. Semarang Gallery yang berdiri pada tahun 2001 biasa menggelar ekshibisi empat kali setahun dan ikut pameran seni dua kali setahun.
Pemilik galeri Srisasanti Syndicate, ST Eddy Prakoso, akrab disapa Oyik, yang bercerita tentang peran galeri bukan mencari untung besar. Namun, galeri juga harus mampu berperan menjaga keberlangsungan seniman dalam berkarya. Galeri bersama seniman menjadi pelaku pasar primer.
Pemilik galeri CGArtspace Christiana Gouw tak mengikat seniman dan karya yang dipamerkan galerinya dengan kontrak tertentu. ”Saya bertitik tolak sebagai pecinta seni yang mengoleksi karya dahulu. Setiap ada rasa, saya berusaha untuk tertarik memamerkan karya,” ujar Christiana, yang juga mengikuti Art Jakarta dengan banyak karya yang terjual sejak hari pertama.
Karya yang dipamerkan peserta Art Jakarta pun memiliki variasi beragam. Pemilik galeri EquatorNFT, Deddy Irianto, menggunakan kesempatan ini untuk meluncurkan karya kripto oleh I Nyoman Masriadi.
”Galeri juga memiliki peran menjembatani antara dunia nyata dengan metaverse yang teknologi pengembangannya semakin banyak,” ujar Deddy.
Ajang seperti Art Jakarta menurut peneliti seni, Jean Counteau, akan selalu dibutuhkan dalam ekosistem berkesenian. Di sejumlah negara terdapat ajang serupa untuk mempertemukan seniman dan masyarakat seni melalui perantaraan galeri.
”Saya yakin galeri masih perlu, bukan sekadar mengelola marketing, tetapi lebih-lebih wahana apresiasi,” kata Jean. Pada saat proses apresiasi terhadap karya seni berlangsung, terjadi ”jual beli” nilai dan inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal harga dari sebuah karya.
Jadi, katanya, peran galeri tidak sama dengan art dealer, yang memang khusus menjadi agen dari pemasaran sebuah karya dari beberapa seniman. Galeri memiliki peran apresiasi sebelum sebuah karya benar-benar sampai ke tangan kolektor.
Ketika penetrasi teknologi internet tak bisa lagi ditolak, di mana pelukis biasa berhubungan langsung dengan kolektor, menurut Jean, galeri tidak akan surut perannya.
”Kolektor butuh diyakinkan agar sebuah karya bernilai. Keyakinan itu bisa diperoleh dari peran kurator, yang biasanya tersubstitusi di dalam galeri,” katanya.
Pertemuan antara seniman, galeri, dan penikmat seni di ajang besar, seperti Art Jakarta 2022, menjadi sebuah reuni untuk membangun kembali ekosistem seni yang sempat berantakan karena pandemi. Jadi, sampai akhir tahun nanti, siap-siap untuk terus bereuni dalam berbagai ajang seni. (CAN)