Penyintas peristiwa kekerasan seksual kerap menjadi korban untuk kedua kalinya bahkan ketika kasus itu dibawa ke ranah hukum. Pentas duolog ”Ruang Arumanis” berkisah soal pergulatan batin yang dialami.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·5 menit baca
Dalam ruangan yang dinamai Arumanis, jiwa-jiwa yang terluka coba disembuhkan. Salah satunya jiwa Lisa (diperankan Joane W), karakter utama pementasan duolog Ruang Arumanis, Rabu (24/8/2022) malam, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Lisa digambarkan sebagai seorang penyintas peristiwa kekerasan seksual dampak kerusuhan yang terjadi di kotanya. Di dalam ruangan itu, Lisa diterapi dan banyak berdialog dengan ”sosok” jiwa sekaligus kesadarannya sendiri (Ruth Marini).
Sepanjang proses perbincangan secara intens tersebut, baik Lisa maupun jiwanya sama-sama bisa menjelma dan menjadi semua karakter dalam kisah-kisah kelam yang dialami. Bergantian, keduanya saling menasihati, menenangkan, dan membesarkan hati.
Namun, tak jarang pula perbincangan bisa tiba-tiba berubah menjadi amarah dan sumpah serapah saat satu dengan yang lain saling menyalahkan, menggugat, dan memarahi. Kata-kata makian berupa ”F word” dan cacian menyebut nama hewan pun meluncur beberapa kali disertai emosi tinggi.
”Apakah kalian sudah menangkap bajingan-bajingan itu? Siapa saja nama-nama mereka? Berapa tahun mereka dibui? Adakah yang dihukum mati?” Begitu pertanyaan-pertanyaan menggugat yang diteriakkan Lisa dan jiwanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu juga sekaligus sebagai bentuk protes sekaligus pesan yang coba disuarakan lewat pementasan ini.
Pementasan ini sendiri memang tak secara spesifik mengacu pada kejadian tertentu. Namun, saat menontonnya, orang tak bisa tidak akan langsung mengacu ke tragedi kerusuhan Mei 1998 menjelang kejatuhan penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto.
Peristiwa kelam yang tak hanya memakan korban jiwa, perusakan dan pembakaran, tetapi juga diikuti pemerkosaan massal, yang disebut-sebut menimpa ratusan wanita terutama dari etnis Tionghoa. Hingga kini, kasus itu tak pernah jelas diungkap, apalagi sampai menyeret ke pengadilan para pelaku dan orang yang bertanggung jawab atas peristiwa mengerikan itu.
Kesan kuat pementasan ini mengacu ke kejadian itu tampak dari penggambaran peristiwa oleh kedua karakter. Selain itu juga dari ilustrasi video di layar digital di atas panggung, yang ditampilkan mengikuti dialog Lisa dan jiwanya.
Dalam ilustrasi video itu tampak sejumlah adegan kerusuhan, penjarahan, serta pembakaran yang terjadi di sejumlah lokasi di Jakarta. Tampak pula tayangan sejumlah aparat keamanan berseragam yang diterjunkan ke lokasi-lokasi kejadian.
Meski begitu, baik sang penulis naskah, ED Jenura, maupun sutradara, Wawan Sofwan, menyebut tema yang diangkat juga bersifat umum, terkait kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ruang Arumanis menjadi simbol pergulatan antara tubuh dan jiwa si penyintas, yang sangat mendambakan kesembuhan dan keadilan. Jenura menambahkan, dalam banyak kasus selain trauma psikologis dan fisik, para penyintas juga masih harus berjuang menghadapi banyak hal pasca-kejadian.
Bahkan bukan tak mungkin apa yang dialami pasca-kejadian malah semakin menambah traumanya. Terlebih ketika orang-orang yang ada di sekitar si penyintas tidak memahami bagaimana cara menangani apalagi membantu si penyintas mengatasi atau menghadapi luka-luka yang timbul.
Bahkan aparat hukum pun, saat menangani kasusnya, kerap kali tak peka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau bahkan candaan, yang malah semakin memicu trauma.
”Pertanyaan-pertanyaan menggugat tadi memang akan selalu muncul dan dipikirkan setiap hari oleh para penyintas peristiwa kekerasan seksual. Hal itu memang menjadi semacam gugatan mereka terhadap peristiwa yang menimpa dirinya termasuk yang dialami (karakter) Lisa,” ujar sang sutradara dalam jumpa pers jelang pertunjukan.
Lewat pementasan ini, Wawan berharap masyarakat bisa meningkatkan kepedulian mereka dengan berinisiatif melakukan sesuatu ketika terjadi peristiwa kekerasan seksual di sekitarnya. Termasuk salah satunya dengan membantu dan mendukung para korban menghadapi trauma pasca kejadian serta memantau dan mendorong terus penuntasan proses hukum agar terus berjalan.
Banyak kejadian kekerasan seksual terjadi di lingkungan terdekat macam rumah, institusi pendidikan, perkantoran, dan bahkan peristiwa kerusuhan di belahan dunia mana pun. Selain itu juga ada banyak faktor yang menyulitkan para korbannya mendapatkan keadilan.
Mereka kerap malu dan enggan melapor lantaran khawatir stigmatisasi yang dilakukan masyarakat justru malah menjadikan mereka korban untuk kedua kalinya. Tak hanya itu, perlindungan terhadap para korban dari negara, termasuk dalam bentuk pendampingan psikologis dalam menghadapi trauma, juga terbilang belum maksimal.
Pementasan duolog Ruang Arumanis digagas dan digelar oleh Regina Art, yang merupakan divisi seni salah satu perusahaan jasa properti. Selain pentas drama, dalam tiga tahun terakhir mereka juga menuangkan banyak ide kreatif berbentuk film pendek dan web series.
Salah satu karya berjudul Don’t Open bahkan diikutsertakan dan berhasil masuk sebagai official selection di New York Film Festival.
Mereka yang terlibat
Dalam pementasan ini Joane, yang pernah belajar seni peran di Stella Adler Academy of Acting, New York, Amerika Serikat, beradu kemampuan dengan pemain teater senior, Ruth Marini. Ruth sendiri dikenal sebagai artis monolog terbaik Indonesia tahun 2007, yang memulai karier berteaternya dari Teater Satu Lampung.
Nama Ruth dikenal luas setelah memerankan karakter Sinto Gendeng di film Wiro Sableng; Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (2018). Pelatih peran (acting coach) yang juga dosen salah satu perguruan tinggi swasta ini juga mendirikan sekolah akting untuk anak-anak saat hijrah ke Jakarta lima tahun lalu.
Sementara itu, Wawan, sang sutradara, sebelumnya dikenal pula sebagai pengalih wahana naskah teater dari novel. Beberapa karyanya seperti ”Nyai Ontosoroh” dan ”Bunga Penutup Abad”, keduanya dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Sementara Ed Jenura sendiri lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek, naskah lakon, fiksimini, dan artikel, baik berbahasa Indonesia maupun Sunda.