Tradisi mengajarkan mereka untuk bekerja secara detail dalam hal-hal yang rumit.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Para perupa Bali sangat terkenal dengan keahlian tangan mereka yang tiada tanding. Tradisi mengajarkan mereka untuk bekerja secara detail dalam hal-hal yang rumit. Oleh karena itu, ornamen-ornamen dalam seni rupa Bali telah memperlihatkan permainan komposisi, teknik yang baku, serta pencapaian artistik yang mumpuni. Bagaimana dengan pengolahan nalar sebagai sisi lain dari praktik seni rupa modern?
Pameran Pretiwimba, 15-30 Agustus 2022, di Tony Raka Art Gallery Ubud, Bali, barangkali bisa menjadi contoh kasus menarik atas persoalan pengolahan daya nalar sebagai bagian penting dari praktik seni rupa modern. Pameran yang dibuka peneliti budaya asal Perancis, Jean Couteau, Senin (15/8/2022), diikuti enam perupa. Mereka adalah Ida Bagus Putu Purwa, I Ketut Teja Astawa, I Ketut Suwidiarta, Made Gunawan, I Wayan Gede Budayana, dan Ngurah Vandji.
Pertama-tama, hal yang segera menarik perhatian adalah kehadiran Ngurah Vandji dan Suwidiarta. Selain menjalani pendidikan akademis di lembaga seni dalam negeri, keduanya juga mereguk pendidikan seni di Perancis dan India. Lepas dari segala kebetulan, selama hampir 4 tahun, Vandji belajar seni di Universite d’Aix-Marseille, Perancis. Di situ, ia menyerap teknik-teknik seni rupa Barat, yang kemudian ia padukan dengan teknik seni tradisi Bali.
Sementara Suwidiarta, setelah menyelesaikan studi di ISI Yogyakarta, lalu menempuh pendidikan seni di Faculty of Fine Art Rabindra Bharati University, Kalkutta, India. Karya-karyanya kemudian memperlihatkan perpaduan antara seni ornamentik India dan seni keterampilan tangan dalam tradisi Bali.
Sebagai individu yang berada di tengah-tengah pergaulan budaya global, Vandji dan Suwidiarta berkali-kali menerima benturan pemikiran pada sisi akademis serta realitas sosial yang berbeda dengan lingkungan asal keduanya. Vandji bahkan menyatakan ia rendah diri berada di sekitar orang-orang yang ia persepsikan lebih ”superior”. Adapun Suwidiarta di tengah gelegak keinginannya mereguk pendidikan model Shantiniketan di kota kecil Bolpur, sekitar 180 kilometer di utara Kalkutta, terbentur kenyataan yang pahit. ”Sangat jauh di desa dan sederhana sekali. Jadi, akhirnya pilih di Kalkutta,” katanya.
Seluruh problematika kultural dan tata cara akademis di masing-masing kota justru membawa Vandji dan Suwidiarta kembali menelusur akar kulturnya sebagai orang Bali. ”Hanya dengan cara itu, saya menemukan sesuatu yang berbeda, spesifik, dan punya daya artistik yang tak kalah dengan Barat,” kata Vandji.
Nama Vandji pun sebenarnya menyimpan dialektika Timur-Barat, yang membuatnya nyaris menyerah. Sponsor pendidikannya di Perancis meminta ia mengubah namanya dari Ngurah Pandji menjadi Ngura Vandji karena lebih komersial. Perubahan satu huruf dari ”p” menjadi ”v” bukan perkara sederhana. Sebab, dalam khazanah abjad Bali tidak dikenal huruf berbunyi ”v”. Oleh karena itu, akan sulit menerjemahkannya ke dalam aksara Bali.
”Saya berbulan-bulan memikirkan soal ini karena akan mengubah seluruh penulisan nama saya, sejak lahir sampai sekarang,” kata Vandji.
Latihan berpikir
Empat perupa lainnya, Ida Bagus Putu Purwa, Teja Astawa, Made Gunawan, dan Gede Budayana, kurang lebih juga mengalami benturan pemikiran ketika harus belajar seni secara akademis. Keempatnya mewarisi dasar-dasar tradisi seni rupa Bali ketika berada di kampung halaman. Ketika mempelajari seni rupa modern, baik di Yogyakarta maupun di ISI Denpasar, mereka berhadap-hadapan dengan materi-materi yang dipengaruhi oleh Barat.
Dalam realitas semacam itu, Budayana bernegosiasi secara intensif untuk menemukan bahasa seni rupa yang memadukan tiga unsur: tradisi, Barat, dan personal. Lahirlah seri karya, yang ia sebut sebagai psikedelik. Sesungguhnya kecenderungan psikedelik dalam seni telah muncul sekitar awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan penggunaan jenis-jenis herba perangsang halunisasi, seperti jamur (ajaib). Budayana menangkap kecenderungan ini dengan menoleh kepada tradisi pembuatan topeng oleh kakeknya, I Wayan Tangguh, di Singapadu, Gianyar.
Dua seri karya Psychedelic, yang ia pamerkan mewakili pertemuan mata-mata dan wajah-wajah topeng yang ia lihat dalam kesehariannya. Penampilan obyek-obyek secara repetitif telah memunculkan impresi halusinatif, sebagaimana terjadi pada karya-karya psikedelik. Bedanya, Budayana mentransformasi efek halusinasi akibat obat-obatan herbal ke dalam dunia roh, yang senantiasa tampil surealistik dalam khazanah kebudayaan Bali.
Ida Bagus Putu Purwa berangkat dari karya-karya Gusti Made Deblog di Sanur, yang berbeda dalam seni lukis tradisi Bali. Purwa mengolah teknik tradisional dan mempertemukannya dengan bahasa visual yang simbolik. Ia tak lari dari kecenderungan pengembangan artistik tradisi, seperti kepadatan komposisi dan obyek-obyek keseharian, tetapi memberinya aksentuasi secara simbolik. Figur-figur yang ia tampilkan seolah metamorfosis dari karakter dasar yang membentuk sesosok manusia.
Kanvas-kanvas keenam perupa dalam pameran ini lebih condong menjadi arena latihan berpikir untuk merumuskan entitas baru, yang kini membentuk ”ekosistem” berkebudayaan di Bali. Jarak sosial yang mereka ambil saat studi secara akademis telah turut pula membentangkan jarak estetik, yang membuat mereka lebih bebas menafsir ulang akar kulturnya sebagai orang Bali. Barangkali inilah rumusan terkini terhadap perjalanan Bali sebagai gugusan kebudayaan, yang telah berabad-abad menarik minat para seniman dan peneliti asing untuk datang, terlibat, dan mereguk daya pancar artistiknya.