Tak berlebihan rasanya jika melekatkan kata sempurna bagi penampilan Dream Theater pada setiap pentasnya. Band rock progresif ini kerap tampil tanpa cela bak alien yang menyerang dengan bebunyian harmonis.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Tak berlebihan rasanya jika melekatkan kata sempurna bagi penampilan pada setiap pentasnya. Kerapian permainan membuat mereka seolah-olah dipandang bukan lagi seperti manusia, melainkan makhluk dari planet lain. Itu juga terlihat pada konser mereka di Stadion Manahan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (10/8/2022).
Konser Dream Theater bertajuk bertajuk ”The Top of The World Tour” di Stadion Manahan dibuka oleh Dewa Budjana, gitaris dari band Gigi. Ia memainkan solo gitar lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. Petikan gitar Budjana diikuti nyanyian lantang penonton yang jumlahnya sekitar 10.000 orang.
Tepat pukul 20.00 WIB, sosok yang ditunggu-tunggu penonton naik panggung. John Petrucci (gitar), James LaBrie (vokal), John Myung (bas), Jordan Rudess (keyboard), dan Mike Mangini (drum) langsung mengentak dengan sebuah nomor berjudul ”The Alien” dari album terbaru mereka, A View from the Top of The World. Penonton menyambut lagu pembuka dengan riuh rendah. Salam metal diangkat tinggi-tinggi ke udara.
Tanpa basa-basi, Mangini lanjut menghantam penonton dengan gebukan drum yang energik dari lagu berjudul ”6:00”. Lagu itu berasal dari album lama bertajuk Awake yang dirilis pada 1994. Penonton merasa tak cukup merespons penampilan tersebut hanya dengan ikut bernyanyi bersama LaBrie. Mereka juga mencoba mengikuti suara permainan riff dan melodi minor kromatik (chromatic minor) dari Petrucci. Bukan dengan alat musik, tetapi dengan mulut dan pita suara masing-masing.
”Solo!!! Bagaimana konsernya? Kalian masih bersama kami? Sangat luar biasa bisa kembali tampil di hadapan kalian. Apalagi setelah Covid-19 sialan yang membuat kita terpisah lama. Omong-omong, ini belum selesai. Ayo kita lanjut lagi!,” kata LaBrie.
Total ada 10 lagu yang dimainkan dalam konser malam itu. Empat lagu dari album teranyar yang dibawakan, yakni ”The Alien”, ”Awaken the Master”, ”Invisible Monster”, dan ”A View from The Top of The World”. Sisanya lagu-lagu lama seperti ”Endless Sacrifices”, ”Bridges in the Sky”, ”About to Crash”, ”The Ministry of Lost Souls”, hingga ”The Count of Tuscany”.
Konser berlagsung dua jam penuh. Hanya ada sesekali jeda yang waktunya sebentar saja. Lagu dalam setlist umumnya berdurasi lama, masing-masing tidak kurang dari lima menit. Ada pula yang berdurasi sekitar sembilan menit hingga 11 menit. Bahkan, lagu ”A View from The Top of The World” yang meraih Grammy Awards, April lalu, berdurasi sampai 20 menit. Tetapi penampilan mereka tidak membosankan karena dinamika pertunjukan diatur sedemikian rupa.
”Itu adalah trek-trek terpilih. Tentu saja sebagian dari album terbaru kami. Tetapi, ada juga yang lain. Semua orang akan tersenyum dan bahagia. Lagu-lagu yang dimainkan ini semacam katalog musik kami dari periode yang berbeda-beda,” jelas pemain keyboard, Jordan Rudess.
Malam itu, para jenius musik dari Dream Theater memamerkan semua teknik bermusik kualitas wahid yang mereka miliki. Jari-jari Petrucci, misalnya, bergerak cepat menekan senar gitar tanpa ada satu pun nada yang meleset. Belum lagi, lengkingan gitar yang dikeluarkan dari teknik picking harmonic hingga permainan handle gitar yang menyayat-nyayat.
Mangini juga bermain dengan tenaga yang terjaga dari awal sampai akhir konser. Padahal, ia sekaligus memainkan pedal ganda yang menambah rapat komposisi musik yang dimainkan. Sementara itu, Myung punya porsi sendiri dengan bas bersenar enam yang dibetotnya. Ia mengisi frekuensi nada rendah dengan rapat guna mengimbangi petikan gitar melengking Petrucci.
Lewat tuts keyboard, Rudess memperdengarkan bebunyian misterius yang menggugah. Sampling bunyi pilihannya mengajak penonton menjelajah dimensi lain. Dalam waktu yang sama, bebunyian itu membuat komposisi yang disajikan terasa penuh dan megah. Sesekali ditunjukkan pula permainan ”unison” bersama Petrucci yang membuat para penonton tambah terpukau.
Rentang vokal yang lebar milik LaBrie membuatnya tak tenggelam dalam kehebatan personel lainnya. Sentuhan efek gema pada vokalnya berpadu apik dengan tarikan suara melengking yang sesekali disertai vibra nan terukur.
Terkesima
Fakih Faturakhman (27), penonton asal Jakarta, jadi salah satu yang dibuat terkesima malam itu. Baru pertama kali ia menonton konser band asal Amerika Serikat itu secara langsung. Selama ini, ia hanya melihat mereka lewat Youtube atau mendengar album digital Dream Theater.
”Kesannya oke banget sih. Ini semacam membuktikan omongan banyak orang. Mainnya benar-benar rapi dan ber-skill tinggi,” kata Fakih, yang mengidolakan band tersebut sejak masih kuliah.
Yang disukai Fakih dari Dream Teather adalah kejeniusan mereka dalam mengolah komposisi musik. Ini yang membedakan band tersebut dari band-band beraliran keras lainnya.
”Aransemen musiknya itu unik. Tidak bisa ditebak. Sangat jenius. Jadi pendengarnya sama sekali tidak bosan. Konser di hari kerja ini semacam jadi penyemangat. Apalagi yang ditonton band kelas dunia begini,” kata Fakih yang bekerja di instansi pemerintahan itu.
Gita (56), penonton asal Surabaya, datang dengan keyakinan bakal dibuat puas oleh Dream Theater. Keyakinannya terbayar lunas setelah rampung pentas. Keringat sebesar biji jagung tersebar di dahinya. Sepanjang konser, ia jingkrak-jingkrak. Sampai-sampai suaranya serak karena ia ikut menyanyi. Tak hanya bagian vokal LaBrie, tetapi juga petikan dawai Petrucci.
”Melodi-melodinya itu menawan. Lagunya full progresif melodi. Itu memang orang-orang hebat, kan. Saya kadang-kadang bertanya. Itu orang atau alien, mainnya bisa kayak begitu,” kata Gita, yang sewaktu gelaran JogjaRockarta pada 2017 juga menonton Dream Theater dua hari berturut-turut.
Pendiri Rajawali Indonesia Anas Syahrul Alimi, yang juga promotor acara tersebut, mengatakan, konser Dream Teather di Kota Surakarta ini sebenarnya termasuk konser yang tertunda. Awalnya, Dream Theater berencana datang ke Indonesia untuk konser dalam rangka tur album Distance Over Time pada 2020. Namun, hantaman pandemi Covid-19 membuat konser itu terpaksa dibatalkan.
Dua tahun berlalu, Dream Theater kembali ingin tur dunia untuk promosi album barunya, A View from The Top of The World. Indonesia terpilih kembali sebagai salah satu negara destinasi tur mereka. ”Ada dua negara Asia yang disinggahi mereka, Indonesia dan Jepang. Ini juga sangat berarti karena menjadi konser pertama artis dunia setelah pandemi di sini,” kata Anas.
Kota Surakarta, jelas Anas, dipilih karena ia ingin membuka paradigma wisata musik. Ia ingin menunjukkan bahwa konser artis dunia tidak harus selalu digelar di ibu kota. Banyak daerah lain yang layak juga dijadikan destinasi konser kelas atas. Menurut dia, geliat wisata musik perlu didongkrak lagi di daerah dengan cara-cara seperti itu.
”Saya sangat peduli dengan music tourism. Bagaimana sebuah gelaran musik bisa memunculkan efek pariwisata. Dalam pikiran saya, Indonesia tidak hanya Jakarta. Ada kota-kota lain seperti Solo, Yogya, Surabaya, dan Makassar. Saya punya cita-cita bagaimana second city punya gelaran internasional, didukung infrastruktur yang mumpuni,” kata Anas.
Lewat tur dunianya, Petrucci dan kawan-kawan juga akan menjadi alien bagi kota-kota yang dituju. Pencarian bentuk musikal tak pernah berhenti dilakukan. Mereka selalu menghadirkan lewat karya musik terbaru. Kini, para alien siap menyerbu dengan bebunyian segar ke para pengikutnya.
”I am the alien/ out here in the stars/ We’ll search ’til we find/ no matter how far/ a far better world/ for all human race/ and beyond//”
Itu cuplikan lirik lagu ”The Alien” yang ditulis oleh LaBrie. Idenya berawal dari perkembangan wacana pencarian tempat tinggal baru bagi manusia selain Bumi.
Dan, ”band alien” menemukan tempat konser baru di Surakarta.