Merayakan Kebaruan Sejarah Proklamasi
Wawan mengaku menemukan kebaruan, setidaknya bagi dirinya sendiri, tentang peristiwa beberapa menit sebelum pembacaan naskah Proklamasi Indonesia. Wawan menjumpai kemelut hati Soekarno.
Sejarah tidak selamanya mempersembahkan kisah lama untuk diulang-ulang. Sejarah menawarkan kompleksitas riwayat yang bisa diulik untuk mengejar makna dan manfaat bagi hari ini. Seperti menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2022, tentu saja kita bisa merayakan yang baru dari sejarah proklamasi.
Kebaruan menemukan makna di balik peristiwa sejarah memang sangatlah personal. Baru bagi orang tertentu, belum tentu menjadi kebaruan bagi orang lain. Akan tetapi, satu hal terpenting adalah semua demi mendewakan makna agar bermanfaat bagi hari ini dan masa depan.
Inilah yang ditempuh sutradara dan aktor teater asal Bandung, Wawan Sofwan (56). Ia berupaya menemukan dan merayakan kebaruan dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ia meraih kebaruan dengan menarik mundur peristiwa selama empat hari menjelang proklamasi.
Bahkan, Wawan mengaku menemukan kebaruan, setidaknya bagi dirinya sendiri, tentang peristiwa beberapa menit sebelum pembacaan naskah Proklamasi Indonesia. Wawan menjumpai kemelut hati Soekarno yang enggan membacakan naskah itu jika Hatta tidak datang untuk mendampinginya.
Wawan menarik garis batas cerita yang singkat. Ia menuangkan ke dalam naskah monolog Bung Karno: ”Besok atau Tidak Sama Sekali!”.
Wawan kemudian mementaskan monolog ini di Auditorium Jaya Suprana School of Performing Arts, Jakarta, Sabtu (13/8/2022).
”Adanya peristiwa Soekarno tidak mau membacakan naskah Proklamasi jika Hatta tidak datang itu merupakan suatu kebaruan bagi saya,” ujar Wawan beberapa hari sebelum pementasannya.
Ada makna besar di balik peristiwa kecil itu. Mungkin saja ini relevan dengan kontestasi pemilihan umum untuk jabatan presiden negara ini pada 2024 nanti. Bahkan, hal ini akan selalu relevan sepanjang masa.
Naskah monolog disusun cukup panjang. Naskah monolog itu bukanlah dokumen sejarah. Bagi Wawan, naskah monolog ini benar-benar ekspresi seni sehingga intensi atau niatan yang dibangun itu disesuaikan dengan konteks kehidupan sehari-hari kini dengan berpijak pada riwayat sejarah.
Besok atau tidak sama sekali! Demikianlah, saya mengimajinasikan pikiran Soekarno sehari menjelang proklamasi kemerdekaan.
Wawan menunjukkan beberapa buku sejarah terkait Soekarno dan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di antaranya buku yang ditulis Julius Pour. Buku lainnya, tentu saja buku biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams.
Sekali lagi, naskah monolog Wawan bukan dokumen sejarah. Ada imajinasi berperan di situ. Termasuk apa yang diimajinasikan Wawan tentang Soekarno, ketika menghadapi rencana proklamasi keesokan harinya.
”Besok atau tidak sama sekali! Demikianlah, saya mengimajinasikan pikiran Soekarno sehari menjelang Proklamasi Kemerdekaan,” ujar Wawan.
Ungkapan imajiner Wawan itu kemudian dijadikan judul naskah monolognya.
Hatta belum datang
Wawan mengawali monolog dengan ungkapan, ”Hatta belum datang.” Ini gumaman Soekarno menjelang pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Wawan melanjutkan. ”Aku tidak akan membacakan teks proklamasi ini kalau Hatta tidak ada. Aku memerlukan dia.”
Ada penekanan khusus dari baris kata pertama tentang Hatta tersebut. Wawan menunjukkan arti penting seorang Hatta bagi bangsa ini.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak bakal terjadi jika Hatta tidak hadir pada waktu itu. Indonesia tidak memiliki hari kemerdekaan yang diperingati setiap 17 Agustus, jika Hatta tidak hadir.
Baca juga: 120 Menit Kegundahan Inggit
Wawan memberi intensi atau maksud khusus dengan pernyataan itu. Ia menunjukkan kesetiaan Soekarno, sekaligus kebesaran Hatta. Dua orang, tetapi satu kesatuan, dwitunggal.
Wawan mempertontonkan sikap Soekarno yang mengikis habis ambisi. Pada kenyataannya, ambisi kerap melekat kuat di dalam diri setiap calon pemimpin bangsa.
Ada pesan gamblang dan terang benderang. Bagi siapa saja yang ingin menjadi pemimpin bangsa ini, hendaknya seperti Soekarno. Ia mau mengikis habis keakuan dan ambisi demi mengukuhkan diri sebagai pemimpin bangsa.
Wawan tidak menanggalkan alasan praktis. Ia juga menulis alasan lain mengapa Soekarno menghendaki Hatta hadir.
”Aku seorang Jawa dan Hatta dari Sumatera. Demi persatuan, aku memerlukan seseorang dari Sumatera. Hatta adalah pilihan yang paling baik agar bisa menjamin datangnya dukungan dari rakyat,” ujar Wawan dalam monolognya.
Kisah berikutnya tidak bergulir secara linier. Wawan berkilas balik. Ia tidak mengisahkan kedatangan Hatta, tetapi mengalihkan perasaan gundah gulana Soekarno pada 17 Agustus 1945 yang dimulai sejak kedatangannya di Tanah Air pada 14 Agustus 1945. Peristiwa di rentang waktu ini cukup memukau.
Wawan membawa pemirsa menyelami raga dan pikiran Soekarno yang lelah, sepulang dari Dalat, Vietnam, 14 Agustus 1945. ”Aku tidak tidur selama beberapa hari ini, ditambah serangan malaria membuat tubuhku menggigil, demam dari ujung jari kaki sampai puncak kepala,” ujar Wawan.
Ia menerangkan dari waktu ke waktu di rentang yang sempit antara 14 sampai 17 Agustus 1945.
Pertemuan demi pertemuan direngkuh Soekarno dengan tubuh yang rapuh. Pada akhirnya, Soekarno pun menggapai garis ”finis” atau akhir berupa proklamasi kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk menggapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Meski itu kemudian sekaligus menjadi garis ”start” atau awal perseteruan-perseteruan yang baru bagi bangsa ini.
Setelah panjang lebar memaparkan peristiwa demi peristiwa, Wawan menutupnya dengan kata-kata, ”Hatta telah datang. Aku mesti bersiap-siap….”
Aku seorang Jawa dan Hatta dari Sumatera. Demi persatuan, aku memerlukan seseorang dari Sumatera. Hatta adalah pilihan yang paling baik agar bisa menjamin datangnya dukungan dari rakyat.
Wawan mengakhiri kisah di dalam monolognya dengan kehadiran tokoh Hatta. Soekarno pun kemudian bersiap-siap membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI.
Melalui naskah monolog ini, Wawan menghapus keakuan Soekarno dan menjunjung tinggi peran satu sama lain di dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Tentu latar belakangnya diuraikan pula dengan cara yang masuk akal. Seperti sebelum menutup kisahnya, Wawan menguraikan peristiwa yang melekat di dalam diri Soekarno dan Hatta.
Sehari menjelang proklamasi, mereka merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Maeda seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang bertanggung jawab atas wilayah Hindia Belanda di masa Perang Pasifik.
Wawan menuturkan, sehabis pertemuan merumuskan itu, Soekarno dan Hatta makan sahur di rumah Laksamana Maeda. Tidak ada nasi di situ. Mereka sahur dengan roti, telur, dan ikan sarden.
Setelah sahur, Soekarno dan Hatta bergegas pulang. Soekarno membonceng sepeda yang dikayuh Hatta. Hatta mengantar pulang Soekarno terlebih dahulu. Begitulah, di antara Soekarno dan Hatta terjadi ikatan yang erat.
Pemanasan
Pementasan monolog Wawan di Jakarta ini ternyata sebuah pementasan pemanasan. Pementasan yang sebenarnya justru bukan di Tanah Air. Ia sebenarnya diminta mementaskan monolog berbasis pidato-pidato Soekarno di Australia.
Wawan menunjukkan undangan Direktur Teater La Mama di Melbourne, Sandra Fional Long, tertanggal 16 Juni 2022. Wawan diminta mengisi panggung di teater La Mama yang cukup bergengsi itu. Dulu, penyair WS Rendra pernah manggung di sini.
”Pada awalnya, saya diminta mementaskan monolog yang berbasis pidato-pidato Soekarno. Saya tidak mau dan mengubahnya dengan naskah monolog yang tetap berbasis kisah Soekarno selama empat hari menjelang proklamasi,” tutur Wawan.
Pementasan di La Mama direncanakan pada November 2022 selama tiga hari berturut-turut. Wawan diberi kesempatan menyampaikan monolognya dengan bahasa Indonesia. Monolog itu lalu dialihbahasakan ke bahasa Inggris melalui layar tersendiri.
Baca juga: Monolog di Tepian Sejarah
Inisiatif La Mama untuk mengundang Wawan pentas itu memantik refleksi tersendiri. Wawan aktif di dunia teater sejak 1984 dan terus giat mematangkan kemampuannya di masa kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung hingga lulus pada 1991. Hingga kini, banyak pementasan teater yang dipentaskan dan disutradarainya.
Wawan sempat terenyak, mengapa permintaan monolog tentang Soekarno justru datang dari negara tetangga, bukan dari Indonesia. Wawan berusaha dan tetap berpikir positif. Kesempatan ini digunakan sekaligus untuk merawat keaktorannya karena akhir-akhir ini ia lebih banyak disibukkan menyutradarai pementasan teater.
Selain itu, Wawan juga ingin berkontribusi memberikan pemaknaan-pemaknaan baru terhadap sejarah bangsa ini lewat tulisan naskah monolognya. Tanpa pemaknaan baru yang kontekstual dengan masa kekinian, sejarah akan dianggap sebagai mainan usang dan dilupakan generasi berikutnya. Ia menolak itu.