Puncak sambutan terhadap Gev terjadi ketika ia mendemonstrasikan permainan bas secara tunggal. Kecepatan membuat cabikan pada dawai bas mengalir deras, seolah menyentuh setiap hati penonton.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·5 menit baca
Riak suara musik yang susul-menyusul terbukti telah menjadi wahana yang baik untuk kembali ke Ubud. Ratusan wisatawan asing berduyun-duyun memadati area terbuka Arma Museum and Resort untuk menikmati sajian musik jazz dalam balutan Ubud Village Jazz Fesital 2022, 12-13 Agustus 2022.
Beberapa pengunjung bahkan secara spontan menari di depan panggung atau sekadar meleseh di tikar-tikar yang disiapkan panitia. Mereka seolah merayakan ”kebebasan” dunia dari ancaman pandemi Covid-19, yang selama lebih dari dua tahun mengobrak-abrik kehidupan manusia. Suasana ini seperti bertolak belakang dengan situasi Ubud beberapa bulan lalu. Jalan-jalan sepi, restoran dan toko-toko cendera mata tutup, hotel-hotel seperti terbengkalai. Bahkan kawanan monyet di Monkey Forest berkeliaran di jalan-jalan untuk mencari makan dari sisa-sisa sesaji yang dipersembahkan warga.
Pemilik Arma Museum and Resort, Agung Rai, mengatakan, dirinya memiliki beberapa tamu dari Eropa yang khusus datang ke Ubud untuk menikmati musik jazz. ”Mereka itu umumnya pencandu Bali dan jazz adalah katalisator. Jadi, karena dengar musik jazz digelar lagi, mereka kembali ke Bali,” kata Agung Rai. Ia juga merasa bersyukur penyelenggara UVJF 2022 tetap menggelar pergelaran jazz sebanyak sembilan kali di Ubud. ”Walau masih ada ancaman pandemi,” katanya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno secara khusus datang ke Bali untuk menyambut para wisatawan yang telah kembali ke Bali. Sandiaga bahkan mengatakan, beberapa temannya datang dari Los Angeles, Amerika Serikat, untuk berlibur dan menonton jazz di Ubud. ”Ini hari baik untuk pemulihan ekonomi Indonesia,” kata Sandiaga Uno, saat membuka UVJF 2022, Jumat (12/8/2022), di panggung Giri, Arma Museum and Resort Ubud, Bali.
Pergelaran
Direktur UVJF Anom Darsana sesungguhnya ingin mengembalikan kebangkitan festival jazz di Ubud ke era tahun 2019 sebelum pandemi. Saat itu, katanya, musisi jazz dari sembilan negara tercatat dalam line up festival. Selain itu, katanya, UVJF akan terus-menerus berikhtiar menampilkan musik jazz murni. ”Kita festival kecil, tetapi terus berusaha menampilkan jazz murni. Tidak dicampur dengan pop atau rock, misalnya,” kata Anom.
Idealisme mengusung musik jazz murni membuat UVJF ”kalah” populer dibandingkan beberapa festival jazz di Tanah Air. Tahun 2022 dalam line up mereka terdapat nama-nama seperti Sun Kim (Korea), Bernard van Rossum (Belanda), Marco Jenini (Italia), serta Joan Terrol dan Xavier Vicente (Spanyol). Sementara dari Tanah Air, ada Tohpati Bertiga, Balawan Batuan Ethnic Fusion, Gustu Brahmanta Project, Warman Sanjaya and Irsa Destiwi Project, dan Dennis Junio and The Bali Connection.
Pada hari pertama festival, bassist muda Gev Delano yang didampingi Gustu Brahmanta (drum), Gede Yudistira (keyboard), dan Krisna Dharmawan (gitar) membuat Ubud jadi terasa hangat. Selain permainan bas Gev yang penuh skill, walau ia baru berusia 12 tahun, kemampuannya dalam membawakan jazz kreatif membuatnya tampil istimewa. Tak henti-henti para penonton yang kebanyakan wisatawan dan ekspatriat dari kawasan Ubud, Sanur, dan Canggu memberi tepuk tangan. Komposisi seperti ”Structure” yang menyuguhkan jazz standar pun tak urung mendapat apresiasi yang tinggi dari penonton.
Puncak sambutan terhadap Gev terjadi ketika ia mendemonstrasikan permainan bas secara tunggal. Kecepatan tangannya membuat cabikan pada dawai bas mengalir deras, seolah menyentuh setiap hati penonton. Gev bahkan berulang kali memberi semacam pause sebelum kemudian asyik kembali dengan permainannya. Masa jeda itu digunakan penonton untuk memberinya tepukan tangan yang berirama.
Sementara Sun Kim, anak muda Korea yang sedang naik daun, membawakan komposisi yang terasa manis berjudul ”Sunset”. ”Pengalaman ini saya hanya temukan di Bali,” kata Kim, tentang komposisi itu. Ia memang terinspirasi pada sunset yang ia saksikan di pantai-pantai di Bali selama beberapa kali berlibur ke ”Pulau Dewata”.
Anom Darsana mengatakan, Sun Kim adalah contoh generasi muda Asia yang setia mengusung jazz standar. Penghayatan dan skill Kim yang di atas rata-rata, ujar Anom, telah membuatnya memiliki masa depan cerah dalam dunia jazz. ”Ia dianggap memiliki sentuhan generasi muda yang membuat jazz menjadi segar,” ucapnya.
Penampilan peniup saksofon Dennis Junio yang menghelat jazz untuk mengenang musisi jazz Hank Mobley membuat UVJF terasa benar-benar memegang teguh idealisme jazz. Jazz standar, seperti gaya Latin atau jenis-jenis fusion seperti diusung Balawan, akan terus dipertahankan UVJF untuk memberi gambaran utuh bahwa jazz tetap menggeliat di dunia musik.
”Obsesi saya, sih, melahirkan musisi jazz muda di Tanah Air dan terutama di Bali. Sekarang rasanya, kok, semakin sulit karena sebagian besar cenderung nge-pop atau rock,” ujar Anom.
Mick, wisatawan asal Eropa, yang asyik bergoyang selama pergelaran menyebutkan, dirinya setiap tahun berusaha ke Ubud untuk menyaksikan UVJF. Suasana Ubud dan musik jazz, katanya, terasa cocok dengan dirinya. ”Ini suasana dan musik yang saya cari. Kecil, akrab, dan menyenangkan buat saya,” kata Mick yang menginap di Ubud selama sepekan terakhir.
Agung Rai dan Anom Darsana berharap UVJF 2022 menjadi hari yang baik bagi para wisatawan untuk kembali ke Ubud. Musik jazz yang bernuansa modern telah menjadi penarik ”baru” dalam 10 tahun terakhir bagi para wisatawan asing untuk datang ke Ubud. ”UVJF mulai tahun 2013 di Arma terbukti telah menjadi magnet baru wisatawan asing ke Ubud,” kata Anom.
Cuaca Ubud yang cenderung sejuk pada Jumat malam lalu membuat para penonton betah berlama-lama duduk, meleseh, atau menikmati kuliner sambil mendengarkan musik jazz. Sampai pada pertengahan pergelaran, masih banyak penonton antre yang ingin masuk ke lokasi festival.