”Pengabdi Setan 2: Communion”, Gugatan Sosial dalam Selubung Horor
Sutradara Joko Anwar merilis film ”Pengabdi Setan 2: Communion” yang tayang di bioskop mulai 4 Agustus 2022. Film ini merupakan sekuel dari ”Pengabdi Setan” (2017) yang menjadi standar baru bagi film horor Indonesia.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
ARMAN FEBRYAN/RAPI FILMS
Cuplikan adegan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar
”Seram” adalah kata yang acapkali muncul ketika berkaitan dengan film horor. Namun, jika lebih cermat menyaksikan, teror dan ancaman yang hadir merupakan wujud dari laku sebagai manusia kepada sesama dan lingkungannya. Siapa yang sangka gugatan isu sosial mengemuka di antara teriak ketakutan para penonton.
Sudah menjadi cita-cita sutradara Joko Anwar untuk menentukan standar film horor. Setelah Pengabdi Setan, Joko kini meracik ulang formulanya demi menciptakan acuan baru untuk industri perfilman horor Tanah Air. Ia mewujudkannya melalui Pengabdi Setan 2: Communion yang tayang di bioskop sejak 4 Agustus 2022.
Selama 119 menit, film ini menyuguhkan teror dan serangan mendebarkan berwujud aneka hantu lebih ramai jika disandingkan dengan film pendahulunya. Brutalnya gangguan yang membuat panik disuguhkan tanpa jeda. Guncangan psikologis bisa jadi lebih destruktif bagi penonton.
Sekuel ini telah digarap sejak 2018. Film ini merupakan lanjutan kisah keluarga Bapak (diperankan Bront Palarae) tinggal di rumah susun pascateror mayat hidup di film pendahulunya, Pengabdi Setan. Bapak dan anak-anaknya, Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), serta Bondi (Nasar Anuz), berusaha melanjutkan hidup normal.
Namun, teror tampaknya belum berhenti. Banyak rahasia muncul dalam rusun kumuh yang sempit itu. Rini dan adik-adiknya lagi-lagi harus berjuang menyelamatkan diri.
Pengabdi Setan 2: Communion masih bertumpu pada kekuatan sinematografi yang ciamik. Bedanya, sekarang Joko bermain-main dari segi sudut dan gerakan kamera, setting, serta pencahayaan sehingga penonton seolah ikut masuk dalam dunia Pengabdi Setan.
Sekarang Joko bermain-main dari segi sudut dan gerakan kamera, setting, serta pencahayaan sehingga penonton seolah ikut masuk dalam dunia Pengabdi Setan.
Lensa yang Joko gunakan, misalnya, mewakili mata manusia sehingga tidak ada pengambilan gambar close-up yang mengganggu. Ia juga ogah menggunakan drone untuk menunjukkan situasi rusun. Biarlah penonton ikut merasakan apa yang para tokoh rasakan dalam film. Mereka tidak bisa melihat gambaran besar lingkungan tempat mereka tinggal.
Gerakan kamera juga semakin dinamis sehingga mengundang banyak interpretasi. Dalam satu adegan, kamera meluncur dengan mulus menjelajahi rusun. Rupanya penonton diajak untuk melihat bukan hanya dari sudut pandang manusia, tetapi juga dari sudut pandang para kaum tak terlihat.
Permainan kamera Joko tingkatkan dengan menerapkan whip pan shot. Ia mengayun fokus kamera pada dua obyek secara bergantian dalam tempo singkat sebagai bentuk transisi. Sedikit memusingkan, tetapi tetap membuat panik karena adegan berganti cepat. Metode serupa pernah digunakan dalam film Whiplash (2014) dan La La Land (2016).
”Tidak ada satu shoot terbuang karena semua sudah direncanakan. Kami hanya shooting apa yang kami butuhkan untuk bercerita. Setiap sudut kamera, gerakan kamera, estetika, warna, dan segalanya untuk storytelling,” kata Joko dalam konferensi pers Pengabdi Setan 2: Communion, di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
ARMAN FEBRYAN/RAPI FILMS
Cuplikan adegan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar
Nuansa horor semakin menyesakkan karena tempat pengambilan gambar banyak mengambil lokasi yang sempit dalam rusun, misalnya saluran pembuangan sampah, lubang di tembok, dan lift. Kesesakan yang terlihat bisa menjadi stimulan bagi pengidap klaustrofobia.
Masih belum cukup, Joko banyak bermain dengan pencahayaan natural yang membatasi jarak penglihatan. Mata pemeran dan penonton hanya sebatas terangnya korek api, lilin, senter, dan lampu semprong. ”Kami diskusi panjang dengan pemain untuk menerangi ke arah mana. Kelihatan enggak sengaja, tapi semuanya kita bicarakan dan diskusikan dengan teliti,” ujar sinematografer, Ical Tanjung.
Simbol-simbol horor tetap ada meski tak sefenomenal lonceng milik Ibu di film pertama. Kali ini Joko menggunakan benda seperti radio dan foto ibu. Bila dibandingkan, film sekuel ini juga memiliki lebih banyak jumpscare. Mungkin ini lantaran lebih banyak tokoh yang terlibat.
Namun, bukan Joko namanya jika dia tidak menyelipkan lelucon bagi penonton untuk menghela napas sejenak setelah berteriak panik. Sayang, film ini belum menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan yang ada tentang dunia Pengabdi Setan sehingga membuka peluang untuk hadirnya film ketiga.
Kembali pada sosok Joko yang identik dengan kritik sosial, film terbarunya ini pun memuat isu sosial yang kental. Bukan barang baru memang bagi Joko, simak saja Perempuan Tanah Jahanam (2019), Kala (2007), dan Modus Anomali (2012). Dalam Pengabdi Setan 2: Communion, Joko menyentil laku kelam pemerintah di masa lalu yang terlihat hingga sekarang.
Salah satu peristiwa penting yang tampak adalah jelang Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Seiring perjalanan menuju Lembang, Jawa Barat, penggambaran kuburan massal terlihat sekilas. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, keberadaan kuburan massal tanpa nama atau orang hilang semacam wajar. Upaya pengungkapannya pun nihil agar bobrok tidak menyebar.
Di masa kini dengan kondisi yang berbeda, prinsip dari praktik itu kelihatannya masih ada. Masih ada kejadian di mana isu besar ditutupi demi reputasi kelompok tertentu agar nama baik dan kekuasaan tetap langgeng.
ARMAN FEBRYAN/RAPI FILMS
Cuplikan adegan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar
Penggunaan konteks sejarah besar lainnya adalah kejadian pada era 1980-an. Joko menggugat keberadaan penembak misterius alias petrus. Di era tersebut, nyawa seseorang seakan murah. Hanya dengan bertato, seseorang akan mendapat gelar preman sehingga menjadi sasaran tembak para petrus.
Hingga saat ini, peristiwa penembakan misterius masuk dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang belum terungkap. Desas-desus beredar bahwa yang berseragam ada di balik peristiwa ini.
Di sisi lain, keberadaan rusun yang ditinggali Rini dan adik-adiknya mengingatkan kita pada kesenjangan sosial yang tak pernah tuntas. Kemiskinan masih menjadi momok, akses transportasi terbatas, dan komunikasi terputus. Masyarakat kecil menjadi tumbal proyek besar. Rini dalam dialognya bahkan menyebutkan, pemerintah asal membangun rusun di lokasi tak strategis untuk masyarakat bawah.
ARMAN FEBRYAN/RAPI FILMS
Cuplikan adegan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion karya Joko Anwar
Penampakan pemuja setan pun memiliki pemaknaan abstrak terhadap kondisi masyarakat saat ini yang bisa jadi terus relevan. Meski dijahit dengan teror adanya sekte sesat dan elemen horor lainnya, tak lantas menyamarkan kritik sosial yang kuat.
Kehadiran sekte pemuja setan atau sekte sesat ini biasanya tumbuh karena adanya rasa ketidakpercayaan, baik terhadap kondisi sosial maupun personal hingga pada institusi formal, seperti agama atau pemerintahan. Lalu, teror dalam wujud hantu gentayangan ini pun seperti perwujudan dari tuah laku buruk manusia. Bukankah apa yang ditanam itu yang akan dituai?
Seperti yang pernah disampaikan Joko, horor dan setan yang sesungguhnya adalah para pejabat dan pengusaha korup, pemecah belah, serta orang-orang yang menginjak kaum terpinggirkan, baik yang miskin atau minoritas. Mereka tak sadar kesemena-menaan itu akan mengantarkan pada suatu karma buruk yang bisa jadi tameng agama apa pun tak mempan menangkalnya.