Ada Apa Fungsi Senimu Hari Ini?
Pameran seni rupa dengan segala keunikannya sering mengundang tanya banyak orang. Apa fungsi senimu hari ini? Ini pula yang sedang dipertanyakan di sebuah pameran seni rupa kontemporer Manifesto VIII: Transposisi.
Pameran seni rupa dengan segala keunikannya sering mengundang tanya banyak orang. Apa fungsi senimu hari ini? Ini pula yang sedang dipertanyakan di sebuah pameran seni rupa kontemporer dengan melibatkan 108 peserta di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Kebangkitan Nasional.
Pameran itu bertajuk ”Manifesto VIII: Transposisi” yang berlangsung 27 Juli hingga 26 Agustus 2022. Pameran Manifesto diselenggarakan dua tahunan. Diawali pada 2008 untuk menyambut 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.
Berselang 14 tahun kemudian, untuk pertama kalinya juga pameran ini diselenggarakan di Museum Kebangkitan Nasional. Lokasi ini dulu dipergunakan para peserta didik sekolah dokter pribumi merumuskan pendirian organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Peristiwa ini kemudian dijadikan tonggak Hari Kebangkitan Nasional.
Selain itu, Galeri Nasional juga menggagas pameran Manifesto untuk memetakan perkembangan seni rupa di Indonesia setiap dua tahun. Salah satu kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, juga mengarahkan pemaknaan untuk meraih fungsi seni kepada masyarakat.
”Catatan kurasi saya kepada calon peserta menyertakan pertanyaan, ’Apa fungsi senimu hari ini?’ Ini catatan bagi para seniman agar memberikan fungsi yang langsung kepada masyarakat,” ujar Suwarno ketika dihubungi di Yogyakarta, Kamis (4/8/2022).
Selain Suwarno, para kurator pameran meliputi Rizki A Zaelani, Citra Smara Dewi, dan Teguh Margono. Pertanyaan yang disampaikan Suwarno sepertinya mewakili pertanyaan banyak orang sekarang. Apalagi terhadap karya seni rupa kontemporer, masyarakat sering menghadapi kendala dalam meraih makna dan fungsi seni. Bahkan, tidak jarang untuk memahami suatu karya pun susah sekali.
Di sisi lain, kerja seniman ibarat antena sosial. Mereka dituntut memiliki kepekaan tersendiri untuk menangkap fenomena sosial, kemudian berperan memberikan fungsi serta manfaat seni bagi masyarakat.
Membantu petani
Karya yang ditampilkan seniman Anang Saptoto dari Ruang Mes 56 Yogyakarta menjadi pilihan pertama Suwarno untuk menggambarkan adanya fungsi seni itu. Anang menampilkan karya berbasis fotografi yang bertumpu pada aktivisme selama pandemi Covid-19 dengan membantu petani dalam mendistribusikan hasil panen kepada konsumen secara langsung.
Di saat pandemi, produksi petani terus berjalan seperti biasa. Di saat panen berlangsung, adanya pembatasan ruang gerak masyarakat memicu kesulitan tersendiri bagi distribusi hasil panen.
Anang tergerak menanggulangi persoalan ini. Ia kemudian terjun bersama komunitasnya untuk membantu petani dalam mendistribusikan hasil panen kepada konsumen secara langsung.
Suwarno kebetulan menjadi salah satu konsumennya. Ia turut membeli hasil panen petani yang didistribusikan Anang Saptoto untuk keperluan konsumsi sehari-hari.
Pada mulanya Anang membantu petani yang ada di Lendah, Kulon Progo. Salah satunya, kelompok Wanita Tani Langgeng Makmur yang beternak ayam petelur. Ia mendistribusikan telur dari para peternak di sana.
Dari sinilah terlahir karya seri fotografi yang ditampilkan di Galeri Nasional berjudul ”Doa-doa Langgeng Makmur”. Ini sebuah karya berisi potret peternak Yuliana Safitri di tengah kandang ayam-ayam petelurnya.
Di foto itu Anang mengganti setengah badan Yuliana dengan foto dua telur yang ditumpuk berdiri tegak. Ada nilai artistik dari karya seni fotografi ini selain memiliki narasi aktivisme Anang yang membantu kesulitan petani di masa pandemi.
Selebihnya, ada tiga karya serupa. Keempat karya tersebut dihimpun sebagai karya seri fotografi potret Kelompok Tani Yogyakarta dan Pelanggan 4.0, ”Panen Apa Hari Ini (Pari)”.
Karya yang kedua menggunakan foto dari Kelompok Tani Kota (Poktan) Ngudi Mulyo, Pugeran, Yogyakarta. Anang menampilkan sosok petani Gufron dengan setengah badan bagian bawah diganti produk mereka berupa bunga telang. Bunga ini digunakan seperti teh yang bisa diseduh untuk membuat minuman.
Kedua karya terakhir, Anang menampilkan foto para pelanggan produk petani yang didistribusikannya. Ia menyebut mereka sebagai pelanggan 4.0. Namun, penggabungan visual fotonya dibalik.
Untuk karya fotografi dengan narasi berbasis petani, wajah para petani ditampilkan. Di bagian bawahnya diganti dengan produk pertaniannya. Sebaliknya, jika foto berbasis pelanggan, pada bagian wajah diubah dengan produk petani yang dibeli.
Karya ketiga menampilkan foto ”Pelanggan 4.0 Keluarga Lemari Lila”. Anang memotret tiga pelanggan dengan posisi tubuh bagian atas masing-masing digantikan produk cabai hijau, tomat, dan sayur daun hijau. Untuk karya keempat atau terakhir, Anang menyuguhkan foto ”Pelanggan 4.0 Tifa Nahar” dengan tubuh bagian atas diganti dengan produk cabai merah.
”Dari karya Anang Saptoto ini terlihat seniman memberi fungsi seni langsung kepada masyarakat. Inilah transposisi seniman,” ujar Suwarno, seraya menambahkan, fungsi seni bisa menyebar ke segala penjuru rasa.
Persoalan lain
Masyarakat dihadapkan pada banyak persoalan lain. Ini menjadi ladang nan luas bagi kiprah para seniman dalam berkontribusi menghadapi persoalan dan memberikan fungsi seni secara langsung kepada masyarakat.
Ada instalasi seni karya Ary Okta yang ditampilkan di Museum Kebangkitan Nasional. Dari karya itu terlihat aktivisme seniman yang sekaligus menunjukkan fungsi seni secara langsung kepada masyarakat.
Ary Okta menampilkan patung-patung ayam yang terbuat dari limbah plastik. Ada sekitar 40 patung ayam dengan ukuran sedikit lebih besar dari ukuran ayam aslinya.
Gagasan Ary Okta berbasis pada persoalan lingkungan yang dihadapi masyarakat, di antaranya persoalan banyaknya limbah plastik yang makin mencemari tanah dan air.
Ary Okta menghimpun kelompok anak-anak di Saung Palakali, Depok. Mereka diajak mengumpulkan limbah plastik dari rumah masing-masing. Limbah-limbah itu kemudian dimampatkan untuk membuat patung.
Instalasi seni dengan 40 patung ayam dipajang di atas tumpukan batu bata merah berjumlah sekitar 4.000 keping. Karya ini berjudul ”Menunggu Digoreng”.
Karya peserta berikutnya, Kana Fudy Prakoso, juga pekat dengan nuansa aktivisme peduli terhadap lingkungan. Ia menyuguhkan instalasi lukisan di atas limbah kardus dan kayu. Tema lukisannya tentang sepeda. Ini alat transportasi kegemaran Kana di masa kecil sampai remaja, hingga dirinya pun lihai melaju dengan melepas setang sepeda.
Kana berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Saat ini Kana tinggal di dekat sebuah pasar di Jakarta Selatan. Ia menyaksikan banyak limbah di sana. Di samping itu, Kana yang juga lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sering menjumpai keluhan para seniman lain tentang kesulitan mendapatkan media untuk berekspresi.
”Saya mengambil limbah kardus-kardus rokok dari pasar yang cukup kuat untuk media berkarya,” ujar Kana, yang memberi judul karya instalasinya ”Bukan Fiksi (e) Tapi Fakta”. Karya ini ditampilkan di Museum Kebangkitan Nasional.
Di tangan para seniman ini, fungsi seni begitu lugas disampaikan. Selain menghadirkan citra visual, mereka juga menampakkan aktivisme yang nyata. Masyarakat pun diharapkan meraih inspirasi yang baik.
Pameran ”Manifesto VIII: Transposisi” juga banyak menampilkan karya lukisan dalam bentuk tunggal, bukan berseri atau menjadi sebuah instalasi. Banyak juga yang menginspirasi dan menunjukkan fungsi seni kepada masyarakatnya.