Energi Navicula disambut ratusan penonton yang tak henti berjingkrakan di bibir panggung. Sebagian mengacungkan kepalan tangan ke udara.
Oleh
EKO WUSTUK
·4 menit baca
Navicula dengan sejuta distorsinya. Gemuruh musik grunge yang mereka muntahkan dalam perhelatan bertajuk ”Smooth Session”di Hutan Kota Gelora Bung Karno, Senayan, Sabtu malam (30/7/2022), luar biasa bertenaga.
Energi itu disambut ratusan penonton yang tidak henti berjingkrakan di bibir panggung. Sebagian mengacungkan kepalan tangan ke udara. Sebagian lainnya, terutama yang berambut gondrong, menghentakkan kepala mengikuti deru musik. Mereka tenggelam dalam ritual headbanging.
Tanpa dikomando, mosh pit pun terbentuk. Puluhan anak muda yang kelebihan energi menari, berlari dalam lingkaran sambil tak henti saling membenturkan badan. Penonton lainnya, yang barangkali sudah tidak terlalu muda atau malas bersenggolan dengan orang asing, sadar diri menyingkir.
Di atas panggung, Navicula semakin ganas menggeber dengan amunisi baru mereka yang terangkum dalam album anyar berjudul Archipelago Rebel. Album yang dirilis pada pertengahan Juli 2022 ini adalah yang ke-11 dan merupakan bentuk perayaan ”masa bakti” mereka di dunia musik yang sudah menginjak usia ke-25. Sebuah album matang yang dengan meyakinkan menunjukkan kelas mereka sebagai salah satu rock band terbaik negeri ini.
Navicula membuka malam dengan salah satu lagu mereka yang paling dikenal publik, “Busur Hujan”. Bicara soal keberagaman, lagu itu ditulis Robi khusus untuk menyambut kedatangan Rainbow Warrior, kapal legendaris milik Green Peace, di Bali pada Mei 2013. Senada dengan tema keberagaman, layar besar di panggung menampilkan gambar Garuda Pancasila, simbol yang barangkali makin jarang kita tengok, apalagi resapi dalam hati kesakralannya.
Topik kebangsaan, keberagaman, dan gugatan soal identitas bangsa berlanjut dengan nomor ”Everyone Goes to Heaven”. Sebagai kelompok masyarakat yang mengalami langsung teror bom Bali, Oktober 2002, semua anggota Navicula jelas punya ikatan sangat personal terhadap lagu ini. ”What if the truth? Is yours to decide?”, demikian Robi menggugat dengan liriknya yang berselancar di atas dentuman drum Palel dan cabikan gitar elektrik Dankie.
Sepertinya konser kali ini memang dikhususkan Navicula untuk menyampaikan pemikiran mereka soal kebangsaan. Soal kebanggaan yang hidup dalam jiwa mereka sebagai orang Indonesia. ”Dinasti Matahari” dan ”Kembali ke Akar”, dua lagu dari album terbaru mereka, dibawakan lengkap dengan tampilan klip video musik di layar besar di panggung.
Meski sebagian besar penonton belum mengenal lagu ini, mereka tak henti mengayunkan kepala mengikuti irama. Bagi mereka, Navicula berbicara tidak melulu dari lirik lagu, tetapi melalui nada-nada. Lagu lama dan baru sama saja. Sikat!
Berbeda dengan Navicula yang malam itu seolah mau fokus bicara soal kebangsaan, Smooth Session punya fokusnya sendiri, yaitu kolaborasi. Maka, muncullah Ari Lesmana dari Fourtwenty di atas panggung membawakan ”Merdeka”. Sebuah kolaborasi yang terasa janggal mengingat Ari Lesmana pada dasarnya adalah musisi folk, bukan rock. Namun, kolaborasi tersebut terbukti menggelinding dengan mulus. Ari berhasil masuk ke inti lagu ”Merdeka” yang bicara soal jati diri dengan penuh perasaan dan sangat ekspresif. Khas sekali.
Kolaborasi berlanjut dengan menampilkan Coki (John Paul Patton) dari Kelompok Penerbang Roket. Ini jelas satu frekuensi. Jadilah ”Di Depan Layar” dan ”Kembali ke Akar” dimainkan dengan dua bas sekaligus. Dengan gayanya yang sangat rock ‘n roll, Coki asyik beradu betot bersama Adi yang rambutnya malam itu tak henti berkibar. Sambil bercanda, Robi menyoroti kehadiran dua pemain bas di satu panggung. ”Wow! Dua bas, nih! Kayak di film Spinal Tap!”, demikian dia berseloroh.
Bagi penggemar rock lawas, film Spinal Tap yang dirilis pada 1984 adalah sebuah mockumentary legendaris. Semua mitos soal rock band dan rock star diolok-olok dan bahkan diberangus dalam film itu melalui rangkaian komedi gelap yang membuat penontonnya tertawa sambil meringis.
Tentu saja malam itu Navicula membawakan ”Metropolutan” dan ”Mafia Hukum”. Dua lagu masuk dalam daftar lagu yang paling banyak diminta penonton setiap kali mereka konser. Maka, meledaklah semua penonton kala kedua lagu itu membahana. Kor massal terdengar mulai dari depan panggung hingga railingfront of house jauh di belakang. Kor paling sangar dan jelas ketika ratusan orang berteriak mengosongkan paru-paru mereka, menyanyikan penggalan lirik ini: ”Hukum direkayasa hanya buat yang kaya/Yang jadi korbannya... Rakyat jelataaa!!”
Malam itu Navicula tidak sendirian. Dalam pergelaran Smooth Session, mereka tampil bersama Pure Saturday, The Adams, Barasuara, Seringai, Silampukau, dan masih banyak lagi nama-nama band indie papan atas lainnya. Bersama 1.500-an penonton (jumlah tiket yang dijual memang dibatasi), mereka merayakan musik. Sebuah ritual yang nyaris dilupakan sejak pagebluk mengungkung negeri.
Di hutan kota yang asri, dengan beberapa bukit kecil yang dijadikan tempat leyeh-leyeh sambil menonton penampilan band di panggung di bagian ”lembah”, perayaan musik seperti ini terasa sekali keasyikannya. Meski terletak di pusat kota, malam itu tidak ada polusi suara klakson dan deru mesin terdengar. Yang ada adalah deru distorsi yang membebaskan. Yang memberi kesempatan penikmat musik menepi sejenak dari derasnya kehidupan mereka dan menyembuhkan diri bersama. Benar benar smooth.