Sensasi Horor dari Pengalaman Audio
”Menonton dengan mendengarkan” memang menjadi semboyan pertunjukan audio bergenre horor Prahara Tarawangsa, yang diklaim menjadi pertama kali di Tanah Air.
Menikmati sebuah cerita yang disajikan lewat gambar dan suara sudah biasa. Pengalaman baru sekaligus menarik apabila kita mengikuti sebuah cerita hanya dari suara. Lewat pertunjukan audio, kisah horor tetap terasa mencekam.
Pasangan tunanetra Yuni Asmawati dan Dody Iskandar antusias saat menceritakan kembali pengalaman menikmati pertunjukan audio Los Harewos Audio Experience (LHAE), Jumat (29/7/2022) malam. Teknologi tata suara melingkar 5.1surround system, yang digunakan dalam pertunjukan, memberi pengalaman baru bagi Yuni. Dia seolah tersedot masuk ke dalam dalam plot cerita horor berjudul Prahara Tarawangsa.
Dari yang dialaminya sepanjang waktu pertunjukan hingga akhir, dialog dan suara efek khusus seolah berdatangan dari segala arah. Belum lagi aroma wewangian dan suhu udara ruang pertunjukan yang lumayan dingin, semakin membangkitkan suasana mistis, gelap, dan mencekam.
”Sayang (durasi) kurang panjang. Kalau nanti dibuat lagi, tolong durasinya diperpanjang dong, ya. Ha-ha-ha,” ujar Yuni sambil tertawa riang.
Bersama teman-teman sesama tunanetra, Yuni rutin ”menonton” bareng film bioskop, biasanya yang bergenre horor. Namun, jika dia membandingkan, suasana dan pengalaman menikmati pertunjukan audio jauh berbeda ketimbang saat berada di dalam bioskop.
Pertunjukan LHAE jauh lebih membangkitkan rasa ngeri, seram, dan suram. Padahal, sebagai tunanetra, dia sebatas sama-sama mendengarkan audio dari kedua jenis pertunjukan.
Keseruan yang sama diceritakan Ferral, pelajar SMK di Bandung. Ferral datang bersama tiga teman sebayanya. Sepanjang pertunjukan, mereka berkali-kali terkejut dan bahkan saling memeluk teman di sebelahnya. Dalam beberapa adegan, penonton dikejutkan oleh suara keras, yang tiba-tiba muncul memecah keheningan.
”Suara-suara jumpscare-nya benar-benar ngagetin. Seru banget (alur) ceritanya. suara terdengar dari mana-mana. Ruangan yang gelap, bau-bauan wanginya, dan juga beberapa kali semburan asap di dalam tadi bikin suasana semakin tambah seram. Benar-benar bikin merinding,” ujar Ferral.
Selama tiga hari, 29-31 Juli 2022, pertunjukan hasil kolaborasi Fakultas Industri Kreatif Universitas Telkom dan Creatilatory ini digelar sebagai bagian rangkaian acara Bandung Creative Movement 2022. Pertunjukan digelar di gedung bioskop bersejarah De Majestic, Bandung, Jawa Barat.
Dalam ruangan pertunjukan terpasang enam unit speaker besar dan empat unit subwoofer di beberapa sudut mengitari kursi-kursi penonton, yang juga ditata melingkar saling berdekatan. Selain itu, ada empat unit mesin pendingin udara masing-masing berkekuatan 3 PK.
Baca juga: Pesona Panggung Tunggal Jazz Gunung Bromo
Di langit-langit ruangan teater juga terpasang tata lampu pertunjukan, yang akan menyala sesuai jalannya cerita. Berdampingan dengan barisan kursi penonton juga dibangun panggung pendek, yang di atasnya ditempatkan sejumlah maneken ditutupi kain hitam.
Kehadiran boneka-boneka dalam temaram cahaya lampu, yang lama-kelamaan semakin redup dan terkadang gelap total mengikuti jalannya cerita, menambah suasana mencekam. Semburan asap kabut juga tiba-tiba muncul dari mesin penyembur asap di atas panggung.
Pertunjukan digelar tiga hingga empat kali per hari dengan durasi masing-masing 1,5 jam. Setiap pertunjukan dibagi empat tahap. Para penonton terlebih dahulu diajak memasuki suasana horor lewat tayangan video dari proyektor sebagai pengantar cerita dan pembangkit suasana dan mood.
Setelah itu, mereka diarahkan masuk ke lokasi ”menonton” di ruangan utama. Selama lebih dari 15 menit mereka mengikuti alur cerita dalam kondisi ruangan nyaris gelap. Semua alat komunikasi dititipkan atau dimatikan agar tak mengganggu pertunjukan.
Setiap hadirin diberi gelang mengandung fosfor, yang menyala di kegelapan. Jika ada yang ketakutan, mereka diminta mengangkat tangan dan seorang petugas akan menjemput untuk mengantar keluar ruangan. Setelah pertunjukan pertama, para peserta diberi waktu beristirahat.
Menurut produser pelaksana, Hagi Hagoromo, jeda diperlukan agar para penonton tidak terlalu lama merasakan ketegangan atau malah membuat cerita jadi membosankan. Setelah waktu jeda habis, mereka akan dipanggil kembali masuk dan melanjutkan babak kedua cerita hingga usai.
Kisah mistis
Cerita Prahara Tarawangsa berkisah tentang empat sahabat, mahasiswa dari beragam jurusan, yang mencoba bertualang di alam gaib. Bhita (Nadia Nur Paramita) ingin bertemu dengan mendiang adik kembarnya dengan meminta tolong Ardi (Azizan Hawari). Hal itu diyakini bisa dilakukan dengan merapal buku mantra untuk masuk ke dunia arwah.
Bersama dua temannya yang lain, Deni (Candil Serieus) dan Chira (Tiara Effendy), mereka berhasil masuk ke dunia gaib, tetapi tanpa paham konsekuensinya. Cerita berkutat pada pengalaman empat sekawan dengan karakter berbeda-beda itu saat berada di alam arwah.
Selain petualangan keempat mahasiswa itu, juga dikisahkan tentang kesenian kuno masyarakat Sunda, Tarawangsa. Kesenian itu tercatat dalam naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 Masehi. Prosesi itu biasa digelar sebagai ungkapan syukur jelang panen.
Tarawangsa identik dengan kisah-kisah mistis, termasuk fenomena kesurupan, yang dialami para penarinya saat tampil.
Baca juga : Puisi dan Grafis Jadi Kawan Seiring
Sutradara Ari Marifat mengatakan, karya garapannya ini lebih mendekati seni pertunjukan ala pementasan teater. Pementasannya berbeda dari film bioskop, yang lebih fokus pada pelibatan indera penglihatan (visual) dan pendengaran (audio).
Dalam pergelaran audio experience ini porsi terbesar ada pada upaya menggarap semaksimal mungkin sisi imajinasi audiens (theatre of mind). Caranya, dengan merangsang sejumlah indera selain pendengaran dan penglihatan, yang juga bertujuan membangun suasana untuk mendukung plot cerita.
”Makanya kami juga pakai wangi-wangian, tambahan asap dari mesin pembuat asap, yang menghasilkan suasana berkabut dan samar-samar. Selain itu, suhu udara dalam ruangan kami buat lebih dingin dan pencahayaan dibuat seminim mungkin. Dari situ semua indera coba kami bangkitkan untuk menciptakan ambience dan mood,” ujar Ari.
Selain menggunakan kekuatan dialog dan narasi, menurut Ari, pada efek suara tertentu atau ilustrasi musik juga dimasukkan suara-suara berfrekuensi khusus, baik frekuensi di atas maupun di bawah standar kemampuan telinga manusia untuk menangkap. Dia menambahkan, frekuensi seperti itu bisa memicu perasaan gelisah, tak nyaman, atau takut.
”Jadi memang sengaja semua tadi dikombinasikan sehingga penonton merasa benar-benar berada di suatu lingkungan yang sedang dia bayangkan. Dia merasa ada di dalam cerita. Tempat sesungguhnya ada di dalam imajinasinya. Yang kita lakukan hanyalah memancing semua indera tubuhnya bisa merasakan seperti yang diimajinasikannya,” ujar Ari.
Walau begitu, Ari mengakui pertunjukan ini masih punya kekurangan. Durasi yang pendek membuat dirinya sulit membangun cerita dan karakter secara lebih kuat dan lengkap. Lamanya waktu pertunjukan memang harus sangat diperhatikan, terutama agar tak membuat orang menjadi bosan saat mengikuti pertunjukan.
Baca juga : Kutukan Mantra Berdarah "Incantation"
Model pertunjukan ini terbilang jauh lebih rumit dan menantang, termasuk jika dibandingkan dengan pertunjukan audio dan tata cahaya macam yang sudah lama digelar di negara lain seperti di India. Salah satunya pertunjukan suara dan cahaya di Benteng Golconda di Hyderabad, India, yang pernah Kompas ikuti beberapa tahun lalu.
Dalam pertunjukan itu penonton sekadar diajak menyaksikan dan mendengarkan cerita dan permainan tata cahaya, yang dilatarbelakangi bangunan benteng bersejarah. Para penonton duduk di panggung terbuka yang disediakan, sementara suara dialog dan efek suara para aktor pengisi suara diperdengarkan dari kejauhan.
Pertunjukan sejenis juga digelar rutin dan menjadi atraksi wisata di sejumlah benteng dan tempat bersejarah yang ada di Negeri Hindustan itu. Walau pengisi suara utama atau narator kerap dilakukan bintang film terkenal macam Amitabh Bachan, para penonton sebetulnya praktis hanya menggunakan dua inderanya, penglihatan dan pendengaran, di atraksi itu.