Panggung tunggal di Jazz Gunung Bromo menguntungkan musisi yang sedang merangkak menunjukkan jati dirinya. Mereka dapat kesempatan sama beraksi dengan tata suara dan lampu yang jempolan. Pengunjung pun bersukacita.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Festival musik dengan banyak penampil yang berganti-gantian di satu panggung, seperti Jazz Gunung Bromo, punya kelebihan tersendiri. Pengunjung ”dipaksa” menonton penampil awal, yang mungkin belum setenar bintang utama, tetapi punya musikalitas yang tak kalah bagus. Panggung tunggal ini memberi ruang bagi musisi menunjukkan jati dirinya.
Gitaris Andre Dinuth tampil pada hari kedua Jazz Gunung Bromo pada Sabtu (24/7/2022) ketika matahari masih bersinar, atau tepatnya pukul 16.45 sesuai dengan jadwal. Rasanya, ini waktu yang paling pas menikmati musik di festival tahunan ini; lampu sudah dinyalakan, tetapi pemandangan sekitar masih terlihat. Bahkan, ketika mereka tampil, kabut tipis menyelimuti arena.
Ketika Andre tampil, penonton sudah mulai ramai walau belum penuh benar. Mereka menduduki undakan amfiteater yang beralas bantal warna-warni. Sebagian lain, yang punya rejeki lebih, duduk di kelas VIP yang sejajar dengan pentas. Penonton baris terdepan di kelas VIP hanya berjarak sekitar 2 meter dengan titik berdiri Andre. Sungguh dekat dan nyaris tanpa batas. Guyub.
Kedekatan itu tak ayal memberi reaksi lebih bagi Andre. Dia sebenarnya sudah dua kali main di Jazz Gunung Bromo, yaitu di tahun 2011 dan 2017. Namun, pada kedua pentas itu, Andre tampil sebagai gitaris yang mengiringi almarhum Glenn Fredly.
DI luar itu, permainan gitar Andre telah menghiasi beberapa album artis ternama, seperti Erwin Gutawa, Vina Panduwinata, Sandhy Sondoro, dan Bunga Citra Lestari. Dia juga aktif sebagai gitaris band The Bakuucakar, band yang dimotori Glenn Fredly. Reputasi Andre sebagai musisi sudah merentang panjang.
Namun, Andre masih terbilang jarang tampil atas namanya sendiri. Dia pernah tampil atas nama sendiri di pentas Java Jazz Festival 2015, dan Indonesia Jazz Festival 2016. Di Jazz Gunung Bromo baru kali ini nama dan fotonya terpampang di poster.
”Rasanya masih grogi, gitu, karena jarak yang dekat dengan penonton. Deg-degan apakah bisa tuntas (lagu-lagunya). Ada aura magis main di kaki Gunung Bromo ini. Saya dapat energi dari situ dan juga energi dari penonton,” kata Andre di belakang panggung seusai tampil dengan raut semringah.
Andre didampingi musisi Marthin Siahaan pada kibor, Fajar Adi Nugroho (bas), Yoiqbal (drum), dan Didiet (biola). Andre memainkan tensi pertunjukan yang mengalun pelan sejak nomor overture, lalu perlahan naik lewat lagu ”Here with You”, ”Aeonian”, dan ”Here to Stay”. Corak fusi jazz dan rock makin mengental.
Rasanya masih grogi, gitu, karena jarak yang dekat dengan penonton. Deg-degan apakah bisa tuntas (lagu-lagunya). Ada aura magis main di kaki Gunung Bromo ini. Saya dapat energi dari situ dan juga energi dari penonton.
Berikutnya ketika senja makin pekat, Andre mengundang istrinya, Wanda Omar, naik panggung. Pada momen inilah tensi pertunjukan mengendur, jadi makin syahdu dan romantis. Di antara lagu ”Rindu” dan ”Menemukanmu”, pasangan ini berbaku kemesraan. Mereka bercerita bagaimana perjumpaan mereka hingga kencan-kencan yang disegerakan. Amboi manisnya.
Pada dua lagu itu, Wanda bernyanyi sekaligus bermain bas. Fajar istirahat sejenak. Seusai Wanda turun panggung, Andre dan kawan-kawan memungkasi set mereka dengan lagu ”Sahara” yang mengentak. Nuansa rock kental sekali. Nomor instrumentalia yang panjang ini menggemuruh hingga ketika selesai, sejumlah penonton berdiri tepuk tangan. Penonton terpuaskan.
Andre tampil setelah Aditya Ong Trio yang membuka festival hari kedua. Trio yang dimotori Aditya Ong pada piano ini memainkan lagu-lagu yang ada di dua album mereka, serta satu nomor jazz standar ”Ask Me Now” dari Thelonious Monk. Rasanya belum banyak yang tahu bahwa Aditya Ong Trio telah mengeluarkan dua album, yaitu #Introducing… yang dinominasikan sebagai album jazz terbaik dari Anugerah Musik Indonesia Awards, juga album ”It’s a Brand New Life” yang salah satu lagunya, ”A New Life” dinominasikan sebagai karya produksi instrumentalia terbaik di ajang yang sama.
Katalog itulah yang dipamerkan trio asal Solo ini pada ratusan penonton Jazz Gunung Bromo akhir pekan lalu. Mereka menggubah lagu-lagu dolanan (permainan) bocah dalam gaya jazz, seperti ”Padang Bulan” dan ”Lir-ilir”. Selain itu, Aditya, Laurentius Bob (kontrabas), dan Eliezer Robby (drum) juga memainkan nomor yang cukup rumit, ”Not Too Odd to Surakarta”, sebagai kode bagi kota asal mereka.
Penonton menikmatinya; entah sambil mengudap, mengobrol, atau menyimak dengan khusyuk. Aplaus juga diberikan setiap lagu usai.
Sama asyiknya
Pada hari pertama, yaitu Jumat (23/7/2022), pianis/kibordis Irsa Destiwi dan vokalis Nesia Ardi juga jadi penampil awal. Wajah dan nama dua perempuan ini terpampang di poster. Irsa adalah pemusik yang telah beberapa kali tampil mengiringi nama besar, seperti Dew Budjana dan Tohpati. Dia juga mencipta lagu yang terangkum dalam album solonya, Rosy Cheeks, keluaran April 2021.
Rekan duet Irsa, Nesia Ardi, tak kalah produktif. Nesia membentuk trio Nonaria yang sudah punya album, serta jadi guru vokal. Di Jazz Gunung Bromo, mereka memainkan lagu-lagu gubahan Irsa dan Nesia dalam corak cool jazz, seperti ”My Name is Ruby”, ”Letnan Hardi”, ”Undefined”, dan ”Minya” yang terinspirasi dari kucingnya Nesia. Penampilan dan musik racikan mereka membuat sore di kaki gunung menjadi ceria.
Festival Jazz Gunung Bromo dengan satu panggungnya mengenalkan Aditya Ong Trio, Andre Dinuth, serta Irsa dan Nesia kepada penonton. Karena lokasi penyelenggaraan yang bisa dibilang terpencil, hadirin benar-benar berniat menonton musik. Apalagi, harga tiketnya relatif mahal, yaitu Rp 500.000 hingga Rp 1,25 juta per orang per hari. Rugi rasanya sudah jauh-jauh datang dan beli tiket mahal, tetapi melewatkan aksi penampil awal.
Andaikata festival ini digelar dalam banyak panggung (multistage), besar kemungkinan nama-nama mereka tenggelam oleh bintang-bintang besar. Pengunjung cenderung mendatangi panggung artis yang lebih ternama. Tapi, itu tidak terjadi di Jazz Gunung Bromo karena panggungnya cuma satu. Meski begitu, fasilitas yang didapat penampil awal setara dengan bintang utama; tata suara yang menggelegar, serta permainan lampu yang genit maksimal.
Jadi, menonton penampil awal dan penampil utama di Jazz Gunung Bromo memberi keasyikan yang sama. Bedanya mungkin hanya pada susunan lagu lebih populer yang disuguhkan bintang ternama.
Keberadaan panggung tunggal di acara ini patut diapresiasi. Hanya saja, keterlibatan kreativitas anak muda setempat, yaitu Probolinggo, masih bisa dimaksimalkan. Dari tahun ke tahun, mereka memang dilibatkan sebagai pendamping tamu. Namun, sebenarnya kaum muda Probolinggo potensi kreativitas lain, seperti seni grafiti, desain grafis, juga musik. Tak ada salahnya menggandeng mereka, bukan?