Festival tahunan Jazz Gunung Bromo kembali berkumandang pada 22-23 Juli 2022 di Jiwa Jawa Resort. Hawa dingin ”menghangat” karena kapasitas ruang diisi maksimal 2.000 orang, Kemeriahan inilah sejatinya festival.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·6 menit baca
Masih terngiang ucapan ”sampai jumpa tahun depan” pada akhir acara Jazz Gunung Bromo tahun lalu yang dihelat dengan protokol kesehatan amat ketat. Harapan itu benar mewujud pada Jumat (22/7/2022) sampai Sabtu. Festival tahunan ini kembali hidup sebagaimana mestinya; digelar lebih dari satu hari, lebih banyak penampil, lebih banyak penonton, dan lebih hangat, meski bunga-bunga kecubung belum bermekaran.
Semangat acara ini terwakilkan dalam lagu ”Kehidupan” yang dilantunkan Achmad Albar dan Ian Antono sebagai penampil terakhir di hari pertama. Duo dari grup God Bless ini tampil bareng diiringi band Blue Fire Project pimpinan basis Bintang Indrianto yang juga menyertakan kelompok musik tradisional angklung dari Banyuwangi.
Kenikmatan menonton musik secara langsung tanpa dibatasi ukuran layar gawai dikembalikan kepada sejatinya. Tata suara berdentum serta kilatan lampu menyapu wajah-wajah penonton. Hal ini yang sebelumnya absen dari kancah pertunjukan.
”Senang sekali bisa bertemu langsung di sini setelah dunia hiburan sempat vakum (karena pandemi), dan kita semua haus hiburan. Sekarang bisa ketemu lagi,” kata Iyek, panggilan Achmad Albar, sebelum memainkan lagu ”Kehidupan”. Lagu itu menyiratkan semangat.
Petikan lirik ”Kehidupan” yang juga dinyanyikan banyak penonton yang hafal begini, “Tunggu kutarik nafasku/Kubasuh dulu wajah ini/Ayo lari/Hei, hei, tunggu dulu/Ayo lari/”. Achmad Albar dan Ian Antono seolah mengajak industri hiburan berlari lagi setelah sempat berhenti dan perlahan bergerak lagi. Inilah saat yang tepat untuk berlari.
Penyelenggaraan Jazz Gunung Bromo pun demikian. Tahun lalu, acara ini cuma digelar satu hari saja. Kapasitas amfiteater yang bisa menampung 2.000 orang dibatasi untuk 500 orang saja. Jarak duduknya berenggangan. Lontaran-lontaran dari penonton sepi. Gerak-gerik mereka pun terbatas; merapat sedikit dengan sejawat langsung ditegur satgas. Massa benar-benar terkontrol.
Pemandangan berbeda sekali dengan penyelenggaraan tahun ini. Aturannya melentur meski kerap diingatkan untuk memakai masker di arena. Tetapi bolehlah sesekali melepasnya. Penonton, yang membeli tiket seharga Rp 500.000 sampai Rp 1,25 juta per hari per orang, diperbolehkan makan dan minum di arena. Merokok pun boleh asal dapat persetujuan dari rekan sekitarnya. Satgas penanggulangan Covid-19 tak lagi berkeliling di arena.
Aturan yang mengendur ini sebagai dampak dari syarat wajib penonton sudah mendapatkan vaksin; vaksin penguat untuk penonton dewasa dan dua dosis vaksin untuk anak. Makanya, suara-suara penonton yang ikut bernyanyi tak lagi terbekap masker penutup mulut. Suara mereka melantang.
Ini terdengar jelas di lagu terakhir yang dinyanyikan Achmad Albar dan kawan-kawan, yaitu ”Rumah Kita”. Larik ”Lebih baik di sini/rumah kita sendiri/segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa/Semuanya ada di sini” menggema di amfiteater sekitar pukul 22.00 ketika suhu udara menunjuk angka 13 derajat celsius.
Dingin menyingkir sejenak. Kabut pun lenyap menyuguhkan langit penuh bintang. Beberapa pasangan saling bersandaran, mengumpulkan kehangatan. Ada ”kehidupan” yang baik-baik saja di ”rumah” itu.
Ragam suara
Pulihnya kesehatan salah seorang penggagas Jazz Gunung Bromo, Butet Kartaredjasa, juga mengalirkan energi baik. Seniman panggung ini sempat didaulat maju ke pentas dengan raut berseri-seri. Tahun lalu, dia ”hadir” di acara ini lewat sambungan video saja.
”Sudah tiga setengah tahun saya tidak ke Bromo. Sekarang senang bisa ke sini lagi, menerima dan memberi energi lagi. Karena kalau bicara soal jazz, adalah soal kepekaan kita bersama, menghormati keberadaan, perjumpaan,” kata Butet. Perjumpaan inilah yang disyukuri, tak sekadar menikmati musik, atau malah membedakan gaya musik; mana yang jazz, mana yang bukan.
Maka wajar saja kalau festival ini tidak melulu memanggungkan penampil beraliran musik jazz. Solois Mohammad Istiqamah Djamad, yang bernama panggung Pusakata, memainkan delapan lagunya yang bergaya pop. Dia diiringi pemusik seperti Bintang Indrianto (bas), Ronald Fristianto (drum), Eugene Bounty (saksofon), dan Denny Chasmala (gitar).
Andien, yang tampil di hari kedua, juga kental dengan nuansa pop. Dia atraktif sekali. Gaunnya melambai-lambai lengkap dengan sarung tangan, mengingkari hawa dingin. Andien menghangatkan arena yang bersuhu 13 derajat celsius dengan mengajak penonton berdiri dan berdansa, terutama di lagu terakhir, ”Moving On”, yang memang enak buat bergoyang.
Sebelum Andien, grup Komodo Project pimpinan drumer Gilang Ramadhan menyuguhkan bunyi yang berbeda. Selain Gilang, grup ini diperkuat oleh multiinstrumentalis dan vokalis Ivan Nestorman asal Nusa Tenggara Timur dan Adi Darmawan asal Madura pada bas.
Gilang memainkan drumnya yang berwarna kuning. Tetapi, dia juga keluar dari kurungan set itu untuk memimpin akapela tetabuhan di nomor ”Tatabuhan Sungut”. Dia beradu dengan suara vokal Adi menirukan bunyi kendang bersahut-sahutan. Penonton diajak meramaikan dengan meneriakkan ”tung” dan ”tak”. Tak terbayang, interaksi macam begini terjadi di konser virtual. Interaksi intens ini hanya mungkin terjadi lewat pertemuan langsung.
”Semoga kondisi seperti ini terus terjadi sampai kapan pun. Jaga kesehatan terus supaya pertemuan macam ini bisa terjadi lagi,” kata Gilang.
Ivan Nestorman juga memainkan sasando dari Rote pada lagu ”Ovalangga”. Dia menyanyikan larik dalam bahasa Jawa, lalu merangkai dengan bahasa Manggarai. Di lagu lainnya, ”Wajogea”, Ivan mengajak penonton meneriakkan ”abo yabo” berulang-ulang kali. Kata Ivan, itu adalah sahut-sahutan warga Flores ketika bekerja di kebun.
Hari pertama penyelenggaraan dimulai pukul 15.30 oleh band asal Surabaya bernama Sweetswingnoff, yang dari namanya menyiratkan gaya swing yang mereka usung. Penampilan mereka disusul oleh Irsa Destiwi dan Nesia Ardi. Irsa adalah kibordis muda yang telah kerap tampil di ajang jazz, sementara Nesia adalah penyanyi dan pemusik dari trio Nonaria.
Duet Irsa dan Nesia membawakan lagu-lagu gubahan mereka yang bergaya cool jazz, misalnya nomor pembuka instrumentalia ”My Name is Ruby” ciptaan Irsa, diikuti lagu ”Letnan Hardi” yang dicuplik dari lagu film Tiga Dara. Keduanya lantas memainkan nomor lawas ”Lagu Persembahanku” ciptaan Iskandar dan ”Widuri” yang dipopulerkan mendiang Bob Tutupoly.
”Saya jatuh cinta dengan lagu ini (’Lagu Persembahanku’). Ini adalah karya yang sangat indah, dan saya masukkan di album saya. Saya harap lagu indah ini jadi makin dikenal,” ujar Irsa. Sementara lagu ”Widuri” mengharukan penonton. Jamaah Al-Jazziyah, panggilan untuk penonton festival ini, aktif menyahuti pancingan Nesia pada lirik lagu. Menyenangkan sekali.
Pesta dua hari ini ditutup dengan penampilan dari ”band langganan” Ring of Fire Project yang kali ini menggandeng grup Jogja Hip-hop Foundation. Mereka membawakan lagu, antara lain, ”Nasi Goreng” dan ”Tanjung Perak” dalam langgam keroncong.
Apakah kesenangan ini akan terjadi lagi tahun depan meski hari ini pandemi Covid-19 belum juga usai? Mengapa tidak. Mereka pernah menghelat acara ketika aturan ketat masih ditegakkan dan juga menghimpun orang lebih banyak di tahun ini.
Sigit Pramono, penggagas festival, menjanjikan itu. ”Tahun depan adalah tahun ke-15 festival yang memelopori perhelatan jazz di arena terbuka ini. Kami akan siapkan sesuatu yang spesial,” kata Sigit. Ini panggilan bagi Jamaah Al-Jazziyah agar kembali berkumpul di ketinggian sekitar 2.000 mdpl.