Film animasi ”The Sea Beast” memberi warna baru pada kisah fiksi perseteruan manusia dan monster.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·5 menit baca
Kisah fiksi tentang perburuan dan perseteruan abadi antara manusia dan monster laut raksasa sepertinya tak lagi sederhana dan hitam putih seperti yang kini dikisahkan dalam film animasi The Sea Beast. Selain menggambarkan monster laut seram yang muncul dari kedalaman dan siap melahap serta menenggelamkan kapal-kapal yang lewat, cerita juga menyinggung soal persahabatan dan teori konspirasi. Isu terakhir memang terbilang jarang diangkat dalam film animasi cerita anak-anak.
Film animasi garapan asli (original movie) Netflix ini juga punya durasi terbilang panjang, lima menit menjelang dua jam. Jika dibandingkan dengan film-film animasi sejenis lain, terutama produksi Disney, The Sea Beast boleh jadi masuk kategori lumayan panjang.
Padahal sang sutradara sekaligus kreator animasi The Sea Beast, Chris Williams, adalah mantan animator Disney. Dia telah seperempat abad bekerja untuk Disney.
Dalam wawancara videonya di situs Colider.com, Chris mengaku memang sengaja memilih keluar dari Disney untuk menantang dan mengeksplorasi kemampuannya sendiri.
Chris yang asal Ontario, Kanada, itu sebelumnya dikenal sebagai kreator beberapa film animasi sukses lain produksi Disney. Dia menyutradarai film seperti Bolt (2008), Big Hero 6 (2014), dan Moana (2016).
Menurut dia, walau seperempat abad terakhir dirinya betah dan mengaku diperlakukan dengan baik di Disney, Chris menyebut ada sejumlah keinginan, yang baginya jauh lebih bisa dia penuhi sekarang. Salah satunya adalah tantangan untuk memproduksi karya-karya baru di luar genre yang biasa dia garap sebelumnya.
Saat menerima tawaran Netflix dan kemudian memproduksi The Sea Beast platform pemutar film digital berbayar (OTT) tersebut memberinya kebebasan dalam berkarya, terutama terkait durasi film garapannya.
Chris menambahkan, sejak awal produksi, pihak Netflix sudah paham tentang apa saja yang diperlukan dan mereka memberinya kelonggaran. Seperti dipahami lamanya durasi film juga akan sangat berpengaruh pada ongkos produksinya.
Manusia vs monster
Film animasi The Sea Beast berkisah tentang perseteruan abadi antara manusia dan monster laut, yang dikisahkan sangat jahat dan menyerang kapal-kapal yang tengah berlayar. Monster laut itu ada yang berbentuk mengerikan dan juga ada yang mirip seperti hewan-hewan laut biasa macam kuda laut dan kepiting.
Akan tetapi, monster-monster laut itu punya kesamaan seperti berukuran raksasa dan mampu menghancurkan dan menenggelamkan kapal-kapal besar. Manusia diceritakan berupaya membasmi para monster laut tersebut dengan berbagai cara.
Beberapa bahkan membentuk kelompok pemburu monster, yang berburu di laut lepas dengan kapal-kapal kayu besar mereka. Cara kerja mereka mirip dengan para pemburu mamalia laut, Paus, di dunia nyata.
Salah satu pemburu monster laut yang terkenal digambarkan dalam film itu adalah Kapten Crow (diaktorsuarakan oleh Jared Harris) dengan kapal pemburu legendarisnya, The Inevitable. Sang kapten didukung sejumlah kru pemberani, salah satunya Jacob Holland (Karl Urban). Jacob diceritakan diangkat anak oleh Crow dan diproyeksikan bakal menggantikan dirinya menjadi kapten kapal.
Kelompok pemburu dipimpin Kapten Crow sangat terkenal dan bahkan kerap sukses mengalahkan monster-monster laut. Untuk setiap monster laut yang berhasil dibunuh, mereka membawa potongan tubuhnya lalu ditukarkan dengan hadiah uang dari kerajaan.
Saat kecil, Jacob pernah menjadi korban serangan monster laut. Peristiwa tragis itu menjadikannya anak yatim piatu dan sempat pula nyaris menewaskannya. Jacob ditolong Crow yang menemukannya terombang ambing di laut lepas.
Kisah keberanian para pemburu monster laut tadi berubah sejak kadatangan gadis kecil yatim piatu Maisie Brumble (Zaris-Angel Hator). Gadis kecil itu menyusup ke atas kapal setelah kabur dari panti asuhan.
Maisie awalnya ingin ikut membantu memburu monster yang juga membunuh orangtuanya. Namun, kehadiran gadis kecil itu justru mengubah keadaan, yang sekaligus juga membuat Jacob berpikir ulang soal keberadaan monster laut.
Dia juga dibuat sadar bahwa musuh sesungguhnya dari manusia bukan berasal dari monster-monster tersebut, melainkan justru dari kalangan manusia sendiri.
Penggambaran rinci
Kisah petualangan perburuan monster digambarkan dengan sangat rinci dan meyakinkan dalam film animasi ini. Produser Jed Schlanger menyebut The Sea Beast merupakan perpaduan antara fantasi dan realisme. Ada banyak penggambaran rinci yang memang dibuat berdasarkan riset serius.
Beberapa seperti teknologi kapal kayu yang digunakan, cara mereka berlayar dengan memanfaatkan angin dan arah pergerakan kapal, meriam-meriam dan senjata api, hingga panah serta tombak berburu. Dengan riset serius itu, Jed menyebut filmnya terbilang akurat secara sejarah.
Selain itu, sang sutradara sendiri juga mengaku terinspirasi kuat pada sebuah peta kuno abad pertengahan, yang dilihatnya saat kecil. Dalam peta itu digambarkan bentuk-bentuk monster laut dan makhluk mistis lain, yang diyakini berdiam di perairan atau pulau-pulau tertentu di muka Bumi ini.
”Saya ingat pernah melihat sebuah peta menakjubkan ketika kecil. Seolah peta itu sangat nyata ketika itu. Beberapa bagian bahkan tampak seolah belum selesai atau masih dikerjakan. Dalam peta itu juga terdapat banyak gambar sejumlah monster laut berwarna-warni. Saat itu saya juga berpikir, wow, ini pasti sangat keren jika dibuatkan film animasinya. Nah, sekarang saya telah mewujudkannya,” ujar Chris bangga.
Riset serius juga dilakukan demi mendapatkan penggambaran realistik dalam film tersebut. Chris beserta timnya bahkan meriset dan mendatangi museum kapal bersejarah di San Diego, California, Amerika Serikat, The USS Midway Museum.
Selain mempelajari bentuk kapal perang kayu abad ke-17, Chris juga meriset tali-temali kapal, yang menurut dia sangat penting dan menjadi bagian utama teknologi kapal di masa itu. Penggambaran tentang tali-temali kapal memang tampak sangat rinci dalam sejumlah adegan film animasinya itu.
Pembuatan film animasi The Sea Beast ini memakan waktu sampai tiga tahun, di mana dua tahun di antaranya berlangsung di masa pandemi. Pembuatannya, menurut Chris, banyak tak dilakukan secara tatap muka langsung akibat kondisi pandemi tersebut.