Si pemilik suara teduh itu kembali lagi. Dengan tutur dan kisah yang berbeda, ia menyuguhkan sesuatu yang unik tetapi menarik. Berbekal pengalaman dan ketertarikannya mengantarkannya pada pengembaraan nada.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Si pemilik suara teduh itu kembali lagi. Dengan tutur dan kisah yang berbeda, ia menyuguhkan sesuatu yang unik dan menarik. Pengalaman dan ketertarikannya pada tembang lampau mengantarkannya pada pengembaraan nada yang kian kaya.
Sayup-sayup di kafe kekinian yang berada di dalam gedung di kawasan bisnis mentereng ibu kota, album Wijayakusuma karya Ardhito diputar melatari sesi bincang-bincang siang itu. Interior minimalis modern kafe perlahan seperti mengabur bersalin dengan areal kawasan Melawai sekitar tiga hingga lima dekade silam. Era mama-papa bercengkerama dan berjalan ke sana kemari dengan gaya beragam warna-warni.
Album yang disebut Ardhito sebagai album gambaran perjalanan dirinya ini dibuka dengan instrumental bertajuk ”Mula” yang disusun dari sejumlah hitsnya dari ”Fake Optics”, ”Bitterlove”, ”Fine Today”, hingga ”Perlahan Menghilang”. Lalu ada ”Wijayakusuma” yang racikannya terdengar familiar, termasuk liriknya.
”Ini benar Ardhito?”
Itu yang tercetus dalam pikiran ketika pertama kali mendengarkan lagu ”Wijayakusuma” yang merupakan debut single dari album bertajuk sama milik penyanyi Ardhito Pramono. Denting melodi piano sebagai pembuka disambut alunan strings megah yang mengantarkan pada vokal Ardhito melantunkan lirik berbahasa Indonesia dengan diksi tak biasa.
Sekejap musik milik Guruh Soekarnoputra beserta Swara Mahardhika yang akrab dibawakan Chrisye terngiang. Komposisi lagu ”Sendiri” yang dirilis Chrisye pada 1984 itu serasa dihidupkan lagi oleh Ardhito. Nuansa temaram yang dihadirkan ”Sendiri” beralih pada aura syahdu mendayu dalam ”Wijayakusuma”. Ditambah kolaborasi Ardhito dengan penyanyi macapat, Peni Candra Rini, pada lagu ini lagi mengingatkan Chrisye dengan Waldjinah pada lagu ”Kala Cinta Menggoda” dan ”Semusim”.
”Memang saat itu yang didengerin GSP, makanya jadi inspirasi. Termasuk pemilihan kata dalam liriknya itu bagus banget. Kok bisa gitu. Ngobrol bareng Oomleo (Narpati Awangga) tentang musik dan kondisinya sampai kita bikin lagu berbahasa Indonesia dengan penulisan dan pola tutur yang benar,” tutur Ardhito di Jakarta, Rabu (13/7/2022).
Ya. Liriknya mengingatkan pada tembang ”Melati Suci” yang dipopulerkan Tika Bisono. Secuplik lirik ”Wijayakusuma” berikut ini: Wijayakusuma bersemi merekah/ beri kami nyawa lagi/ dwipa pertiwi nan tercinta//.
Disusul lagu ”Kesan Pertama” yang disebut Ardhito memiliki progresi chord yang berbeda dari lagu yang biasa dimainkannya. Perpaduan nuansa aliran pop/jazz dengan sentuhan city pop ala Dian Pramana Poetra dan Utha Likumahuwa kental pada lagu ini. Sementara, dua lagu lain, yakni ”Berdikari” dan ”Rasa-rasanya”, pengaruh jazz dari Margie Segers diadopsinya.
Dua lagu lainnya, yakni ”Daun Surgawi” yang disebutnya sebagai pengalaman yang tak ingin diulanginya lagi dan dirampungkannya usai ”sekolah” ini dan ”2 Jam” jelas menganut city pop. Album ini pun ditutup dengan lagu ”Asmara” yang aransemennya membangkitkan kenangan pada lagu ”Puspa Warni” yang dinyanyikan Vina Panduwinata dalam Pergelaran Karya Cipta III Cinta Indonesia. Lagu ini juga terasa membaur dengan ”Untukku” milik Chrisye.
Liriknya pun nyaris punya makna seperti lagu ”Untukku”. Berikut cuplikannya: Duhai asmara/Izinkan ku menitip doa juga harap asa/Layak pujangga bersenjatakan kata/Terbiasa gigih ungkap rasa/Akan ada gelora beserta puja//.
Ardhito sengaja memilih hari Rabu (13/7/2022) untuk merilis karena membangkitkan memorinya akan radio day, yaitu perilisan lagu baru di radio yang dilakukan pada hari Rabu.
Berkemeja putih sambil menyesap minuman mimosa yang menyegarkan, Ardhito menyebut albumnya kali ini dengan genre pop Indonesiana yang di dalamnya bercampur aliran city pop ala Fariz RM, Keenan Nasution, Candra Darusman, dan Bagoes A Ariyanto, pop megah dengan sentuhan tradisi ala GSP, hingga jalur yang membesarkannya pop/jazz. Penggarapan aransemen yang beragam ini Ardhito bersama Gusti Irwan Wibowo.
Untuk penulisan lirik puitis dengan diksi yang apik, Ardhito bekerja bersama Oomleo. ”Susah memang. Kalau bikin lagu bahasa Inggris lebih gampang, beberapa menit juga bisa kelar. Ini buka-buka kamus sama tesaurus buat cari padanan kata yang catchy tetapi enggak cringe. Dulu, ada Dewa 19, Utha Likumahuwa, atau Dodo Zakaria. Di dadaku ada kamu tuh hook-nya dapat dan sampai sekarang masih bisa dikenang. Itu yang menantang,” kata Ardhito.
Oomleo menambahkan, bahasa Indonesia yang kaya harus dilestarikan juga melalui karya. ”Namanya aja Ardhito Pramono, bukan John Michael. Kenapa enggak bikin lagu bahasa Indonesia,” ungkap produser album Wijayakusuma ini.
Ardhito sebenarnya pernah merilis lagu berbahasa Indonesia di awal kariernya. Namun sedikit tertatih sehingga menjajal lirik berbahasa Inggris yang justru laku kala itu. Lima kali Ardhito merilis mini album, yaitu Ardhito Pramono (2017), Playlist, Vol. 2 (2017), A Letter to My 17 Year Old (2019), Craziest Thing Happened in My Backyard (2020), dan Semar & Pasukan Monyet (2021).
Perpindahan lulusan Australia ini ke Aksara Records yang menaunginya kini disyukurinya karena memungkinkannya untuk menggarap album dengan komposisi lagu yang diinginkannya, termasuk berbahasa Indonesia. ”Formulanya kan sudah dapat untuk bikin lagu hook, tinggal sekarang ini digabungin dengan idealis kita,” ujarnya.
Titik bangkit
Kehadiran album yang semula untuk menyuarakan keresahannya, nyatanya saat ini menjadi titik bangkitnya baginya. Lagu ”Wijayakusuma”, misalnya, telah disiapkan setahun lalu dan direncanakan untuk dirilis awal tahun ini. Namun nasib berkata lain. ”Enam bulan itu dapat pembelajaran memang,” ujarnya.
Tak memudah memulai lagi. Dukungan sekeliling dan orang-orang yang sejak awal ikut berproses dalam album ini sangat membantunya. ”Sempat ragu. Setelah pulang ’sekolah’ memberanikan diri lagi untuk mencoba nyanyi. Pake teknik lama, hitung pita. Jadi, kalau ada yang salah, harus ngulang lagi yang intinya kayak buang pita yang harganya mahal kan,” jelas Ardhito.
Hingga akhirnya, ia dapat menyelesaikan dengan mulus. ”Wijayakusuma” dan ”Berdikari” merupakan lagu yang sekali rekam langsung jadi. Sementara itu, ”Kesan Pertama” dan ”Daun Surgawi” diciptakan setelah pengembaraannya selama enam bulan.
Seperti bunga wijayakusuma yang konon bisa membangkitkan seseorang dari kematian hingga mewujudkan segala keinginan bagi yang melihatnya mekar, Ardhito pun ingin membuktikan dirinya masih bisa berdikari. Perjalanannya kali ini melintasi masa penuh makna.