Koreografer Yola Yulfianti mempersembahkan ”Inter-FACE”, sebuah tarian kontemporer yang menunjukkan refleksi interaksi sosial di Jakarta.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Intimasi masih mencari tempat di Jakarta tercinta, tetapi manusia urban berangsur melupakannya. Belum lagi sekat sosial menebal lantaran pandemi. Akankah datang masa relasi sosial Jakarta nan erat? Angan itu terjawab dalam pertunjukan tari kontemporer ”Inter-FACE” karya Yola Yulfianti.
Ruangan yang gelap perlahan temaram dengan lampu merah. Rasa sesak menguar sesaat. Di atas panggung, berdiri dua insan berbeda kelamin bersebelahan. Pakaian mereka seadanya. Yang perempuan mengenakan singlet putih dan bokser jingga, sedangkan lelaki tanpa baju hanya memakai bokser merah. Samar-samar suara seperti deru mobil terdengar.
Tak lama tangan mereka saling menggapai lalu berpegangan. Tubuh saling berputar, kini kedua penari itu saling berhadapan. Perlahan dua tubuh itu semakin merapat dan tangan-tangan mengelus. Mereka berpelukan hingga bisa saling menatap dan membaui.
Kedekatan kedua penari semakin intens sejalan waktu. Tubuh keduanya saling meliuk-liuk. Aksi ”gimnastik” yang mesra pun terjadi. Penari perempuan berputar mengelilingi erat si penari laki-laki. Kaki mereka mereka mengait satu sama lain.
Sementara itu, bunyi musik menjadi absurd dan menguat sehingga membuat konsentrasi penonton sedikit terganggu. Semacam tembakan laser berpadu detak jantung samar.
Ruang panggung yang luas sekarang terasa sempit. Penari perempuan dan laki-laki itu bergulat. Mereka memiting satu sama lain sembari tubuh yang berbaring berputar mengelilingi panggung. Dunia serasa hanya milik berdua. Segala suara kebisingan musik yang ada seakan terbenam.
Tanpa disadari, dua bibir saling bertemu. Meskipun pergulatan masih terjadi, bibir mereka tetap bertaut. Musik absurd yang meraung perlahan mereda mengikuti ketenangan gerakan mereka. Berdiri di panggung, kedua penari menyelesaikan ciuman mereka diterangi lampu kehijauan. Pertunjukan akhirnya selesai.
Demikian sekelumit pertunjukan ”My Beautiful City: Jakarta Side B ’Inter-FACE’” oleh koreografer Yola Yulfianti yang digelar Dansity di Institut Français Indonesia (IFI), Jakarta, Kamis (7/7/2022), malam. Tarian Inter-FACE selama 30 menit itu menampilkan penari Nudiandra Sarasvati dan Kevin Julianto.
Istilah interface dalam komputer diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ”antarmuka”. Antarmuka memiliki beberapa arti, salah satunya ialah kartu, colokan, atau perangkat lain yang menghubungkan perangkat keras dengan komputer sehingga informasi dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Begitulah pembedahan maknanya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
”Aku meminjam istilah itu karena dalam konteks ini benar-benar tatap muka. Ada momen dekat sekali (antarpenari),” kata Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta ini.
Refleksi intimasi
Selayang pandang mata awam mungkin akan melihat Inter-FACE sebagai sebuah bentuk seni yang berani. Vulgar. Namun, ada makna lebih yang ingin Yola buat menjadi gamblang. Pesannya tak jauh-jauh dari kegemarannya mengangkat topik kehidupan urban di (calon mantan) Ibu Kota.
Inter-FACE adalah gambaran intimasi ideal yang Yola dambakan kembali terjadi dalam relasi sosial Jakarta. Jakarta yang padat, ramai, dan sibuk. Semua manusia urban di dalamnya bergerak, tetapi tidak saling peduli.
Batasan sosial itu memburuk berkat kehadiran perkembangan teknologi digital yang pesat dan pandemi. Manusia semakin berjarak. Basa basi pertemuan terucap dengan rasa tawar. Tidak ada lagi menongkrong untuk sekadar bercerita di warung. Cukup sudah.
”Kita sebenarnya sering banget banyak kehilangan, dalam pengertian kehilangan momen atau rasa. Ada disrupsi tubuh sehingga kita kayak capek tinggal di Jakarta. Ternyata kita kurang interaksi secara manusia makanya saya mencarinya dengan tubuh untuk melawan batasan itu,” tutur Yola.
Yola merefleksikan hasrat intimasi lewat modifikasi presentasi para penari. Raga polos penari diterangi lampu merah. Mereka berkelindan layaknya jiwa-jiwa api pencari pembebasan. Intimasi bisa terjalin erat meskipun ada distraksi musik, tercipta dari bunyi mesin pencetak, yang merepresentasikan penat kota. Jiwa-jiwa itu akhirnya tenang diiringi perubahan warna panggung menjadi kehijauan nan menenangkan.
Proses pencarian intimasi itu pun terstimulasi lewat interaksi sentuhan tubuh penari ketimbang gerakan musik, properti atau kostum pada umumnya. Dari kulit ke kulit. Mereka saling berpegangan, mengelus, menatap, memeluk, membaui, hingga mencium. Tidak harus dibawa ke konteks jorok. Semua ini dilakukan untuk memunculkan reaksi tubuh. Perasaan menyayangi dan disayangi. Rasa rindu penonton pada orang tercinta bisa tergugah.
Inter-FACE sudah Yola kembangkan sejak 2018 untuk mencari formula yang pas. Penari Dansity, Nudiandra, mengatakan, tarian ini memberi pengalaman baru. ”Kita jadi memakai tubuh nggak cuma tangan, kaki, dan kepala, tetapi indra dan bagian tubuh yang jarang dipakai, seperti bibir, hidung, dan mata. Tantangannya itu nyamain nafas sama penari lain,” ujarnya.
Imaji Jakarta
Tari Inter-FACE merupakan satu dari tiga karya yang akan tampil dalam seri pertunjukan ”My Beautiful City: Jakarta Side B” dari Dansity. Dansity adalah grup tari profesional di Jakarta yang diinisiasi tiga seniman tari, yakni Josh Marcy, Siko Setyanto, dan Yola Yulfianti. Grup yang mengambil konteks kompleksitas kehidupan urban ini baru berdiri pada 2021.
Layaknya kaset tape, Jakarta memiliki dua sisi. Selama ini, sisi A Jakarta yang tampak lantaran statusnya sebagai ibu kota. Jakarta selalu menjadi prioritas. Sudah saatnya sisi lain Jakarta disorot.
”Jakarta Side B itu sebenarnya bayangan kita. Imajinasi dengan desas-desus dan rencana kalau Jakarta bukan ibu kota lagi. Apakah mungkin lebih indah sehingga merangsang sensori kita? Apakah kita tidak lagi berpacu dengan waktu dan keterbatasan ruang lagi?” kata Josh menjelaskan.
Setelah Inter-FACE, tari Ora Obah Ora Mamah dari Siko akan berlangsung pada Agustus ini dan Hidden Figures besutan Josh pentas pada September nanti. Karya Siko membawa narasi perantau mencari makan, sedangkan Josh memperlihatkan hal tersembunyi saat manusia urban berjibaku dengan permasalahan ruang dan waktu.
Inter-FACE menjadi pembuka menarik bagi interpretasi perjalanan Jakarta menuju masa depan. Ini bukanlah kritik, tetapi semacam refleksi apa yang terjadi di kota dan apa yang hilang akibat segala percepatan yang ada.
Interaksi manusia Jakarta kian cenderung dehumanisasi. Senada dengan perkataan sosiolog Georg Simmel soal blasé attitude atau sikap cuek milik masyarakat perkotaan akibat indera yang terstimulasi berlebih. Mereka menjadi kurang rasa peka dan peduli pada lingkungan sekitar.
Apakah Jakarta akan berubah? Para manusia urban yang bisa menentukannya.