Kutukan Mantra Berdarah ”Incantation”
Kepercayaan akan kekuatan spiritual berikut aturan dan tabu yang mengikutinya selalu menarik untuk dijadikan bahan cerita film termasuk di genre horor, seperti yang sukses dilakukan Kevin Ko di ”Incantation”.

Sebuah kutukan mantra berdarah menghantui ibu dan anak akibat kecerobohan di masa lalu melanggar tabu situs pemujaan roh jahat, yang menyaru karakter suci agama Buddha. Film karya sutradara dan penulis naskah Kevin Ko meraup untung besar dan menjadi film horor terlaris sepanjang sejarah perfilman Taiwan.
Meski tidak terlalu banyak mengangkat hal baru, film Taiwan teranyar, Incantation, terbilang sukses menjadi film terlaris sepanjang sejarah film di negeri itu, terutama di genre film horor.
Mengutip situs The Hollywood Reporter, Incantation yang mengangkat kisah kutukan berdarah yang menimpa seorang ibu dan anak perempuan kecilnya itu meraup pendapatan kotor dengan angka fantastis. Total mencapai 7,8 juta dollar AS, setara lebih dari Rp 117,7 miliar. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah.
Film yang penyutradaraan dan penulisan naskahnya digarap sekaligus oleh Kevin Ko itu intinya mengangkat dan mengeksploitasi kepercayaan masyarakat setempat terkait hal-hal gaib berbau mistis. Masalah-masalah klenik masih kuat mengakar dan dipercaya sebagian masyarakat Taiwan.
Hal serupa terjadi di negara-negara lain di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Masyarakat di negara-negara kedua kawasan tersebut punya banyak kemiripan baik secara adat istiadat, budaya, maupun sistem kepercayaan, terutama akan hal-hal yang bersifat supranatural. Hal itu juga masih terjadi pada masyarakat yang hidup di area urban di era kekinian serba teknologi digital.
Di Taiwan, sebagian besar masyarakat masih meyakini keberadaan kekuatan lain di luar kendali manusia, yakni kekuatan mistis atau supranatural yang memengaruhi cara pandang mereka pada kehidupan sehari-hari dan nasib mereka di masa mendatang. Mereka meyakini adanya pahala, budi baik, dan tabu. Mereka yang dianggap melanggar aturan-aturan tadi dipercaya bakal bernasib sial. Sebaliknya, jika tunduk pada aturan itu, mereka akan mendapat keberuntungan.

Sebuah kutukan mantra berdarah menghantui ibu dan anak akibat kecerobohan di masa lalu melanggar tabu situs pemujaan roh jahat, yang menyaru karakter suci agama Buddha. Film karya sutradara dan penulis naskah Kevin Ko meraup untung besar dan menjadi film horor terlaris sepanjang sejarah perfilman Taiwan.
Kepercayaan serta ketakutan macam itulah yang dijadikan bahan dan dieksploitasi ke dalam ramuan utama cerita Incantation. Ko sejak awal yakin memiliki resep jitu untuk kisah horornya. Dia melihat kengerian bisa dibangun ketika penonton memiliki koneksi interaktif dengan cerita yang dikisahkan dalam film yang mereka tonton.
”Saya tahu bagaimana menakut-nakuti penonton dengan memanfaatkan urutan-urutan kengerian secara efektif. Namun, film horor yang baik sebetulnya bukan sekadar perkara seperti itu. Intinya adalah terkait sifat manusia. Penonton harus (dibuat) peduli pada para karakter yang ada dalam film itu,” ujar Ko.
Karya Ko banyak dipengaruhi gelombang film-film horor Asia, yang sempat sukses dan bahkan mendunia sepanjang era tahun 1990-an dan 2000-an seperti film horor Jepang, Ring (1998), Ju On (2000), atau film horor Hongk Kong, The Eye (2002).
Sebelum tayang secara streaming di Netflix mulai 8 Juli 2022, film Ko sudah tayang dan berjaya di bioskop-bioskop Taiwan sejak bulan Maret.
Selain pendapatan besar, karya Ko juga berhasil menyabet tujuh penghargaan film bergengsi di Taipei Film Award. Beberapa kategori yang dimenangi antara lain Penyutradaraan Terbaik dan Ficer Naratif Terbaik.
”Horor Asia bukan sekadar tentang hardcore gore (film sadis berdarah-darah), melainkan juga mampu menjadi film dengan sisi kelembutan. Film-film macam itu memang bisa menakutimu tetapi sekaligus juga mampu menggerakkanmu atau bahkan menyembuhkanmu,” ujar Ko.
Perjuangan ibu
Cerita Incantation berpusat pada upaya seorang ibu menyelamatkan anaknya dari kutukan mematikan, yang sebelumnya menimpanya lebih dulu. Karakter utamanya seorang perempuan bernama Ronan (Tsai Hsuan-yen) yang baru saja dinyatakan sembuh dari gangguan jiwa.

Sebuah kutukan mantra berdarah menghantui ibu dan anak akibat kecerobohan di masa lalu melanggar tabu situs pemujaan roh jahat, yang menyaru karakter suci agama Buddha. Film karya sutradara dan penulis naskah Kevin Ko meraup untung besar dan menjadi film horor terlaris sepanjang sejarah perfilman Taiwan.
Setelah keluar dari fasilitas perawatan kesehatan jiwa yang ditinggalinya selama beberapa tahun, Ronan bertekad ingin hidup normal. Dia ingin membesarkan anak semata wayangnya, seorang gadis kecil, Dodo (Huang Sin-ting).
Dodo yang masih berusia taman kanak-kanak itu sebelumnya terpaksa hidup sebatang kara. Dia tinggal di sebuah rumah panti asuhan pimpinan Ming (Kao Ying-hsuan). Ming sendiri sangat menyayangi Dodo apalagi anak itu juga memanggilnya dengan sebutan ayah. Ming sangat melindungi Dodo.
Kisah seram terjadi tak lama setelah Dodo dan ibunya pindah ke sebuah apartemen baru. Pada hari pertama mereka langsung mengalami beberapa kali gangguan dari sumber tak kasatmata, yang sulit dijelaskan oleh akal sehat. Dodo juga mengaku terganggu dengan makhluk yang hanya bisa dilihat oleh dirinya, yang disebut sebagai ”monster jahat”. Makhluk tak kasatmata itu dalam pandangan Dodo ada di langit-langit apartemen. Makhluk itu kerap menyuruhnya melakukan hal-hal mengerikan.
Ronan menyadari semua kejadian aneh itu terkait peristiwa masa lalunya, yang dia alami enam tahun lalu. Suatu kejadian tragis yang kemudian membuatnya mendekam di rumah sakit jiwa. Sebuah kutukan mengerikan menghantui Ronan dan membunuh orang-orang dekat atau siapa saja yang ada di sekelilingnya.
Awalnya kutukan berdarah itu menimpa Ronan usai bersama pacarnya, Dom (Sean Lin), dan sepupu Dom, Yuan (RQ), pergi mengunjungi sebuah desa terpencil. Di desa itu tinggal keluarga jauh Dom dan Yuan, yang saat kunjungan akan menggelar sebuah ritual pemujaan rutin untuk menolak bala.
Ronan, Dom, dan Yuan ke desa itu untuk merekam dan membuat konten internet untuk kanal media sosial mereka bertema pembasmi hantu. Mereka, terutama Yuan, sangat ingin masuk ke dalam sebuah terowongan keramat tempat patung dewa sesembahan keluarga Dom berada. Padahal, semua itu sangat terlarang dan melanggar tabu. Ketiganya nekat dan berakhir tragis.
Sang sutradara menggunakan gaya penyampaian cerita found footage. Teknik dan gaya penyampaian itu juga diterapkan beberapa film horor sukses lain sebelumnya seperti film waralaba Paranormal Activity (2007-2015) dan The Blair Witch Project (2016).
Teknik pembuatan film macam ini menggunakan sudut pandang pengambilan gambar dari orang pertama alias si perekam atau pendokumentasi. Gambar-gambar yang dihasilkan mirip dengan yang ada pada film-film dokumenter. Alur cerita juga dibuat seolah kisah nyata.
Sejak awal sang tokoh utama, Ronan, memulai kisah dengan berbicara ke arah kamera video. Ronan seolah berbicara dan mengajak para penonton memperhatikan cerita yang disampaikannya dan mengajak bersama-sama merapal sebuah mantra untuk membantu diri dan anaknya. Selain itu, lewat kamera videonya Ronan terus merekam seluruh kejadian, yang dia alami bersama anaknya, termasuk saat mereka diganggu kekuatan gaib jahat.
Dengan gaya dan sudut pengambilan gambar film seperti itu, ditambah permainan pencahayaan yang suram dan terkadang ekstrem, film memberi efek kengerian, terutama pada adegan-adegan kesurupan yang dialami sejumlah karakter akibat terkena kutukan kekuatan jahat dewa sesembahan menyaru dalam bentuk tokoh suci dalam agama Buddha.
Kengerian juga dipicu banyak adegan jump scare dan penggambaran luka-luka fisik berdarah-darah dari mereka yang terkena kutukan. Tanpa perlu dibantu efek manipulasi digital pun keseraman cukup terbangun maksimal dengan efek dan make up khusus yang ada.
Namun, sang sutradara tampaknya juga berupaya menjelaskan kepada penonton mengapa film itu menggunakan teknik found footage. Hal itu dilakukan lewat sang pemeran utama, yang beberapa kali dalam dialognya menjelaskan mengapa dia merekam dengan kamera video.

Sebuah kutukan mantra berdarah menghantui ibu dan anak akibat kecerobohan di masa lalu melanggar tabu situs pemujaan roh jahat, yang menyaru karakter suci agama Buddha.
Salah satunya dengan alasan ingin mendokumentasikan momen tertentu untuk anaknya seperti dijelaskan Ronan kepada Ming saat awal mereka bertemu. Menurut Ronan, dirinya ingin merekam momen kepulangan putrinya sebagai kenang-kenangan kelak saat Dodo dewasa.
Penggunaan kamera bersudut pandang atau teknik merekam dari orang pertama juga coba dilogiskan lewat adegan atau alur cerita. Ronan, Dom, dan Yuan merekam video aktivitas berburu hantu mereka untuk membuat konten di media sosial mereka.
Eksplorasi kengerian juga tampak dengan apik ditampilkan sutradara Ko lewat penggambaran desa terpencil dan terowongan keramat beserta isinya. Kisah dalam Incantation sendiri disebut terinspirasi kejadian nyata kematian sekeluarga penganut sebuah aliran sesat.
Walau berkisah tentang kutukan berdarah, roh jahat penyebar kutukan jahat itu nyaris tak pernah ditampilkan jelas dalam film. Kehadirannya hanya sebatas digambarkan lewat dialog Dodo, yang menyebut sosok jahat tak kasat mata itu sebagai monster yang bergerak di langit-langit rumah. Selain itu, kengerian akan entitas roh jahat tadi hanya digambarkan misalnya lewat tayangan rekaman gambar video dari CCTV.
Walau mengangkat hal-hal berbau mistis, Ko mengaku tetap berupaya menghormati segala hal, yang terkait dengan semua itu termasuk soal tabu-tabu yang ada di sekitarnya. Ko sendiri menyukai topik keseraman terkait agama dan tabu agama.
Namun, dalam filmnya ini dia berupaya memperbesar kengerian secara tak langsung, melalui elemen mantra. Topik seputar tabu dan praktik atau ritual keagamaan tertentu diyakini Ko memang akan sangat menarik terutama bagi penonton global.
”Saya suka cerita seram. Meski begitu, saya tetap tidak berani menyentuh topik ini. Aku ingin memperbesar perasaan itu dalam bentuk mantra. Selain itu, beberapa elemen lain yang membuat genre horor menjadi dinamis adalah keberadaan rasa takut akan kematian serta (ketakutan) terhadap suatu kekuatan yang tidak kita ketahui,” kata Ko.
Dalam siaran pers, Janslle Ong, Manajer Akuisisi Konten Berbahasa Mandarin Netflix, mengaku bangga bisa bermitra dengan generasi baru pembuat film Asia seperti Ko. Ia berharap karya Ko bakal menciptakan dan memberikan arti teror baru bagi penonton Netflix di seluruh dunia.