Boris Savoldelli secara mengejutkan mampu mendendangkan ”Bubuy Bulan” dengan lirik Sunda yang cukup fasih. Sementara ”Arafura” mengalihkan adagio menuju kerancakan dengan jemari saksofonis Ofer Asaf yang menari lincah.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Setelah dua tahun terhenti karena pandemi, 1st International Moonjune Music Festival menandai kembalinya Dwiki Dharmawan ke ajang internasional. Tak tanggung-tanggung, ia mengaransemen hampir semua lagu yang dibawakan hingga didapuk menjadi jenama grupnya, Dwiki Dharmawan Band.
Penampilan band tersebut dibuka alunan keytar yang bernada magis, mungkin juga sedikit misterius. Bak ular yang meliuk-liuk, Dwiki dengan lincah memainkan instrumen serupa kibor kecil itu. Boris Savoldelli menyusul dengan melantunkan ”Night in Murcia”.
Yaron Stavi membuntuti dengan kepiawaiannya mencabik bas yang ditingkahi permainan saksofonis Ofer Assaf. Petikan gitar Nguyen Le dan dentingan piano Beledo menggenapi lagu tersebut. Sesekali, Boris melancarkan scat atau semacam musikalisasi ocehan bernuansa elektrik.
Lewat efeknya, ia membubuhkan intonasi kuat yang menyelingi dominasi instrumentalia. Dwiki yang berdiri di sebelah kanan panggung terlihat mengenakan pakaian beraksen Nusantara dengan ikat kepala ungu khas Jawa Barat dan selendang coklat dari Flores.
Baru lagu pertama, penonton yang duduk ataupun berdiri sudah bertepuk tangan riuh. Dwiki lantas menyapa mereka dengan mengucapkan selamat malam. ”Sebenarnya, lagu itu belum dirilis. Semoga bisa diluncurkan bersama album baru saya,” ujarnya dalam bahasa Inggris.
Musisi bermacam genre dari 13 negara meramaikan festival di Jajce, Bosnia-Herzegovina, itu yang dibuka pada 24 Juni 2022. Dwiki Dharmawan Band memungkasi festival tersebut dengan tampil pada hari terakhir, Minggu (26/6/2022), yang dimulai sekitar pukul 21.30 atau 02.30 WIB.
”Bubuy Bulan”
Dwiki mengungkapkan kegembiraannya berkunjung kembali ke Jajce untuk kedua kalinya. Beralih memegang kibor, ia lanjut menghibur penonton dengan ”Frog Dance” yang ceria dari albumnya, Pasar Klewer. Kali ini, corak Tanah Air sungguh kental meski didendangkan Boris, asal Italia.
Saat bridge, Dwiki memainkan nada-nada khas Jabar yang pekat di sela lagu seraya tampak terbius dengan menengadahkan wajahnya. Latar belakang layar itu yang memajang foto-foto keelokan Zamrud Khatulistiwa, antara lain Danau Toba, Borobudur, Lombok, dan Raja Ampat.
Ia sempat mengenalkan personel-personelnya sebelum mengepilogkan ”Bubuy Bulan”, termasuk Asaf Sirkis. Warga Inggris itu meski ditempatkan paling belakang karena terhalang musisi-musisi lain, tak mengurangi porsinya untuk beratraksi dengan drum.
Boris secara mengejutkan mampu membawakan ”Bubuy Bulan” dengan lirik Sunda yang cukup fasih diselingi bahasa Italia. Musik mengalun lambat dengan warna jaz yang sendu. ”Lagunya berasal dari kampung halaman saya. Semoga suka. Saya berasal dari Bandung, Jawa Barat,” kata Dwiki.
Hampir separuh repertoar yang menyuguhkan khazanah kebudayaan dari aneka provinsi menegaskan keindonesiaan dalam pentas di negara Balkan tersebut. ”Arafura” umpamanya, mengalihkan adagio menuju kerancakan dengan jemari Ofer yang lincah menari di atas tuts-tuts saksofon.
Septet tersebut juga mempersembahkan ”Pasar Klewer”. Aransemen yang terinspirasi kebakaran pusat perniagaan rakyat di Solo, Jawa Tengah, pada 2014 itu terdengar sangat Indonesia berkat warna pentatoniknya. Musim panas berangsur dingin dengan hawa malamnya, tetapi tidak demikian dengan Dwiki.
Kehangatan Dwiki yang menanyakan pengunjung soal kegembiraan menyaksikan pergelarannya diiyakan mereka dengan riuh. Lalu, mengalunlah ”Coromandel” karya Nguyen, disusul ”Assajee” gubahan Boris tentang lelaki yang tengah dimabuk cinta.
”Apa daya, pujaannya menolak mentah-mentah. Demikian banyak yang diperjuangkan lelaki itu. Maka, terjadilah assajee, artinya begitu banyak,” ujar Boris. Ia semakin trengginas melantangkan lagu berbahasa ibunya itu dengan tarian yang mirip tarantella dari Italia.
Dwiki pun menyampaikan terima kasih kepada Kedutaan Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina sebelum berfoto bersama. ”The Spirit of Peace” dan ”Money” menutup kebolehan grup musik tersebut selama hampir dua jam yang turut disaksikan Wali Kota Jajce Edin Hozan.
”Semangat kami menyebarkan pesan cinta, pengertian, dan toleransi kepada dunia,” kata produser, manajer tur, dan pendiri Moonjune Records Leonardo Pavkovic. Ia bahkan menyebut Dwiki dan rekan-rekannya sebagai grup musik super. Di bawah label Moonjune Records, personel-personel band itu sudah menelurkan 25 album.
”Tahun depan, festival akan digelar di Toledo (Spanyol). Kami berencana mengadakan pesta musik lagi di Ubud (Bali), tahun 2024,” katanya. Ia sudah memikirkan proyeksinya masak-masak dengan mencanangkan rangkaian konser itu hingga tahun 2025 di Puglia, Italia. Syaratnya, lokasi festival tersebut harus indah.
Kasih kejutan
”Bukan Leonardo kalau enggak kasih kejutan. Ofer dimasukkan, jadi saya ketemu pemain baru lagi. Kadang-kadang, saya suka syok,” kata Dwiki sambil tertawa. Musisi dari Amerika Serikat itu kritis dengan menanyakan macam-macam detail, tetapi ia sangat menyenangkan.
Dwiki fokus menggali potensi setiap musisi yang tampil dalam 1st International Moonjune Music Festival dengan latar belakang budaya berbeda. ”Jadi spirit bersama. Komposisi asli saya serahkan untuk dikembangkan teman-teman sebebas mungkin,” katanya.
Improvisasi menerbitkan kebaruan sesuai kultur masing-masing musisi. Ia memang tak ingin performa Dwiki Dharmawan Band sama dengan rekamannya. ”Saya berharap melingkupi penonton dengan kegembiraan dan energi dari Indonesia sehingga festivalnya lebih berwarna,” katanya.
Kolaborasi Dwiki dengan Moonjune Records bukannya karbitan. Ia dan Leonardo berkenalan pada 2008. Dwiki pun mencetak album So Far So Close bersama Tohpati, Dewa Budjana, dan tiga musisi asing yang direkam di Los Angeles, Amerika Serikat, pada 2015.
Apresiasi global menghampiri Dwiki berkat tangan dingin Leonardo. Sekitar 70 media meresensi album itu yang memotivasi mereka merekam Pasar Klewer. ”DownBeat Magazine menganugerahi Pasar Klewer dengan Album of The Year 2016. Jazzwise Magazine juga memberikan penghargaan Best Albums 2017,” katanya.
Transportasi, konsumsi, dan akomodasi Dwiki di Jajce ditanggung Moonjune Records. Ia mengimbau musisi untuk tak tergantung pemerintah. ”Bersinergi harus, tapi bukan minta-minta. Setelah bom Bali (2002), misalnya, Krakatau Ethno ke Amerika Serikat karena kunjungan turisnya ke Indonesia drop,” katanya.
Sinergi itu pula yang mengantarkan Dwiki melanglang ke Italia, Austria, Australia, Jepang, China, hingga Afrika Selatan. ”Saya juga bantu musisi lain. Seperti waktu diminta Umbria Jazz Festival di Italia mereferensikan musisi Indonesia, saya pilih Sri Hanuraga,” katanya.