Konflik dalam keluarga biasa terjadi. Menjadi menarik dan lebih rumit ketika hal itu bersinggungan dengan masalah lain macam adat, sosial, dan agama.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·4 menit baca
Konflik dalam rumah tangga adalah sesuatu yang biasa terjadi. Dari dulu sampai sekarang pertentangan dan pertengkaran antaranggota keluarga, antara suami dan istri, anak dan orangtua, atau lebih spesifik ayah dan anak laki-lakinya, adalah hal lumrah.
Semua sudah menjadi bagian dari dinamika dalam berkeluarga. Meski begitu, semua konflik bisa menjadi rumit, unik, dan menarik ketika bersentuhan dengan banyak faktor lain, seperti lingkungan sosial, agama, budaya, dan adat istiadat.
Persoalan-persoalan seperti itu ditangkap untuk kemudian disajikan dengan pas oleh sang sutradara sekaligus penulis naskah film Ngeri-ngeri Sedap, Bene Dion Rajagukguk. Film drama keluarga berlatar budaya Batak ini sedikit banyak juga diakui Bene terinspirasi dengan apa yang dia alami sendiri.
Film yang kebanyakan lokasi pengambilan gambarnya berlatar kawasan wisata cantik Danau Toba itu diawali dengan kerinduan Mak Domu (Tika Panggabean) terhadap ketiga putranya yang merantau. Oleh suaminya, Pak Domu (Arswendi Bening Swara), Mak Domu diminta berpura-pura minta bercerai agar ketiga putranya mau pulang kampung.
Sang suami meyakinkan istrinya bahwa hanya dengan cara seperti itu ketiga anak mereka: Domu (Boris Bokir), Gabe (Silolox), dan Sahat (Indra Jegel), mau kembali dari perantauan. Belakangan siasat Pak Domu sebenarnya juga terkait ego dan kepentingan pribadinya sendiri.
Salah satunya agar ketiga anaknya pulang dan hadir di sebuah pesta adat keluarga, yang mengharuskan kehadiran mereka sekeluarga secara utuh. Padahal, salah satu alasan kenapa ketiga putra mereka tak mau pulang adalah hubungan yang telanjur tak harmonis dengan sang bapak.
Unsur komedi
Selain menyajikan konflik batin dan perasaan, yang lumayan mengaduk-aduk emosi, sang sutradara tak lupa memasukkan unsur-unsur komedi ke dalam ceritanya. Bisa dibilang antara adegan-adegan pemicu air mata dan tawa lumayan berimbang di sepanjang jalan cerita.
Tak hanya itu, film ini sedikit banyak dapat membantu orang memahami seperti apa rasanya menjadi orang Batak. Berikut beragam kondisi serta tuntutan dari adat serta kondisi sosialnya. Pola hubungan, baik di dalam maupun antarkeluarga, sesuai adat serta religiusitas masyarakat Batak, juga tergambar jelas dalam film perdana rumah produksi Imajinari ini.
”Sebenarnya film ini juga enggak cuma pengin memperkenalkan adat Batak ke orang non-Batak. Saya juga ingin mengenalkan adat istiadat Batak justru ke sesama orang Batak. Tidak semua dari mereka tahu tentang adat istiadat Batak-nya,” ujar Bene, Minggu (22/5/2022).
Dalam beberapa adegan digambarkan kekikukan serta kegagapan anak-anak keluarga Domu terhadap adat istiadat tanah nenek moyang mereka. Ketidakpahaman itulah yang justru menjadi sumber masalah lantaran sang ayah menganggapnya sebagai ketidakpedulian anak-anaknya.
Bene berkisah tentang perjalanannya menulis naskah hingga akhirnya memproduksi film ini. Hal itu disampaikan seusai menonton bareng filmnya secara terbatas beberapa hari jelang tayang perdana, awal Juni 2022. Selain Bene, juga hadir Tika, Arswendi, dan sang produser Dipa Andika.
”Aku sendiri juga enggak terlalu paham semua adat Batak. Selulus SMA aku kuliah di Yogyakarta, aku baru paham kalau budayaku sendiri unik dan berbeda dengan budaya Jawa. Baru dari situ aku juga belajar dan coba lebih paham. Dari situ juga pengin sama-sama belajar untuk saling memahami perspektif masing-masing,” tambahnya.
Dengan begitu, pemahaman terhadap budaya dan adat Batak, baik di kalangan orang Batak maupun mereka yang berasal dari budaya lain, bisa sama-sama meningkat dan saling paham. Dari situ orang akan semakin paham dan mencintai keanekaragaman budaya Indonesia dan tidak lagi terjebak pada berbagai bentuk stereotyping.
Dalam filmnya, Bene tak hanya memasukkan sejumlah ikon maupun peristiwa simbolis terkait adat Batak macam cuplikan pesta adat. Dia juga menyisipkan banyak produk budaya lainnya macam beberapa jenis kuliner khas Batak, seperti mi gomak dan mi sop. Tidak ketinggalan ia menyodorkan keindahan alam Danau Toba.
”Jadi, kalau kita bicara Indonesia kaya dengan ragam budaya dan adat istiadatnya, setidaknya lewat produk-produk film yang ada, klaim itu bisa terlihat. Makanya saya bikin film ini dan silakan orang lain juga membikin film terkait kekayaan budaya dan adatnya juga,” ujarnya.
Walau mengangkat tema serius dan lebih dideklarasi sebagai bergenre drama keluarga, film ini juga menyajikan sejumlah adegan lucu, yang lumayan mengundang derai tawa penonton. Tak hanya berjudul frasa populer lama di Sumatera Utara, jaminan keberadaan unsur komedi di film ini juga terkait status para pemainnya yang merupakan para komika.
”Bene sendiri, kan, sebelumnya seorang komika lulusan ajang Stand Up Comedy di Kompas TV. Tetapi, dia juga punya kemampuan menulis naskah. Proyek pertamanya di film pernah jadi konsultan komedi film Cek Toko Sebelah. Dia produktif menulis dan juga menyutradarai seperti film Suzanna Reborn dan Ghost Writer,” ujar Dipa.
Uniknya, tambah Dipa, para pemain yang terlibat dalam film ini sejak awal diincar dan direncanakan oleh Bene.