Band rock Placebo meluncurkan album baru bertajuk ”Never Let Me Go”. Meski judulnya romantis, lagu-lagunya berisi kegetiran.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·3 menit baca
Benar adanya bahwa ada jeda 9 tahun bagi band rock elektronika Placebo untuk mengeluarkan album baru Never Let Me Go. Namun, mereka tidak sepenuhnya menghilang; sederet album kompilasi dan rekaman konser diluncurkan. Tur ekstensif memainkan hits tenar digelar sampai sebelum pandemi Covid-19 menghantam. Sekarang, mereka kembali dengan kenyataan pahit masa kini.
Band yang kini hanya beranggotakan Brian Molko dan Stefan Olsdal ini meluncurkan album Never Let Me Go (NLMG) di bawah label So Recordings pada 25 Maret lalu. Musiknya tidak sekencang album perdana keluaran 1996 dulu. Warna album NLMG ini cenderung bertempo sedang, seperti pada album-album Meds (2006), Battle for the Sun (2009), dan Loud Like Love (2013).
Kehilangan penabuh drum berkonsekuensi pada penggunaan drum mesin. Sisi baiknya, bunyi drum bikinan itu justru berjejalin dengan suara synthesizer. Brian Molko, vokalis sekaligus pemain gitar utama, mempertahankan bunyi distorsi gitar tebal nyaris pada setiap lagu. Walhasil, ciri khas rock yang berbalut elektronika sama sekali tak meluntur, malah menegaskan bentuk musik grup yang tenar dengan lagu ”Pure Morning” dan ”Every You Every Me” ini.
Sebelum album beredar, Placebo melepas rangkaian singel ”Beautiful James”, ”Surrounded by Spies”, ”Try Better Next Time”, dan ”Happy Birthday in the Sky”. Itulah nomor-nomor andalan di album ini. Lagu-lagu itu membahas tema seperti saturasi dunia teknologi, kematian, dan kehancuran ekologi. Kenyataan pahit itulah yang menjadi benang merah album.
”Paranoia, tragedi, ketidakadilan yang kita lihat di mana-mana, rasa sakit, keputusasaan, semuanya memengaruhi album ini dari segi atmosfer,” kata Molko dalam siaran pers.
Distopia pengawasan ala novel 1984 karangan George Orwell terpampang secara gamblang pada lagu ”Surrounded by Spies”, dan makin menyeramkan karena Molko menyanyikan kalimatnya diuang-ulang. Penembakan semena-mena warga sipil diceritakan secara melankoli di lagu ”Happy Birthday in the Sky”. Sementara ”Try Better Next Time” yang renyah itu justru berkisah tentang dampak bencana iklim yang petikan liriknya menyarankan manusia untuk ”menumbuhkan sirip dan kembali menyemplung ke air”.
Tema-tema seperti itu rasanya tak asing dalam delapan album katalog Placebo. Pada karya terdahulu, Molko kerap menyinggung topik kerentanan, keterasingan manusia, dan pengaburan identitas jender. Topik-topik itu seringkali dibalut dengan musik pop kelam, atau rock yang mengentak.
Cerita-cerita getir dari lirik Placebo seolah dibenturkan dengan pemilihan judul album yang manis. Frasa ”never let me go” atau ”jangan biarkan aku pergi” terdengar romantis. Molko punya alasannya.
”Placebo selalu memberi judul album yang personal, seperti Without You, I’m Nothing’, atau A Place for Us to Dream yang retrospektif. Aku sangat suka rasa intim dalam frasa ’never let me go’. Aku mengambil frasa itu dari buku karangan Kazuo Ishiguro yang menceritakan manusia-manusia kloning,” kata Molko yang pernah berduet dengan mendiang David Bowie ini.
Album ini mungkin tak menyodorkan rasa optimisme, tapi memang begitulah Placebo. Album ini adalah sintesis pengendapan pengalaman mereka di masa wabah penyakit, dan perubahan iklim yang makin tak menentu. Jika kenyataan itu terlalu pahit ditelan, setidaknya NLMG jadi album bagus untuk mengiringinya.