Merindu Semar Bersama Nasirun dan Sindhunata
Perupa Nasirun membuat sejumlah lukisan yang menggambarkan aneka rupa sosok Semar. Lukisan-lukisan yang dibuat untuk ilustrasi buku karya Sindhunata itu menghadirkan Semar yang tak sempurna tapi selalu dirindukan.
Perupa Nasirun membuat sejumlah lukisan yang menggambarkan aneka rupa sosok Semar. Lukisan-lukisan yang dibuat untuk ilustrasi buku karya Sindhunata itu menghadirkan Semar sebagai sosok yang tak sempurna tapi selalu dirindukan karena dia adalah pembawa harapan dan pengayom bagi mereka yang terpinggirkan.
Sosok Semar itu tak seperti yang biasa kita lihat dalam pentas-pentas wayang. Alih-alih memakai kain jarik sebagai bawahan, dia justru mengenakan celana panjang ketat warna biru. Kaos lengan panjang dengan simbol huruf S melekat di badannya, sementara jubah merah berkibar-kibar di belakang punggungnya.
Semar itu juga tidak berjalan kaki, melainkan terbang dengan tangan kiri mengepal ke atas. Di belakangnya, tampak bulan purnama bersinar terang. Meski kostumnya lebih mirip tokoh superhero Superman, sosok itu benar-benar Semar, dengan wajah yang tak rupawan serta perut dan bokong yang besar.
Baca juga: Tirakatan Kemerdekaan Indonesia ala Nasirun
Dalam pameran tersebut, Nasirun menghadirkan 13 lukisan tentang Semar, tokoh yang dikenal dalam dunia pewayangan Jawa. Semar merupakan tokoh utama dalam kelompok punakawan yang bertugas sebagai abdi atau pelayan sekaligus pengasuh dan penasihat para kesatria.
Sebagian besar lukisan yang ditampilkan dalam pameran itu sebenarnya dibuat Nasirun sebagai ilustrasi untuk buku Anak-anak Semar karya Sindhunata. Pembukaan pameran itu pada Minggu (15/5/2022) lalu juga digelar bersamaan dengan perayaan 70 tahun Sindhunata yang dikenal sebagai wartawan senior dan sastrawan.
Anak-anak Semar, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Mei 2022, merupakan pengembangan dari buku Sindhunata berjudul Semar Mencari Raga yang terbit tahun 1996. Buku itu bercerita tentang perjalanan tokoh Semar sebagai simbol pembawa harapan serta pengingat terhadap nilai-nilai dan akar kebudayaan lokal di tengah perubahan zaman.
Baca juga: 70 Tahun Sindhunata, Penulis Serba Bisa dan Guru Kehidupan
Sindhunata menyebut, Anak-anak Semar merupakan gabungan antara novel dan esai. Sebab, dari sisi struktur, buku tersebut memang menyerupai novel yang memiliki alur penceritaan dengan beragam tokoh. Namun, di dalam struktur novel itu, Sindhunata juga memasukkan berbagai gagasan dan opini personalnya seperti yang biasa terdapat dalam esai.
“Buku itu semacam novel esai, jadi esai dalam bentuk novel atau novel yang memiliki sifat esai,” kata Sindhunata yang pernah bekerja sebagai wartawan Harian Kompas.
Sindhunata menuturkan, dirinya memang sengaja meminta Nasirun membuat lukisan sebagai ilustrasi untuk buku Anak-anak Semar. Dalam proses pembuatan lukisan itu, Sindhunata kerap bercerita ke Nasirun tentang kisah Semar yang ditulisnya. Meski begitu, Sindhunata tak menuntut Nasirun untuk membuat lukisan yang sama persis dengan cerita Anak-anak Semar.
“Saya cerita isinya apa, lalu Mas Nasirun membuatnya. Kadang-kadang saya tidak menuntut harus sesuai dengan teks, biar interpretatif dan memperkaya,” ujar Sindhunata.
Nasirun mengatakan, tokoh Semar merupakan warisan agung dari kebudayaan Jawa masa lalu. Oleh karena itu, Nasirun mengaku langsung setuju saat diminta Sindhunata membuat ilustrasi untuk buku Anak-anak Semar. “Pameran saya ini hanya ingin mangayubagyo (turut berbahagia) ulang tahun Romo Sindhunata yang ke-70,” tuturnya.
Tafsir
Meski dibuat sebagai ilustrasi buku, lukisan-lukisan Nasirun dalam pameran ini tetap bisa dinikmati sebagai karya yang utuh dan mandiri. Hal ini karena Nasirun sebagai seniman tentu memiliki tafsir sendiri mengenai tokoh Semar dan kisah-kisahnya. Meski begitu, tafsiran atas lukisan-lukisan Nasirun itu bakal menjadi lebih kaya jika kita membaca buku Anak-anak Semar.
Lukisan "Super Semar", misalnya, bisa kita maknai sebagai upaya Nasirun untuk menafsirkan sosok Semar yang dipercaya memiliki kesaktian. Sebab, selain menjadi abdi dari para kesatria, Semar juga dikisahkan merupakan penjelmaan dari dewa bernama Sang Hyang Ismaya. Oleh karena itu, Semar pun diceritakan sebagai sosok yang sakti meski dia juga memiliki sejumlah kekurangan, misalnya fisik yang tak rupawan dan sering kentut sembarangan.
Baca juga: Sindhunata, Kramat Tunggak, dan Pramoedya
Akan tetapi, jika membaca Anak-anak Semar, kita mungkin bakal memiliki tafsir yang lebih politis dan menarik terhadap lukisan “Super Semar”. Sebab, dalam buku itu, Sindhunata bercerita tentang Supersemar yang disebutnya sebagai Semar di atas Semar. Meskipun penuh ketidakjelasan, Supersemar itu disebut memiliki kesaktian karena bisa mendorong munculnya kekuatan politik baru yang menggantikan kekuatan lama.
“Banyak terjadi pertumpahan darah karena pergantian itu, karena dan demi Supersemar. Sampai sekarang pun, rakyat tetap bingung, apakah sesungguhnya Supersemar itu, sampai ia bisa demikian sakti tapi misterius. Mungkin, karena Supersemar itu adalah Semar yang di atas Semar? Semar saja demikian saktinya, apalagi Semar yang di atas Semar,” tulis Sindhunata.
Dari tulisan itu, kita tahu Sindhunata menggunakan kisah Semar untuk menyinggung ihwal Surat Perintah Sebelas Maret atau kerap disingkat Supersemar, sebuah dokumen misterius yang mendorong pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Lalu, mungkinkah lukisan “Super Semar” sebenarnya juga bercerita tentang surat perintah tersebut? Bisakah Semar yang sedang terbang dalam lukisan itu dimaknai sebagai dokumen Supersemar yang juga “terbang” entah ke mana?
Karya lain Nasirun yang juga menarik untuk disimak adalah dua lukisan yang sama-sama diberi judul “Semar Mbangun Kahyangan”. Meski diberi judul sama, dua lukisan itu menghadirkan gambaran yang berbeda. Satu lukisan menyajikan sosok Semar bersama sejumlah tokoh wayang lain, misalnya para punakawan dan ksatria Pandawa.
Lukisan itu kemungkinan menggambarkan kisah Semar yang ingin membangun kayangan, tetapi ditentang oleh Kresna dan Arjuna. Hal ini karena kayangan adalah tempat tinggal para dewa, sementara Semar dianggap bukan lagi seorang dewa. Padahal, kayangan yang ingin dibangun Semar itu bukanlah kayangan tempat tinggal para dewa, melainkan kayangan sebagai simbol kesejatian diri.
Adapun lukisan lainnya menggambarkan sejumlah orang sedang duduk di bawah bayang-bayang sosok Semar yang sangat besar. Di sekeliling orang itu, terdapat orang-orang bertubuh hitam dengan jumlah yang sangat banyak. Lukisan ini kemungkinan mengacu pada salah satu bagian buku Anak-anak Semar yang menceritakan para penduduk sebuah desa yang menggelar pagelaran wayang kulit dengan lakon “Semar Mbangun Kahyangan” sebagai ritual ruwatan desa.
Namun, di tengah acara, datang sejumlah orang yang membubarkan pagelaran wayang itu karena dianggap sebagai takhayul dan perbuatan terlarang. Orang-orang itu datang dengan membawa pentungan dan siap melakukan kekerasan jika keinginan mereka tak terpenuhi. Bahkan, mereka juga merusak wayang Semar yang dianggap wingit dan bertuah di desa itu.
Dalam pameran “Anak-anak Semar”, Nasirun juga menghadirkan Semar dalam tampilan yang nyentrik. Ada Semar yang memakai surjan dan blangkon sambil membawa obor, ada juga Semar yang berambut gondrong, memakai topi dan kacamata, serta merokok. Namun, ada juga satu lukisan yang tak menampilkan Semar sebagai figur utama.
Lukisan berjudul “Satu Juta Satu Hati untuk Gus Dur” itu justru menampilkan sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dikelilingi orang-orang dari beragam latar belakang. Melalui lukisan sepanjang lima meter lebih itu, Nasirun tampaknya hendak menyampaikan bahwa Gus Dur memiliki kemiripan dengan karakter Semar karena Presiden Indonesia keempat itu merupakan pengayom bagi orang-orang dari beragam golongan, termasuk kelompok minoritas.
Yang unik, meski lukisan tersebut tidak dimuat sebagai ilustrasi dalam buku Anak-anak Semar, Sindhunata secara tak langsung juga menyinggung sosok Gus Dur dalam buku itu. Dalam salah satu bagian di bab keempat buku tersebut, Sindhunata bercerita tentang seorang pemimpin yang diturunkan secara paksa dengan cara yang tak lazim. Padahal, sang pemimpin itu memiliki karakter seperti Semar yang menjadi simbol pembawa harapan dan pengayom bagi orang-orang terpinggirkan.
Meski Sindhunata tak menyebut nama, kita tahu sosok pemimpin yang ditulisnya itu adalah Gus Dur. Tampaknya, Sindhunata dan Nasirun sepakat bahwa karakter Semar menitis dalam diri Gus Dur. Itulah kenapa, meski Gus Dur telah berpulang bertahun lalu-lalu, dia terus dirindukan, seperti kita juga terus merindu sosok Semar.